TikTok ini emang nggak cocok jadi media sosial buat instansi pemerintah. Nggak efektif gitu kesannya.
Di zaman sekarang ini, kehidupan manusia modern nggak bisa lepas dari media sosial. Nggak cuma untuk kepentingan personal, media sosial juga banyak digunakan oleh pedagang, perusahaan, bahkan instansi pemerintah. Khusus untuk instansi pemerintah, media sosial biasanya digunakan untuk mengedukasi masyarakat sekaligus sosialisasi program pemerintah.
Sebagai admin media sosial di salah satu instansi pemerintah, saya sudah menggunakan berbagai platform media sosial yang ada. Mulai dari Facebook, Instagram, hingga Twitter. Dan, yang baru-baru ini saya coba adalah TikTok. Khusus untuk platform terakhir ini, lebih karena rasa penasaran saja. Banyak orang bilang kalau TikTok sudah berubah, baik dari sisi konten maupun algoritma. Bahkan, TikTok ini digadang-gadang akan menjadi platform media sosial nomor wahid di jagat maya. Katanya, sih, begitu.
Tapi, setelah sekian lama saya hanyut dan tenggelam dalam mengelola aplikasi ini, kok rasanya nganu, ya? Feel dan chemistry-nya nggak dapet. Ini entah karakternya yang nggak pas atau saya yang ketuaan jadi admin. Wqwqwq. Tapi, secara umum, menurut saya aplikasi ini emang nggak cocok jadi media sosial buat instansi pemerintah.
Image TikTok
Yang pertama adalah image TikTok. Saya yakin, semua orang sepakat kalau image aplikasi ini itu nggak lepas dari joget-joget. Nah, image inilah yang perlu jadi bahan pertimbangan buat admin media sosial instansi pemerintah. Apakah bisa menurunkan reputasi instansi atau nggak? Apakah melanggar kode etik PNS atau nggak? Hal-hal seperti ini yang perlu dipikirkan.
Durasi konten
Yang kedua adalah masalah durasi konten. TikTok menyediakan durasi konten antara 15 sampai 60 detik. Ini waktu yang terlalu singkat untuk memberikan edukasi atau sosialisasi program pemerintah yang biasanya detail. Kalau pun bisa dibuat konten, jadinya terkesan buru-buru dan ini bikin edukasi dan sosialisasinya nggak menarik. Memang, sih, baru-baru ini TikTok memperpanjang durasi konten hingga tiga menit. Tapi, siapa yang mau lihat konten selama itu di aplikasi ini?
Algoritma
Selanjutnya adalah masalah algoritma. TikTok memang punya algoritma berbeda dengan platform media sosial yang lain. Laman beranda yang disebut FYP (for your page) ini diisi bukan hanya oleh follower atau akun yang kita follow, tapi juga dari akun random yang punya banyak view dan like. Gawatnya, akun-akun random itu didominasi oleh konten-konten yang nggak jelas gitu. Ini tentunya bisa bikin admin nggak fokus mengelola akun instansi pemerintah.
Pengguna
Dari beberapa referensi yang saya baca, pengguna TikTok ini didominasi oleh Gen Z. Inilah yang membuat konten-konten dari akun instansi pemerintah kurang menarik bagi para pengguna TikTok. Lah, wong pemerintahnya diisi oleh generasi baby boomer, gen X, dan gen Y, kok. Jadinya ora nyambung. Saya yang posisinya ada di antara gen X dan Y saja kesulitan membuat konten yang cocok untuk gen Z.
Peringkat TikTok
Dilansir dari laman Hootsuite, TikTok berada di sembilan dalam platform media sosial yang paling banyak digunakan di Indonesia pada Januari 2021. Jauh di bawah Instagram yang ada di peringkat tiga, Facebook di peringkat empat, dan Twitter di peringkat lima. Ini juga perlu jadi bahan pertimbangan kalau jangkauan TikTok itu belum begitu luas.
Dari alasan-alasan ini, saya memilih mundur jadi admin TikTok instansi pemerintah. Malah, akunnya saya delete. Bukannya apa-apa, takutnya bukannya mengedukasi dan memberi contoh yang baik buat masyarakat, tapi malah saya yang terbawa arus. Yaaa, macam instansi yang pakai prajurit Squid Game pas tes SKD CPNS itu, loh. *eh