Sebenarnya Kemenkeu Mengajar untuk Siapa sih?

kemenkeu mengajar pendidikan mojok

kemenkeu mengajar pendidikan mojok

Ada satu hari ketika sejumlah warga Kementerian Keuangan turun tangan mengajar di sekolah-sekolah di sejumlah kota-kota di seluruh Indonesia. Mereka adalah yang mendaftar dan terpilih sebagai relawan Kemenkeu Mengajar. Mereka datang membawa semangat untuk mengajarkan peran Kementerian Keuangan dalam menjaga perekonomian republik.

Pandemi COVID-19 memaksa Kemenkeu Mengajar 5 harus digelar daring. Selain itu, yang baru di tahun ini, sekolah-sekolah yang terlibat tidak hanya pada level sekolah dasar. Tahun ini sekolah lanjutan bisa mendaftarkan diri untuk terlibat dalam Kemenkeu Mengajar 5.

Di sekolah-sekolah itu, para relawan juga datang untuk mengenalkan profesinya, tentang yang mereka kerjakan di Kementerian Keuangan. Mereka meyakini masa depan Indonesia yang lebih baik adalah ganjaran paling setimpal dari upaya turut mencerdaskan kehidupan bangsa melalui Kemenkeu Mengajar.

Namun, benarkah demikian?

Kemenkeu Mengajar merupakan modifikasi dari Kelas Inspirasi. Kelas Inspirasi adalah satu dahan dari pohon Gerakan Indonesia Mengajar. Dalam Kelas Inspirasi para profesional terdidik turun ke SD selama sehari untuk bercerita tentang pengalaman kerja juga motivasi meraih cita-cita. Kata “profesional” identik dengan orang yang bekerja di sektor formal.

Ketika relawan Kemenkeu Mengajar bercerita tentang profesinya sebagai auditor pajak atau petugas bea dan cukai di bandara, yang akan lebih mengena dalam ingatan murid-murid itu adalah pekerjaan mereka sebagai PNS. Mereka akan ingat pernah ada PNS Kementerian Keuangan datang ke sekolah mereka dan bercerita tentang betapa hebat pekerjaannya. Mereka pun kemudian tertarik dan bercita-cita menjadi PNS.

Padahal, belum tentu profesi itu masih ada ketika mereka dewasa nanti. Disrupsi era digital membuat hilangnya profesi tertentu dan munculnya profesi baru. Anak zaman sekarang tidak banyak lagi yang ingin bercita-cita menjadi profesor seperti Pak Habibie. Profesi gamer dan YouTuber lebih familiar di mata mereka.

Lagipula, kita lebih sering membicarakan cita-cita. Kita lebih sering membahas profesi yang dapat diraih dengan pendidikan. Kita sangat jarang membicarakan cita-cita pendidikan itu sendiri, yang luhur seperti yang disampaikan W.E.B. Du Bois.

Menurut Du Bois, cita-cita pendidikan tidak boleh dibiarkan tenggelam ke dalam utilitarianisme yang dangkal. Cita-cita pendidikan tidak hanya mencetak seseorang menjadi PNS, pengusaha, gamer, atau YouTuber. Pendidikan harus menjaga cita-citanya yang luas, dan tidak pernah lupa bahwa pendidikan berhubungan dengan jiwa, bukan rupiah.

Sejak kecil kita selalu ditanya cita-cita. Dalam lagunya, Joshua Suherman bercerita tentang cita-citanya yang ingin menjadi profesor dan membuat pesawat terbang seperti Pak Habibie. Ketika di kemudian hari ternyata ia tetap jadi artis, bukan profesor, apa artinya pendidikan Joshua gagal?

Bandingkan dengan saya yang sejak orok sudah bercita-cita menjadi PNS. Ketika sekarang saya menjadi PNS tulen, apakah pendidikan saya bisa dianggap lebih berhasil daripada Joshua?

