Tepat 30 September 2019, rapat paripurna terakhir digelar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2014-2019. Dipimpin Bambang Soesatyo, rapat dihadiri 307 dari total 560 anggota—ini bagaimana ya, bahkan, rapat paripurna terakhir pun tidak dihadiri anggota secara lengkap! Setelahnya, resmi sudah DPR RI periode 2019-2024 ‘mangkat’ dari Senayan (#DPRMangkat). DPR undur diri, setelah bekerja 5 tahun lamanya; berjalan keluar dari Senayan dengan memikul ‘prestasi’ 35 UU yang dirampungkan beserta beragam kontroversi dan sorotan. Maaf saja, tapi saya memang kesulitan menemukan prestasi beliau-beliau selama 5 tahun menjabat.
Nyatanya memang tak butuh waktu lama bagi anggota dewan terpilih periode 2014-2019 merebut kamera publik. Pasca pelantikan, seteru koalisi-oposisi merebutkan kursi pimpinan dewan sudah mencuat. Hingga aksi walk-out salah satu kubu dan muncul DPR ‘tandingan’ setelahnya. Belum cukup, anggota dewan ngebut berulah: isu dana pensiun abadi, dana aspirasi, dan paling menohok, renovasi kompleks parlemen dan isu pembangunan apartemen serta gedung baru DPR. Bukan cuma urgensinya, besaran nominal sukses membikin publik melongo. Nghooo~
Untuk dana aspirasi: 11,2 Triliun. Uang sebanyak itu untuk sekadar menampung ‘aspirasi’ yang mestinya adalah kewajiban? Ramashoook~ Masih belum, selanjutnya giliran ketua DPR menjadi sorotan. Kasus Papa Minta Saham telak membuat gempar publik, juga sukses membuat Papa Setnov (sapaan hangat Setya Novanto) mundur dari kursi pimpinan dan Sudirman Said didepak dari kementerian. Nama Presiden Jokowi pun tak luput disebut-sebut. Akhirnya spekulasi publik semakin menguat: Freeport tak pernah lepas dari akal-akalan elite dan kepentingan oligarki di belakangnya.
Kemudian, meski tidak secara langsung, korupsi megaproyek E-KTP yang mencatut nama Setnov (ingat Fortuner vs Tiang listrik?) dan beberapa anggota dewan tetap menarik untuk diingat; sebagai catatan kritis upaya mengenang ulah kerja-kerja DPR selama lima tahun. Teori ‘korupsi’ Fahri Hamzah? Bah! Jangan ditanya. Semakin banyak OTT, investor semakin urung datang. Logika yang sangat sulit dipahami orang-orang awam seperti saya. Maaf Lord Fahri, tapi saya memang ndak nutut memahami. Sudah, isu ikut andil dalam kampanye Donald Trump tak usah dibeber panjang-panjang.
Tapi ternyata masih belum cukup juga. Fungsi pokok legislasi masih menyisakan ruang untuk disorot. RUU Pengampunan Nasional, UU MD3, revisi UU KPK, RKHUP, RUU Minerba, RUU Permasyarakatan, RUU Pertanahan, lambatnya pengesahan RUU PKS, hingga kuantitas UU yang ditelurkan DPR selama lima tahun menjabat …
Di luar UU kumulatif terbuka, DPR RI periode 2014-2019 hanya menghasilkan 35 Undang-Undang—itu pun termasuk revisi UU KPK yang berbuah kecaman dan banyak penolakan. Bahkan, komisi VI tidak menghasilkan UU sama sekali selama lima tahun ini. Di tengah perubahan cepat dan era ekonomi digital, misalnya, tak ada sokongan regulasi yang benar-benar sesuai hasil pikir komisi VI. Paling mendekati hanya ada UU ITE. Itu pun—lagi-lagi—menuai kontroversi sebab terlalu banyak pasal karet di dalamnya.
Dibandingkan UU yang dihasilkan DPR periode 2009-2014, kuantitas UU rampung periode 2014-2019 mengalami penurunan cukup, ehem, siginifikan. Di luar UU kumulatif terbuka, 69 UU berhasil dirampungkan oleh DPR periode 2009-2014, dari total 297 RUU yang masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Periode 2014-2019, dari 189 RUU masuk Prolegnas, 84 dirampungkan.
Loh itu kan naik, gimana sih?
Sabar, tunggu sebentar. 84 UU itu termasuk UU kumulatif terbuka semacam RAPBN. Apabila diabaikan, hanya ada 35 Undang-Undang murni yang dihasilkan. Hanya 18% dari total RUU yang masuk Prolegnas!
Moral individu anggota dewan, partisipasi rapat, kontroversi pemilihan pimpinan KPK hingga total 23 anggota dewan yang terjerat kasus korupsi tak ubahnya semakin membuat perih sebuah upaya mengenang kerja DPR RI periode 2014-2019 ini. Rasa-rasanya memang sulit menemukan prestasi tanpa tanda kutip atas kerja-kerja DPR, bukan untuk periode ini saja, untuk yang lalu dan setelah ini.
Akhirnya, mengembalikan kepercayaan publik, saya kira, mesti menjadi fokus utama DPR RI periode 2019-2024. Beliau-beliau, mau tidak mau mesti bekerja sangat ekstra mengembalikan kepercayaan masyarakat. Bukan hanya melalui narasi, tapi lebih pada kerja-kerja yang senada dengan makna “representasi rakyat”. Minimnya kepercayaan masyarakat kepada wakilnya di parlemen bisa berbuah fatal terhadap kesehatan dan keseimbangan demokrasi jangka panjang.
Ya sudahlah. Selamat jalan DPR RI periode 2014-2019, terima kasih banyak atas ‘prestasi’ yang ditorehkan!
#DPRMangkat (*)
BACA JUGA Ibu Saya Anggota DPR yang Sedang Didemo dan Anak-anaknya Ribut di Grup WhatsApp atau tulisan Haryo Pamungkaslainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.