Awal tahun 2020 barangkali adalah salah satu awal tahun termuram yang pernah ada dalam sejarah. Sejak malam pergantian tahun, berita buruk seakan tak henti-henti menghampiri kita. Banjir di sejumlah tempat di Indonesia, kebakaran hutan gigantik di Australia, isu perang dunia ketiga, hingga mewabahnya virus corona di China.
Lantas, apa yang harus kita—selaku umat manusia—lakukan menyikapi segala musibah ini? Hal pertama yang semestinya kita lakukan adalah membuka mata dan becermin. Boleh jadi pelbagai musibah yang silih berdatangan itu muasalnya dari kita. Kebiasaan buruk kita yang tak peduli pada lingkungan, sesuatu yang sering kali kita anggap sepele, pada kemudian hari bisa membawa kita kepada nasib buruk yang tak pernah kita duga.
Lalu, apa lagi yang harus dilakukan setelah membuka mata? Tentu saja membuka telinga. Menyediakan telinga untuk mendengarkan suara-suara alam yang jarang kita acuhkan.
Berhubung kita sudah sering mendengar pernyataan para ahli terkait bencana dan wabah, maka sekali-kali perlulah kita mendengar suara dari pihak lain, yaitu pohon dan hewan. Dua makhluk yang jasanya sepanjang masa. Kalau guru kita sebut “pahlawan tanpa tanda jasa”, hewan dan pohon bolehlah kita sebut “pahlawan yang tanda jasanya ada di mana-mana”.
Bagaimana tidak? Kita bernapas, makan, minum, berpakaian, bikin rumah, dan lain sebagainya itu berkat eksistensi pohon dan hewan. Coba kalau tidak ada pohon, memang kita mau bikin pakaian dari apa? Dari angin dan pemandangan senja, gitu? Lalu, kalau kita tidak ada hewan, dengan apa kita mencukupi kebutuhan protein? Yakali makan tanah dan batu. Alih-alih sehat, yang ada keselek dan tubuh kita lama-lama jadi arca.
Demi fakta itulah, saya menyusun wawancara imajinatif bersama pohon-pohon dan hewan-hewan. Spesifiknya pohon-pohon di kawasan Monas yang habis ditebang dan hewan-hewan liar yang hidup di Wuhan, China dan ditengarai sebagai musabab awal munculnya virus corona. Karena jumlahnya mereka banyak banget, saya hanya mewawancarai perwakilan mereka.
Berikut hasil wawancara saya bersama pohon dan hewan yang saya lakukan di tempat rahasia dan tak diliput media mana pun:
Saudara Pohon, apa tanggapan Anda setelah ditebang dari kawasan Monas?
Pohon: Tentu saya kecewa. Bagaimanapun saya dan kawan-kawan telah hidup di sana selama bertahun-tahun. Kami juga tidak pernah mengganggu siapa-siapa. Kami tidak pernah korupsi, tidur ketika rapat, atau punya nafsu untuk memiliki jabatan tertentu. Lah, namanya saja pohon ya, Mas. Yang penting buat kami sih bisa hidup bebas dan berbahagia. Lagipula keberadaan kami ini juga untuk kebaikan umat manusia dan alam semesta. Jadi, mengutip ungkapan Pak SBY, kami prihatin dengan ditebangnya kami. FYI aja nih, Mas, sama kayak manusia tidak ada suka yang rumahnya digusur, kami juga tidak suka kalau kami ditebang. Sakit, Mas, sakit.
Omong-omong, tak lama setelah Anda dan kawan-kawan, area sekitar Monas tiba-tiba menjadi banjir. Ada yang bilang ini akibat Pemprov DKI sembarangan menebang Anda sekalian. Apa Anda sudah punya firasat tertentu?
Pohon: Sebetulnya kami sebagai pohon tidak pernah punya itikad buruk. Kami tidak diciptakan untuk itu. Kami diciptakan untuk menaungi dan memberi keteduhan. Perkara setelah kami ditebang lalu ada banjir, ya itu sih, mengutip Pak Anies, sudah sunnatullah, Mas. Lagian pakai nebang-nebang kami. Apa nggak ada kerjaan lain gitu yang lebih berfaedah? Menebang anggaran bermasalah dan birokrat korup, misalnya.