Mari kita tengok visi dan misi Kemenkeu Mengajar. Visi Kemenkeu Mengajar adalah menjadi penggerak yang membantu meningkatkan institutional ownership dan citra Kementerian Keuangan yang dekat dengan masyarakat.

Dengan Visi tersebut, Kemenkeu Mengajar menjalankan tiga misi. Pertama, meningkatkan kepedulian sosial berbasis kesukarelaan di lingkungan luar Kementerian Keuangan. Kedua, menimbulkan kebanggaan dan institutional ownership bagi para pegawai. Ketiga, meningkatkan awareness anak-anak di pendidikan dasar terhadap peranan negara khususnya Kementerian Keuangan.

Dari tiga misi yang tersebut hanya misi ketiga yang berorientasi pada murid atau anak-anak. Selebihnya adalah misi yang kebermanfaatannya dirasakan oleh Kementerian Keuangan dan relawan yang terlibat. Sayangnya, misi ketiga tersebut hanya mengukuhkan pendapat filsuf Louis Pierre Althusser. Menurut Althusser pendidikan hadir sebagai salah satu ideological state apparatus alias alat ideologis negara.

Murid di Kemenkeu Mengajar diajari bahwa jika ingin berkontribusi pada pembangunan, harus dilakukan dalam kaidah-kaidah yang telah ditentukan oleh negara. Mereka tidak dirangsang untuk mempertanyakan dan berpikir tentang kaidah-kaidah alternatif lainnya. Hal tersebut kontradiktif dengan penghormatan kita kepada Soewardi Soerjaningrat sebagai Bapak Pendidikan Nasional dengan gagasan revolusioner pendidikan yang emansipatoris.

Jika tidak diubah, Kemenkeu Mengajar tidak akan pernah bisa menyelenggarakan pendidikan yang emansipatoris. Secara gamblang Kemenkeu Mengajar hanya akan menggiring murid untuk bercita-cita menjadi homo economicus.

Tidak ada yang salah dengan niat tulus para profesional yang turun tangan. Yang salah adalah menganggap gerakan ini sebagai solusi dari permasalahan struktural pendidikan di Indonesia. Persoalan struktural harusnya diatasi dengan solusi struktural pula. Ketika sehari turun ke sekolah dianggap sebagai solusi, kita semakin ingkar terhadap akar permasalahan sebenarnya.

Kegiatan tersebut mungkin terlihat apik di media sosial. Mungkin juga hal itu akan menginspirasi kaum muda lainnya. Namun, setelah mereka pulang dan kembali ke gedung-gedung pencakar langit, murid-murid di sekolah akan kembali berhadapan dengan persoalan struktural.

Kalau kata Anies Baswedan, “Lebih baik menyalakan lilin, daripada mengutuk kegelapan.” Namun, jangan lupa nyala lilin itu temporer. Untuk mencari solusi jangka panjang kita tetap harus mencari tahu kenapa ruangan pendidikan kita gelap. Di mana letak korsletingnya, atau jangan-jangan kita hanya lupa memencet saklar.

Ketika satu, dua, atau tiga tahun lagi kita mengenang dan mengunggah ulang foto kegiatan Kemenkeu Mengajar, akankah kita kembali ke sekolah tempat kita sehari mengajar dan bertanya adakah dampak kegiatan ini untuk murid, untuk guru, dan untuk sekolah yang kita datangi?

Saya percaya para relawan Kemenkeu Mengajar adalah para pendidik demokratis yang berpikiran terbuka terhadap kritik. Saya percaya para relawan telah bersepakat dengan gagasan Michael Apple dan Henry Giroux tentang penyelenggaraan pendidikan yang emansipatoris.

Saya juga percaya Kemenkeu Mengajar adalah upaya untuk mewujudkan pendidikan yang memanusiakan manusia seperti yang dicita-citakan Ki Hajar Dewantara. Jadi, mari kita berefleksi kembali. Untuk siapa sejatinya Kemenkeu Mengajar ini?

BACA JUGA Saya Gen Z dan Bukan Bagian dari Generasi Cashless Society

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version