Wahai pihak kampus, beneran situ masih maksa tetep diadain KKN Online, nih?
Kalau boleh jujur, ada KKN aja itu merupakan sesuatu yang aneh. Apalagi KKN jauh sampai ke tempat-tempat wisata nan eksotis. Kampus-kampus besar di Jogja, mengirim mahasiswa mereka ke antah berantah, padahal di sekitar Jogja masih banyak bopeng sana-sini. Masih banyak celah yang seharusnya bisa dikaji.
“Kuliah Kerja Nyata”, kan, ya, singkatannya, kalau nggak salah? Apanya yang nyata lha wong di pinggiran kampus, penjualan lapen hilir mudik terjadi, prostitusi sana-sini dinanti. Kampus berlomba adu foto di Raja Ampat, sedang satu meter di samping mereka masyarakatnya sedang sekarat.
Katanya kampus adalah kawah candradimuka dalam mencetak bibit emas generasi penerus bangsa, tapi kok di lingkungan kampus sendiri masih banyak celah yang tersaji? Jalanan diportalisasi sana-sini, menciptakan gap dengan masyarakatnya sendiri.
Menciptakan bibit terbaik untuk masyarakat, tapi sejak dini diajarkan menjadi berjarak dengan lingkungan terdekat. Ya nggak masalah, sih, yang penting feed Instagram sampai ke pelosok negeri.
Pandemi menghajar seluruh lapisan masyarakat, bahkan sampai lapisan akademik. Ambulans meraung-raung di sepenjuru kota, oksigen langka, hoaks bekelindan di jagat media sosial, pejabat nonton sinetron, menteri komentari hukum yang salah di sinetron, sedang kejahatan HAM di Indonesia sejak lampau masih menjadi kabut yang sulit disibak. Puncak komedi.
Setelah seluruh kelucuan terjadi, dari golongan akademik muncul yang namanya KKN Online. Ini lebih aneh lagi. Jika boleh mengambil term yang diangkat oleh Yafi’ Alfita dalam tulisannya yang berjudul “Kalau Nggak Ada Manfaatnya, buat Apa Kampus Memaksakan KKN Online?”, mahasiswa sedang dalam posisi yang serba salah.
Saya setuju bahwa mahasiswa nggak salah, justru serba salah. Bagaimana bisa disalahkan, memang sejak kapan kampus paham apa yang dibutuhkan oleh mahasiswanya selain mengejar prestise dan legasi? Mahasiswa adalah kambing yang siap diadu oleh ganasnya kultur desa dan juga birokrasi kampus.
Namun, nggak hanya mahasiswa yang serba salah. Kami sebagai masyarakat desa pun merasakan hal yang sama serba salahnya. Bahkan ditambah serba bingung. Serba pekewuh. Namun serba bisa seperti Pak Luhut sih nggak. Tentu membantu rekan mahasiswa merupakan sebuah kebanggaan, tapi ketika dihadapkan dengan proker yang sifatnya online, kami sebagai warga desa bisa apa?
Online, lho ini. Iya, proker online. Nggak ada itu yang namanya bangun gapura, bangun masjid, atau apa pun itu.
Saya akan mencoba membuka realita apa yang terjadi di lapisan akar rumput, semisal pihak kampus terlalu jauh untuk menjangkau kami. Tinggal minum kopi, main gim Zuma, dan baca tulisan ini. Jadi, begini.
KKN itu tujuannya—jika saya boleh ambil benang merah seluruh kampus—menjadi media mengabdi kepada masyarakat. Mahasiswa datang, menelaah apa yang dibutuhkan masyarakat, jadilah program kerja yang nantinya menjadi bahan kerja sama yang dilakukan oleh mahasiswa dan warga desa setempat. Itu, kan, ya, idealnya sebuah KKN?
Pandemi datang dari Wuhan. Bukan hanya Indonesia, bahkan seluruh warga dunia geger dibuatnya. Sampai sini paham, kan, wahai para petinggi kampus? Baik, saya lanjutkan, ya?
Lantas pemerintah—katakanlah (karena memang begini adanya)—gagal mengurus pandemi. PSBB, PPKM, PPKM Darurat, PPKM Level 15, PSIM, PSS Sleman, dan istilah-istilah lainnya dikeluarkan dalam rangka memutus mata rantai. Namanya beda, tapi intinya sama: pemerintah nyuruh warganya di rumah tapi nggak diberi pasokan ketahanan pangan yang memadai. Ya, nilai plusnya, negara lebih ahli bermain istilah ketimbang ngurus kebijakan yang jelas.
