Saya Nggak Mau Terlalu Bahagia Mendengar Kabar Revisi UU ITE

Saya Nggak Mau Terlalu Bahagia Mendengar Kabar Revisi UU ITE terminal mojok.co

Saya Nggak Mau Terlalu Bahagia Mendengar Kabar Revisi UU ITE terminal mojok.co

Di tengah sengkarut pandemi yang tak kunjung usai, ditambah hujan lebat yang mengguyur Pekalongan sampai banjir, muncul kabar baik yang tak disangka-sangka. Presiden yang paling kita sayangi, Jokowi ingin melakukan revisi UU ITE. Sebab, beberapa pasal undang-undang tersebut dinilai sebagai pasal karet. Memang sebagai produk undang-undang, UU ITE menjadi momok menyeramkan bagi siapa saja yang getol mengkritik pemerintah.

Pasal-pasal yang konon katanya akan direvisi ada 9 pasal. Dan kesembilan-sembilannya adalah pasal yang punya sifat elastis semua. Yaitu Pasal 26 (3) tentang Penghapusan Informasi Tidak Relevan, Pasal 27 (1) tentang Asusila, Pasal 27 (3) tentang Defamasi, Pasal 28 (2) tentang Ujaran Kebencian, Pasal 29 tentang Ancaman Kekerasan, Pasal 36 tentang Kerugian, Pasal 40 (2a) tentang Muatan yang Dilarang, Pasal 40 (2b) tentang Pemutusan Akses, serta Pasal 45 (3) tentang Ancaman Penjara tindakan defamasi.

Saya menduga, permintaan Jokowi ini menyusul pernyataan blio tempo hari yang menginginkan lebih banyak kritik ke pelayanan publik. Mungkin karena banyak yang membenturkan dengan UU ITE kali ya. Makanya barangkali Jokowi ingin segera melakukan revisi UU ITE agar pernyataannya itu nggak mubazir.

Setidaknya Jokowi sudah memberikan ruang untuk kritik, sekaligus menjawab tudingan hal itu sebagai jebakan batman yang justru mengancam warga sipil. Namun, usulan melakukan revisi UU ITE yang sudah kadung ditanggapi DPR, walau sekadar “didukung”, saya kok nggak yakin sungguh-sungguh direvisi. Mengingat ini adalah Jokowi, ini adalah DPR, dan ini adalah pemerintah kita yang masih belepotan menangani pandemi.

Toh dulu, dulu banget kayaknya, Jokowi pernah mendorong percepatan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Tapi sampai sekarang? Ngendon. Bahkan yang terbit malah Omnibus Law. Ramashok bosque~

Rumus Agus Mulyadi dalam tulisannya itu berlaku di sini. Bahwa cara terjitu untuk memprediksi kondisi negara adalah dengarkan apa yang dikatakan Jokowi, lalu lihat sebaliknya. Lewat kredo itulah saya melihat usulan melakukan revisi UU ITE berpeluang besar sebagai pepesan kosong belaka.

Saya tidak akan mengatakan hal itu mustahil terjadi. Tapi, saya punya keyakinan teguh, revisi UU ITE sangat mungkin hanya sebatas angan-angan. Kalaupun benar direvisi, kasus-kasus yang melatarbelakangi UU ITE ini direvisi masih akan tetap terjadi. Mengapa?

Sebab yang jadi persoalan adalah tafsirnya, bukan undang-undangnya. Selama ini banyak yang memanfaatkan UU ITE untuk mengekang kebebasan berpendapat, termasuk kritik. Dan tafsir ini berada di lingkup praktik.

Jadi semestinya yang perlu diperbaiki adalah otoritasnya. Dalam hal ini Polri yang punya wewenang penuh untuk menangani kasus-kasus dugaan pelanggaran UU ITE. Polri itu ya harus lebih selektif merespons kasus yang berkaitan dengan UU ITE.

Yang bikin saya tambah nggak yakin adalah, kasus UU ITE ini paling sering justru dimanfaatkan oleh pejabat negara. Data SAFEnet 2018 menunjukkan dari 245 kasus sejak 2008, pelapor paling banyak adalah pejabat negara, yaitu mencapai 32,92%. Dari data itu saja timbul pertanyaan, apa pejabat-pejabat negara itu mau merevisi pasal-pasal karet UU ITE yang selama ini justru menguntungkan mereka?

Biarlah orang menganggap tulisan ini sebuah pesimistis. Tapi, saya pikir, pesimis itu perlu, dan memang seperti itulah cara memandang kebijakan-kebijakan pemerintah yang kontradiktif dengan pemerintah itu sendiri. Pemerintah, dalam hal ini Jokowi, seharusnya nggak usah terlalu memarahi UU ITE yang benda mati itu. UU ITE tak salah, tapi praktiknya yang ngawur.

Apalagi jika ditinjau dari data Amnesty Internasional dan SAFEnet, sejak awal mula Jokowi menjabat sebagai presiden, kasus-kasus kebebasan berpendapat yang disalahgunakan dengan UU ITE justru mulai kejar setoran. Dari data itu, sepanjang 2014-2019 ada 233 kasus. Jumlah tersebut malah jauh lebih banyak berlipat-lipat ketimbang masa Pemerintahan SBY—si pembuat UU ITE, yang “cuma” 74 kasus selama 2009-2014.

Saya sebetulnya ingin bertanya sama Pak Jokowi, UU ITE yang sudah sebegitu ganasnya sejak blio menjabat itu, kok baru sekarang mau direvisi? Mungkin Pak Jokowi baru saja mendapatkan wangsit? Tapi, yang pasti, saya yakin kalau ini sekadar supaya pernyataan Jokowi yang meminta masyarakat untuk aktif mengkritik itu tidak sia-sia belaka.

Maka saya memutuskan untuk tidak terlalu senang sekaligus nggak yakin soal revisi UU ITE. Tidak yakin bukan berarti tidak percaya sama pemerintah lho ya. Mengingat, sekali lagi, ini pemerintah kita, bukan pemerintah negeri dongeng.

Barangkali saya akan berubah yakin kalau pemerintah mulai hari ini. Atau setelah usulan revisi UU ITE, memberikan moratorium terhadap korban-korban pasal karet UU ITE. Kalau itu sudah dilakukan, barulah saya mulai percaya. Paling tidak, ada iktikad baik dalam bentuk praktik langsung, bukan omong doang.

BACA JUGA Tips Keluarga Berjaya Ala Presiden Jokowi dan tulisan Muhammad Arsyad lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version