Ada masa dimana kita berada pada titik terendah dalam hidup, segala pemasalahan dan kekalutan hati datang silih berganti, seolah-olah tiada guna hidup di bumi ini. Semuanya menjadi terasa sempit. Tak ada jalan keluar selain mendekatkan diri pada Sang Ilahi.
Berkisah tentang seorang anak laki-laki yang ditinggal sang ibu untuk selamanya, di usianya yang masih belia. Tentang seorang anak tunggal yang memiliki ayah yang perangainya berubah drastis setelah ditinggal mati oleh sang istri. Yang dulunya sering pergi ke surau dan menghadiri pengajian, kini sang ayah telah berubah 180 derajat. Judi, mengkonsumsi minuman keras, hingga “main perempuan” adalah sederet aktivitas kesehariannya.
Berkisah tentang seorang anak yang putus sekolah, karena tak lagi memiliki biaya. Sebab, uang yang seharusnya diperuntukan bagi biaya pendidikannya, kini telah habis oleh perlakuan bejat sang ayah. Dan akhirnya memutuskan untuk pergi dari rumah dan menjadi penjaja koran di terminal kota.
Anak itu bernama Ahmad Toda usianya 16 tahun. Kini ia sudah dua tahun menjajakan koran di terminal, dan hanya itu satu-satunya pekerjaan yang dapat membuatnya tetap bertahan hidup di tengah hingar bingar kota.
Tepat dihari ke tiga bulan Ramadan, di siang yang terik, Toda bertemu dengan seorang bapak tua. Dua bulan lagi, umurnya sudah menginjak 61 tahun. Tapi badannya terlihat masih bugar dan sehat, memiliki janggut cukup lebat nyang telah memutih, dan selalu menggenakan songkok hitam. Didekatilah Toda yang sedang beristirahat di kursi ruang tunggu keberangkatan, sembari kipas-kipas dengan topi putihnya yang nampak kumal.
“Hei nak, saya sering melihatmu di terminal ini sedang menjajakan koran dari bis ke bis. Kalau boleh tahu, siapa namamu dan apakah kamu tidak sekolah?”
Bapak tua itu mencondongkan tubuhnya ke arah Toda, pertanda penasaran dengan keadaannya saat itu.
Toda terlihat ragu menghadapi orang tua di sampingnya yang tiba-tiba melemparkan pertanyaan padanya, ada perasaan tidak nyaman berada didekatnya. Tetapi, ia mencoba untuk menenangkan diri dan menjawab sekadarnya, menyebut nama lantas menceritakan seluruh lika-liku hidupnya dari awal hingga akhir, tentang putus sekolah, tentang kondisi kedua orangtuanya, dan segala hal yang dijalaninya saat ini.
Pak Tua mendengarkan kisahnya dengan saksama, tak ada satu kata pun yang tertinggal. Pak Tua tersentuh hatinya, matanya hampir berkaca-kaca demi mendengar kisah Toda. Pak Tua menggangukan kepala, lantas menghembuskan nafas panjang.
“Baik, setelah saya mendengar seluruh lika-liku hidupmu, saya turut prihatin atas peristiwa demi peristiwa yang kau alami.” Pak Tua berhenti sejenak, mencoba mempertimbangkan apa yang akan terjadi kedepannya.
“Jika saya mengajakmu ke suatu tempat, maukah kau ikut denganku? Saya akan jamin kehidupanmu, kau tak perlu lagi menjajakan koran. Di sana nanti kau akan mengenal lebih dekat dengan Tuhanmu dan bertemu kawan-kawan baru,” Pak Tua berusaha meyakinkan.
Toda berfikir dua kali tentang ajakan Pak Tua. Beberapa menit kemudian, ia memutuskan untuk mengikuti kemauan beliau, ini semua demi mendapatkan kehidupan yang lebih baik dan demi mendekatkan diri pada Tuhannya. Dengan keyakinan mantap, maka berangkatlah mereka menuju lokasi yang dimaksud oleh Pak Tua dengan menggunakan bis PATAS.
