Depok masa kini dikenal sebagai kawasan yang unik dan ajaib. Banyak berita mencengangkan mengenai polemik sosial sampai kisah mistis yang menyelimuti daerah penyangga Jakarta tersebut. Mulai dari, munculnya pembegalan, pemutaran lagu ciptaan Walikota di lampu merah, adanya pasien Covid-19 pertama, penimbunan sembako Banpres, kasus kekerasan yang kejadiannya di luar nalar, sampai pada kisruh babi ngepet.
Namun, tidak banyak orang tahu bahwa daerah yang dinilai absurd ini memang “berbeda” sejak awal keberadaannya. Sejarah Depok sendiri memang bisa dibilang luar biasa. Depok telah menjadi tanah yang bebas dari penjajahan lebih dari 200 tahun sebelum dibacakannya proklamasi kemerdekaan, tepatnya 1714. Bahkan, Depok sempat menolak menjadi bagian Republik Indonesia hingga terjadi peristiwa Gedoran Depok. Semua itu tak lepas dari sosok Cornelis Chastelein.
Daftar Isi
Sejarah Depok
Bicara sejarah Depok, pasti bicara tentang seorang saudagar senior VOC, yakni Cornelis Chastelein. Sejak masih menjadi pegawai VOC, ia membeli beberapa persil tanah di selatan Batavia secara bertahap, mulai dari Seringsing hingga Depok dan sekitarnya. Dengan tujuan utama untuk mengembangkan pertanian dan perkebunan, serta berniat menyebarkan agama yang dianut: Kristen Protestan.
Chastelein meninggalkan jabatannya di VOC dan fokus untuk mencurahkan perhatiannya mengembangkan perkebunan di Depok. Dia pindah ke Seringsing membawa 200-an orang budak yang berasal dari Bali, Benggala, Koromandel, dan Makassar. Merekalah yang kemudian membuka perkebunan di situ dan diberdayakan sampai menjadi komunitas Kaum Depok.
Cerita tentang Chastelein
Para budak-budak tersebut tidak hanya diajarkan untuk bercocok tanam saja, tetapi juga bisa mendapatkan akses untuk beragama. Mereka diajarkan menulis dan membaca sehingga mampu mempelajari Alkitab. Chastelein membentuk jemaat protestan melalui organisasi bernama De Eerste Protestante Organisatie van Kristenen yang banyak diyakini sebagai akronim dari Depok. Bukti peninggalan sejarah itu masih ada hingga saat ini dalam bentuk GPIB Immanuel yang terletak di Jalan Pemuda.
Sebutan budak rasanya kurang sesuai jika berkaca pada apa yang dilakukan oleh Chastelein. Mereka hidup berdampingan dengan baik meskipun hubungannya sebagai tuan tanah dan pekerja. Bahkan, para budak juga diajarkan bahasa Belanda dan menjalani hidup dengan gaya Belanda. Oleh sebab itu, banyak seruan dari orang-orang sekitar yang melabeli mereka sebagai Belanda-Depok.
Ketika itu, anak-anak Depok yang bisa berbahasa Belanda ini naik kereta ke Batavia untuk bersekolah. Para penumpang yang telah naik sebelumnya dari arah Bogor pun mendengar saat mereka bercakap-cakap dalam bahasa Belanda. Mulai sejak itulah sebutan Belanda-Depok tertanam di masyarakat. Mirisnya, mereka sama sekali tidak memiliki garis keturunan atau darah Belanda, tetapi kehilangan identitasnya sebagai pribumi.
Chastelein pada akhirnya memerdekakan para budak saat ia menjemput ajalnya pada 1714. Wasiatnya berisi penyerahan kawasan tersebut kepada sekitar 200 orang budak yang telah terbagi menjadi 12 Marga. Sehingga, merekalah yang kemudian diminta mengelola dan menjadi Kaum Depok. Pihak Hindia Belanda pun tidak bisa menguasai tanah tersebut karena sifatnya sejak awal adalah partikelir atau bukan kepunyaan pemerintah.