Desa limbung karena perkara pandemi. Jujur saja, ketimbang berharap kepada Luhut dan jajarannya, kami lebih berharap kepada pejabat desa setempat baik itu RT, RW, maupun Dukuh. Pasalnya menurut kami, kinerja mereka lebih nyata bagi akar rumput. Lebih ngosak-ngasik, lah ketimbang main istilah njlimet doang.
Lantas, datanglah para mahasiswa KKN. Membawa proker-proker yang katanya akan dikerjakan secara daring. Bayangkan saja, simbok saya yang petani lombok suruh zooming dan ngomongin tata cara membuat kompos yang baik dan benar. Atau Bulik saya yang bisa saja Google Meet sambil mepe gabah.
Itu pun penuh dengan kendala. Di desa, jujur saja sinyal masih ndlap-ndlup walau ada beberapa yang sudah pakai tower dan wifi mandiri. Tapi KKN itu prokernya untuk seluruh masyarakat tanpa terkecuali, kan? Ngumpulin semua warga di balai desa, gitu? Mbok sing nggenah, malah ada penularan klaster baru yang ada.
Warga desa bukannya bahagia malah kebingungan. Mahasiswa bukannya mengabdi malah kasihan sendiri. Sedang kalian, pihak kampus, jangan sembunyi doang di balik ruangan berpendingin sambil menyiapkan kebutuhan akreditasi.
Masyarakat jangan dipermainkan seperti ini. Dan memang seperti inilah fakta dan aktualitas yang ada di lapangan. Sedang di masa pandemi, kesehatan anak-anak kalian, para mahasiswa, harusnya jadi prioritas utama, nggak bisa diganggu-gugat.
Ketimbang membenci, kami sebagai warga desa justru kasihan kepada mahasiswa-mahasiswa KKN ini. Mereka datang tanpa bekal yang jelas—lha wong katanya pembekalannya saja hanya muter video di kanal YouTube. Warga desa bingung, mahasiswa bingung, yang ada justru hanya membuat lelah, lantas imun turun.
Update data sebaran kasus Covid-19 di Kabupaten Bantul, berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul per Rabu (28/7/2021) pukul 15.30 WIB, dengan data-data sebagai berikut : pic.twitter.com/eEL7eiMMON
— Pemkab Bantul (@pemkabbantul) July 28, 2021
Mari mengacu kepada data. Bantul dalam keadaan darurat Covid-19 ketika tulisan ini diketik, yakni berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul per Rabu (28/7/2021). Di tempat simbah saya, Imogiri, ada 826 kasus dan kebetulan Bu Lik dan saudara saya termasuk dalam data tersebut.
Lantas, berapa tim KKN yang kampus Anda kirimkan untuk bertugas di Imogiri? Bagaimana jika mahasiswa-mahasiswa Anda sendiri yang terkena penularan, sedang kegiatan KKN Online tentu memusingkan mereka. Pun dengan warga desa. Ini Imogiri lho, daerah yang dipeluk pegunungan saja sudah hampir menyentuh seribu.
Belum di daerah lainnya, semisal Banguntapan dengan 2158 kasus positif Covid-19. Lantas tim-tim yang diturunkan, mahasiswa yang rumahnya sekitar Banguntapan, mau nggak mau ya keluar dari rumah dan mencemplungkan diri kepada masyarakat.
KKN Online maka selamanya akan berjalan secara online? Begitu, kan, harapan Bapak Ibu pihak kampus? Yah, sayangnya, realita di lapangan nggak seperti itu.
Atau jangan-jangan, KKN di masa pandemi seperti ini adalah bentuk usang yang harusnya dikaji ulang? KKN adalah benda kuno, menengok kesehatan nilainya lebih tinggi ketimbang pengabdian. Sedang pengabdian itu bisa saja bentuknya kini saling jaga satu sama lain, menghormati tenaga kesehatan, dan berdiam diri di rumah.
Bagaimanapun saya hanya warga desa. Nggak tahu, lah itu yang namanya birokrasi tahi kucing. Yang saya tahu, kampus sedang mempertaruhkan nyawa mahasiswanya dalam balutan sok idealis bernama pengabdian.
Bahwa pengabdi setan saja jelas mengabdi kepada siapa. Lantas, pengabdian ini sejatinya mengabdi kepada siapa? Kepada masyarakat atau malah kepada kampus? Mahasiswa KKN seharusnya gembira, bangga, dan senang, kok ya jadinya seperti apa yang diungkapkan oleh Fyodor Dostoyevsky: orang-orang yang malang.
BACA JUGA Kalau Nggak Ada Manfaatnya, buat Apa Kampus Memaksakan KKN Online? dan tulisan Gusti Aditya lainnya.