Ada satu momen sakral di Stasiun Tugu Yogyakarta yang tidak pernah gagal menggoda imanku sebagai manusia biasa: saat aroma Roti O menyeruak ke rongga hidung. Iya, Roti O. Roti dengan wangi menggoda iman, yang entah kenapa bisa mengalahkan aroma kereta api yang habis ngerem darurat dan embusan angin pengantar perpisahan. Di antara suara “Ting tong, kereta api Argo Lawu tujuan akhir Jakarta Gambir…” dan lambaian tangan dramatis khas FTV, tiba-tiba hidung ini seperti dipeluk lembut oleh wangi roti yang baru keluar dari oven. Surga duniawi.
Tapi, di sinilah letak misterinya. Setelah terbawa hasrat, mengantri, membeli, dan menggigit si roti legendaris itu… eh Hmmm… gitu doang?
Wangi surgawi, rasa duniawi
Mari kita akui bersama, wangi Roti O memang juara. Kalau ada kejuaraan dunia aroma makanan yang bikin orang nggak jadi putus cinta, mungkin Roti O bisa juara 3, di bawah aroma Indomie goreng dan sate ayam pas maghrib. Tapi rasa roti ini? Ya, enak sih, tapi tidak seperti yang dibayangkan. Tidak se-epik wanginya. Tidak semegah aroma yang dibawa angin ke hati yang sedang labil.
Ini bukan hujatan. Ini cinta. Sungguh.
Sebab, dalam hidup, kita juga perlu jujur pada hal-hal yang kita cintai. Kritik membangun, demi hubungan yang sehat. Begitu juga dengan Roti O dan kita—para pejalan, penumpang, dan korban aroma stasiun.
Wangi Roti O di Stasiun Tugu itu punya kekuatan magis. Aku curiga ada ilmu tarik aroma tingkat tinggi yang dipelajari dari biksu Tibet. Karena anehnya, aromanya bisa menyusup sampai ke gerbong paling belakang. Bahkan saat kamu baru turun dari kereta, belum sempat buka masker, hidung sudah dibungkus harumnya. Insting primitif langsung aktif. Otak teriak: “BELI!”
Padahal, kita nggak lapar. Kita cuma… kesepian.
Iya, kesepian. Di stasiun, rasa sendiri jadi lebih terasa. Orang-orang berlalu-lalang, ada yang dijemput pasangan, ada yang nangis karena LDR, ada juga yang baru sadar ketinggalan charger. Lalu datanglah si Roti O—mewakili kehangatan yang seolah berkata: “Tenang, kamu nggak sendiri. Aku di sini, harumnya untukmu.” Gila, marketing pakai aroma. Brilian. Serius. Ini bukan strategi dagang, ini puisi.
Tapi begitu digigit, harapannya buyar. Tidak mengecewakan, tapi juga tidak sebanding dengan ekspektasi yang dibangun aroma surgawi itu. Dan anehnya, kita tetap beli.
Sebab cinta, kadang tidak perlu logika. Kita tahu rasanya standar, kita tahu harganya bisa buat beli dua roti di warung sebelah rumah, tapi kita tetap kembali. Lagi dan lagi. Seperti hubungan toxic, tapi wangi. Kita tahu dia tak seharum itu rasanya, tapi kita tetap rindu wanginya.
Roti O dan filosofi hidup
Di titik ini, aku mulai berpikir, mungkinkah Roti O adalah metafora hidup?
Kita sering kali terjebak pada hal-hal yang tampak menarik dari luar, wangi dari jauh, tapi ternyata biasa saja saat didekati. Kita mengejar jabatan, pasangan ideal, barang branded, atau kafe kekinian yang ternyata kopinya B aja. Serta, kita mudah tergoda oleh ilusi yang diciptakan oleh kesan pertama. Padahal, yang penting bukan wangi awalnya, tapi rasa yang bertahan lama.
Dan Roti O mengingatkan kita akan hal itu. Bahwa kadang hidup tidak seharum kelihatannya, tapi bukan berarti harus dibenci. Kita tetap bisa mencintai sesuatu dengan cara yang lebih realistis. Menyukai karena keberadaan dan konsistensinya, bukan hanya karena aroma pemikat di awal perjumpaan.
Di Stasiun Tugu, Roti O berdiri seperti mercusuar kuliner yang menuntun orang-orang tersesat ke konter makanan. Ia tak pernah berubah. Selalu ada. Selalu wangi. Ia adalah bagian dari narasi perjalanan. Bahkan kalau ada orang cerita mudik tanpa menyebut wangi Roti O di stasiun, rasanya kurang sah.
Bentuk cinta yang tulus
Maka, tulisan ini bukan untuk merusak citra Roti O. Justru sebaliknya. Ini bentuk cinta tulus—cinta yang berani jujur. Bahwa rasa dan aroma kadang tidak sebanding, tapi kita tetap datang, tetap beli, dan tetap mengunyah dengan perasaan bercampur antara pasrah dan nostalgia.
Sebab, kadang kita tidak mencari rasa terbaik. Kita hanya mencari sesuatu yang terasa akrab di tengah asingnya perjalanan.
Terima kasih, Roti O Stasiun Tugu. Kamu memang tidak seharum itu rasanya, tapi kamu selalu jadi alasan kenapa kami berdiri 15 menit lebih lama di dekat pintu masuk. Kamu bukan hanya roti. Tapi, kamu adalah kenangan, jebakan, juga pelajaran hidup.
Dan di setiap perjalanan berikutnya, aku tahu, aku tetap akan membelimu. Walau hanya untuk mencium wangi cinta yang tidak sempurna.
Sumber gambar: Akun Instagram official Roti O
Penulis: Janu Wisnanto
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Roti’O, Sahabat Setia Pelancong Low Budget