Lho, kok Anda tau soal anggaran dan birokrat korup?
Pohon: Biar gimana-gimana, kami ini udah tinggal lama di Jakarta. Jadi ane udah pahamlah sifat ente-ente sekalian.
(Saya mengucapkan terima kasih kepada Pohon dan beralih mewawancarai sosok lain yang telah menunggu di seberang, seekor kelelawar atawa kampret yang tidak bisa mengendarai motor keren karena ia bukan Batman dan tidak fanatik terhadap capres tertentu karena ia bukan “kampret” yang itu.)
Apa kabar, Saudara Kampret, gimana perjalanan Anda dari Wuhan, lancar?
Kampret: Ucap Gong Xi Fat Cai dulu dong, Mas. Kan masih momen Imlek.
Gong Xi Fat Cai, Saudara Kampret.
Kampret: Nah, gitu. Tadi Anda nanya apa?
(Saya curiga perjalanan ribuan kilometer dari Wuhan bikin kampret satu itu memiliki gangguan ingatan, tapi biarlah, saya langsung nanya ke intinya saja)
Ah, tidak perlu. Langsung saja. Bagaimana tanggapan Saudara Kampret soal virus corona yang lagi menggemparkan dunia?
Kampret: Ah, Anda ini sama saja seperti yang lain, ya. Semuanya ngomongin soal virus corona. Soal keberlangsungan hidup umat manusia. Tapi nggak ada tuh yang nanyain gimana kabar saya dan kawan-kawan. Padahal kami ini sudah lama terzalimi. Diburu, dijadiin makanan, eh pas udah mati dan masuk lambung pemakan kami, masih pula kami dijadikan sebagai biang kerok virus baru. Aduh, begini amat ya hidup jadi kampret.
Duh, maafkan saya Saudara Kampret. Kalau begitu, coba ungkapkan uneg-uneg Anda menyoal virus corona ini?
Kampret: Begini, Mas. Saya mewakili teman-teman saya dari kalangan sesama kampret, ular, tikus, musang, luwak, kura-kura, luwak, dan lain-lain. Saya ingin ngasih tahu kepada umat manusia bahwa tidak semua hewan itu boleh dan cocok untuk dimakan. Kami ini hewan liar. Sudah banyak juga yang memperingatkan bahwa keberadaan kami bukan untuk dimakan. Jadi, kalau kemudian ada wabah yang konon disebabkan oleh kami, jangan nyalah-nyalahin kami, dong. Salahin tuh pemerintah yang kurang giat mengingatkan warganya. Namun, sebagai kampret yang masih menjunjung tinggi peri kekampretan, tentu kami tidak mau tertawa di atas penderitaan makhluk lain. Kami berdukacita atas terjadinya wabah corona ini. Kami berharap umat manusia yang konon pintar itu segera mendapatkan cara mujarab untuk mengatasinya. Udah sih gitu aja.
Apa ada hal lain yang ingin disampaikan, Saudara Kampret?
Kampret: Nggak ada, sih. Tapi tadi saya ketemu orang di jalan, dia nanyain saya soal politik. Lha saya tabrak aja tuh mukanya. Lagian, kampret kok diajakin ngomongin politik. Kalau diajak diskusi supaya bisa jadi kampret yang keren dan rupawan kayak Batman, mungkin saya bersedia.
(Saya mengucapkan terima kasih kepada pohon dan kampret. Lalu, saya mengajak foto mereka berdua. Kemudian saya bilang: “Saudara Pohon dan Saudara Kampret, nanti kalau setelah wawancara ini kalian jadi viral, gimana?” Serentak mereka menjawab, “Viral itu apa sih, Mas?” Saya tidak menanggapinya lagi. Saya langsung pulang dan berharap semua pohon dan hewan—khususnya kampret—di dunia ini berbahagia).
BACA JUGA Kehebohan Virus Corona dan Virus Kebencian untuk China yang Berlabelkan Agama atau tulisan Erwin Setia lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.