Sekira tiga jam berlalu, malam pun tiba, bis telah sampai di depan gedung yang didalamanya dipenuhi oleh anak-anak yang berlalulalang. Mereka berdua pun turun dari bis, Pak Tua dan Toda disambut hangat oleh tiga anak laki-laki berjas dan berpeci hitam yang telah standby menunggu kedatangan Kiainya. Begitu turun dari bis, ketiga anak itu langsung mencium tangan sang Kiai dengan takzim pun bersalaman dengan Toda, lantas membawakan seluruh barang Kiainya, juga milik Toda menuju rumah Pak Tua.
Toda berdecak kagum melihat masjid dan gedung-gedung yang saling berhadapan, sebuah Pondok Pesantren yang cukup besar, halamannya pun cukup luas dan rimbun. Di salah satu pojok halamannya terdapat taman yang padanya terdapat lampu kerlap-kerlip, dan air mancur berukuran mini. Di taman itu pula banyak anak-anak yang sedang membaca al-Qur’an atau sekadar muraja’ah hafalan. Mereka adalah santri Pondok Pesantren yang diasuh langsung oleh Pak Tua.
“Toda, ini adalah Pondok Pesantren yang saya kelola bersama istri dan kedua putra saya. Pondok Pesantren ini hanya dikhususkan untuk ikhwan atau putra saja. Jumlah santrinya sekarang sekitar 300 orang. Di sinilah nanti kau akan melajutkan sekolah, belajar agama, mengaji, dan megenal Tuhanmu lebih dekat”. Ucap Pak Tua sembari berjalan menuju rumah, Toda nampak kaget, sebab sekarang ia berhadapan dengan seseorang yang mahsyur, dia tak menyangka bahwa selama perjalanan, ia bersama dengan kiai pengasuh Pondok Pesantren.
Toda pun segera meminta maaf pada Pak Tua yang ia kira adalah orang awam. Pak Tua pun tidak mempermasalahkannya, bahkan mengakui bahwasa dirinya adalah orang awam yang kebetulan diberi amanah oleh mendiang ayahnya untuk melanjutkan perjuangan beliau dalam mengasuh Pondok Pesantren.
Di pondok itulah Toda memepelajari berbagai ilmu, mulai dari mata pelajaran yang pernah ia pelajari semasa ia masih duduk di bangku SMA, mengaji Quran, hingga mempelajari kitab kuning—ringkasnya ilmu agama dan umum.
Hidup di lingkungan pondok, membuatnya nyaman dan lebih berpikiran terbuka. Lebih-lebih karena dibimbing langsung oleh Pak Tua. Hingga pada suatu malam Pak Tua memanggilnya ke rumah, bilang agar bangun di sepertiga malam dan menemuinya di masjid. Toda pun mengganguk bilang Insyaallah dirinya akan bagun di sepertiga malam.
Malam semakin larut, waktu menunjukan pukul 23.05, saatnya para santri tidur dikamar masing masing. Toda ada di kamar Ali bersama 20 anak lainnya. Seperti biasa, sebelum tidur, ia mengambil air wudu. Rutinitas ini ia lakukan semenjak ia berumur 7 tahun, kebiasaan yang ditanamkan oleh almarhum Ibu sebelum meninggal.
Suasana Pondok telah sepi, angin malam berhembus dari utara, daun mangga yang telah mengering terjatuh terbawa angin. Sang rembulan sempurna menyiramkan cahayanya disetiap sudut pesantren, membuat syahdu bulan Ramadan.
Tepat pukul 03.00, Toda terbangun. Ia bergegas menuju masjid. Di sana sudah ada Pak Tua dan beberapa santri yang sedang melaksanakan salat sunah mutlak, Toda pun segera mengambil air wudu kemudian melaksanakan salat.
Di pertengahan rakaat pertama, ia terbayang-bayang akan wajah Ibu yang begitu meneduhkan. Betapa rindunya ia dengan sang ibu yang selama ini telah mendidiknya menjadi anak yang saleh, pemberani, dan tangguh. Matanya berkaca-kaca, tetes air matanya mendarat di sajadah Masjid—disusul dengan tetesan lainnya. Toda sempurna menangis dalam sholatnya.
