Direktur RCTI, Jarod Suwahjo, dan Dirut iNews TV, David Fernando Audy, secara resmi pada 28 Mei, keduanya mengajukan judicial review Pasal 1 ayat 2 UU Penyiaran dan meminta semua siaran berbasis internet, tidak hanya YouTube dan Netflix, agar tunduk kepada UU tersebut.
Tak hanya itu, Visi Citra Mitra Mulia dan Rajawali Citra Televisi Indonesia menggugat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) ke Mahkamah Konstitusi karena tak atur YouTube dan Netflix. Semakin seru atau perasaan saya saja, pasal itu dinilai menyebabkan perlakuan yang berbeda antara penyelenggara penyiaran konvensional yang menggunakan frekuensi radio dan penyelenggara penyiaran yang berbasis daring.
Atas keresahan yang dialami mereka, dirasa hal ini amat wajar. Namun, ditilik dari kualitas, tayangan kedua stasiun televisi ini terutama RCTI, kualitasnya nggak kalah dari konten Netflix. Jadi, jika dirasa takut kalah saing seperti apa yang dikatakan banyak komentar netizen, saya pribadi tidak yakin atas hal tersebut. Walau mereka pernah membuat pelantar layanan berbagi video bernama MeTube.id dan kini mencoba di RCTI Plus.
Hanya saja masalah keadilan dan kenyamanan umat manusia di muka bumi senja kopi ini. Karena penyelenggaraan siaran berbasis daring tak perlu tunduk pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Penyiaran atau P3SPS, bukan takut kalah saing terhadap konten yang disajikan. Lho nggak percaya? Panasonic Gobel Awards saja sering mendapuk acara-acara RCTI sebagai yang terbaik, apa masih diragukan kualitasnya?
Pun, sejatinya mangsa pasar televisi dan siaran berbasis daring ini sudah sangat berbeda. Kedua hal ini tidak bisa disama-samakan, walau sebenarnya patut diakui, bisnis televisi kini sangat terganggu oleh hadirnya siaran berbasis daring. Ketika televisi seolah terengah-engah oleh perihal rating, kemudian menciptakan sebuah ekosistem baru di mana hal-hal yang bisa mengeruk rating lantas di kedepankan, maka beberapa pihak yang tidak suka akan hal itu, harus tunduk akan ketersediaan konten seperti sinetron, pencarian bakat, talkshow dan realty show yang seakan harus bergelimang air mata
Tetapi jika berbicara adil, siaran berbasis daring tidak sekecil YouTube dan Netflix saja cakupannya, paman. Bayangkan saja betapa ribetnya masa swakarantina seperti ini, ketika mau kuliah daring dengan Zoom dan perangkat lain, kita harus mengikuti beberapa prosedural yang diatur oleh UU penyiaran terlebih dahulu. Atau negara harus mengawasi ribuan streaming service yang tersedia di internet.
Pun jika diawasi, Youtube dan Netflix tidak perlu khawatir. Rasanya pengawasan tersebut tidak ketat-ketat amat. Tengok saja bagaimana tayangan RCTI yang menampilkan adegan berkelahi ala geng motor bisa sukses tembus tayang di jam prime time. Bahkan ada tayangan ulangnya ketika siang, ketika anak-anak sedang riuh-riuhnya menonton televisi. Ketika dulu anak-anak bercita-cita punya Pokemon atau Tamiya, jangan kaget jika sekarang mereka ingin punya motor Ninja.
Saya setuju dengan apa yang diungkapkan oleh RCTI dan iNews dalam alasan judicial review mereka. Konten internet banyak yang tidak menjunjung tinggi pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945. Seharusnya, film Bird Box atau series Black Mirror andalan Netflix ini harus mengikuti pola seperti May Boy dan Mbak Reva yang sangat menjunjung asas nasionalisme. Pun iFlix dengan Kisah Tanah Jawa: Merapi-nya, seharusnya mengadaptasi gaya sinetron horor RCTI seperti IH SEREM yang menerapkan tiap sila dalam Pancasila.
Pengetatan fitur parental control milik Netflix seperti menerapkan PIN, menghapus serial atau film tertentu dari profil anak berdasarkan tingkat usia atau judul hingga memiliki opsi untuk mematikan pemutaran otomatis di profil anak juga sangat tidak meningkatkan moralitas dan nilai-nilai agama serta jati diri bangsa. Netflix seharusnya mencontoh RCTI Plus ketika membahas Cupi Cupita dalam kanal resminya dan dalam acara Dagelan Ok. Atau paling tidak, Netflix menghadirkan satu konten yang membahas isu rumah tangga seseorang seperti Silet. Itu sangat moralis sekali, mari kita angkat topi.
BACA JUGA No Debat! One Piece Lebih Baik daripada Naruto dan tulisan Gusti Aditya lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.