Presiden Depok pertama
Warga Depok yang terdiri dari 12 Marga tersebut sepakat bahwa haruslah ada yang menjadi pemimpin untuk mengelola semua peninggalan Chastelein. Gerrit Jonathans diangkat menjadi Presiden Depok yang pertama dan dipilih secara demokratis, tepatnya pada 1913. Pusat pemerintahannya berada di titik Kilometer 0 yang ditandai dengan berdirinya Tugu Depok. Saat ini, gedung pemerintahan tersebut telah kosong, sebelumnya pernah beralih fungsi jadi Rumah Sakit Harapan.
Masa jabatan Presiden Depok berlaku selama tiga tahun sejak terpilih. Jadi, setelah Jonathans ada beberapa nama yang diketahui pernah menjadi Presiden Depok, seperti Martinus Laurens pada 1921, Leonardus Leander pada 1930, dan Johannes Matheis Jonathans pada 1952. Dapat dilihat bahwa Depok masih menjadi daerah otonom dengan roda pemerintahannya sendiri, bahkan ketika Indonesia telah merdeka. Depok enggan untuk bergabung dengan NKRI karena sudah merdeka jauh sebelum 17 Agustus 1945.
Akibat dari penolakan Depok yang tidak ingin jadi bagian dari Indonesia memicu sebuah peristiwa, kini dikenal sebagai Gedoran Depok. Istilah “gedoran” itu sendiri merupakan aksi atau tindakan keras dengan tujuan untuk membuat ketakutan. Pamor dari sebutan tersebut naik daun pasca kemerdekaan yang juga meningkatnya jiwa nasionalisme banyak orang. Sehingga, agenda utamanya adalah menyerang segala hal atau tempat yang erat kaitannya dengan masa kolonial, baik itu yang berbau Belanda ataupun Jepang.
Dan NICA pun tiba
Meskipun terjadi di berbagai tempat, tetapi kuatnya nuansa Belanda di kawasan Depok menjadi salah satu sasaran. Puncak terjadinya Gedoran Depok jatuh pada 11 Oktober 1945. Sekitar 4000 orang masuk ke Depok dan melakukan penghancuran terhadap setiap hal berbau kolonial di sana. Tidak hanya itu, kaum Belanda-Depok pun menjadi sasaran dari penganiayaan, perampokan, dan pembunuhan. Banyak perempuan dan anak-anak yang ditodong dengan senjata. Lalu, banyak laki-laki yang ditangkap dan ditahan di daerah Bogor.
Sebelum hal yang lebih buruk terjadi, NICA tiba di lokasi dan memihak penduduk Depok. Mereka diungsikan dan NICA menahan aksi anarkis serta membebaskan sandera. Setelah dirawat dan diberi makan, mereka diangkut dengan truk ke Kota Paris, Bogor, lalu ke Kedunghalang. Di Bogor, mereka menemukan suami masing-masing yang hampir dibunuh.
Sakit hati dan memilih pergi
Pada akhir 1949, atas izin pemerintah Republik Indonesia, masyarakat Depok diperbolehkan kembali ke daerah asalnya. Mereka punya pilihan: menjadi bagian dari Indonesia atau pindah ke Belanda. Kebanyakan orang memilih opsi kedua. Sakit hati atas penyerangan yang mereka terima menjadi salah satu penyebabnya.
Tiga tahun berlalu, tepatnya pada tanggal 4 Agustus 1952, pemerintah Indonesia secara resmi mencabut status otonom Depok dan menjadikan daerah tersebut sepenuhnya menjadi wilayah Indonesia. Kesepakatan itu dibuat dengan presiden terakhir Depok, Johannes Matheis Jonathans. Kisah status ‘Daerah Istimewa’ yang dimiliki Depok pun tamat.
Sekarang, keturunan asli 12 Marga pembentuk Depok sudah semakin sedikit. Mereka hidup berdampingan dengan masyarakat yang datang dan pergi di setiap sudut Depok. Sekarang, kita tahu bahwa sejarah Depok merupakan sebuah daerah yang terlebih dahulu merdeka, mengalami sebuah “pembubaran”, dan menjadi daerah seperti sekarang ini. Padat penduduk, penyangga Jakarta, serta kota yang nyeleneh.
Penulis: Gabrielle Moses Aipassa
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA 8 Tradisi Unik Orang Depok yang Masih Ada, meski Sudah Jarang Dilakukan