Di rakaat kedua, ia membaca 21 ayat surat Ar-Rahman dengan suara lirih nan merdu. Kini, ia benar-benar khusyuk dan lebih menikmati suasana. Ia benar-benar menghayati setiap ayatnya—hingga ia menangis sejadi-jadinya—kini ia bukan lagi terbayang oleh wajah ibu, melainkan merasakan kehadiran Tuhan tepat dihadapannya. Ia ingin sekali didekap oleh Tuhannya yang telah memberikan rahman dan rahim padanya dan segenap keluarganya.
Di samping itu, ia merasakan seolah-olah Sang Nabi SAW, turut menyaksikan dirinya menangis dalam salat. Kini betapa ia ingin sekali mencium kaki Nabi SAW dan memeluknya. Ia semakin rindu dengan Nabinya yang tak pernah putus mendoakan seluruh umatnya agar diberi ampunan kelak di hari pembalasan.
Usai salat, Toda bermunajat padaNya, menceritakan segala keluh kesah hidupnya, tentang kerinduan yang teramat sangat pada ibunya yang telah meninggal, tentang ayahnya yang tak lagi seperti dulu yang selalu menyemangatinya dalam segala hal, dan tentang kekalutan hatinya yang semakin meradang.
Toda semakin menangis terisak-isak, sarung dan bajunya basah karena air mata yang semakin mengucur deras. Di tengah munajat, dalam hitungan detik tiba-tiba ia merasakan secara tubuhnya mengigil tanpa sebab, disusul dengan hembusan angin pagi yang membuatnya menjadi tenang, damai, dan tentram.
Ramadan hari ke tujuh ini menjadi saksi, betapa anak manusia satu ini begitu berharap untuk memperoleh cinta Tuhannya.
“Rabbanaa aatina fid dunyaa hasanah, wa fil aakhiroti hasanah, wa qinaa ‘adzaaban naar.”
Toda menutup dengan doa yang biasanya ia panjatkan usai salat, doa sapu jagat. Usai melaksanakan salat sunah mutlak, Toda menghadap ke Pak Tua dengan mata yang terlihat sembab. Ia berusaha untuk menutupinya, tapi Pak Tua sudah paham apa yang terjadi padanya.
“Tak usah kau tutupi mata sembabmu itu, biarkan saja, orang tua ini sudah tahu kamu bermunajat padaNya sembari meneteskan air mata. Sebab itulah saya mengajakmu ke masjid, agar kekalutan hatimu dapat sirna dan tidak menerus bersarang dalam hatimu, menangis di sepertiga malam adalah hal yang luar biasa, tidak semua orang seperti ini, kau beruntung nak.”
Pak Tua mengambil jeda sejenak.
“Bulan Ramadan adalah bulan yang penuh berkah, rahmat, dan maghfirah, jangan sia-siakan kesempatan ini. Perbanyaklah beribadah padaNya, membaca dan mentadaburi al-Qur’an, dan terus belajar agar kelak kau menjadi manusia yang berguna, memilki laku hidup layaknya junjungan kita, Nabi Muhammad SAW.”
Toda mendengarkan dengan takzim, lantas bershalawat pada Nabinya.
“Jika kamu memiliki persoalan dalam hidupmu—entah ringan lebih-lebih berat—menghadaplah kepadaNya, berdo’alah, sampaikan padaNya semua keluh kesahmu, Dia akan menjawabnya. Percayalah, Dia akan menunjukan kasihNya kepadamu, melalui jalanNya.”
“Dan jika kamu berada pada titik terendah dalam hidupmu, bersujudlah, akui seluruh kelemahanmu. Dia akan menguatkannya, teruslah memohon. Dia akan memberikan yang terbaik untukmu dengan caraNya yang tak kau sangka-sangka.”
Di akhir pesan yang disampaikan, tangan Pak Tua menepuk-nepuk pundak Toda, mencoba untuk menguatkan dirinya bahwa ia mampu melewati setiap fase hidupnya. Toda kembali meneteskan air matanya.