Suatu saat, ketika sedang duduk-duduk di sebuah pantai di Bali, terlihat beberapa muda-mudi lokal sedang menikmati musik yang dimainkan lewat speaker bluetooth yang lumayan keras suaranya. Tanpa sadar, saya ikut menikmati lagu-lagu yang mereka mainkan. Setelah lagu demi lagu berlalu, terdengar sebuah pengumuman yang terdengar lantang,“…tunggu apa lagi? Gabung Spotify Premium sekarang!”
Lagu-lagu tadi rupanya dimainkan lewat aplikasi Spotify milik salah satu dari mereka. Dengan terdengarnya pengumuman tadi, beserta iklan-iklan lain setelahnya, menunjukkan bahwa ia tidak menggunakan Spotify Premium. Lantaran hal tersebut, ia langsung jadi bahan ledekan kawan-kawannya. Kalau dari cara mereka meledek, sih, mestinya mereka telah rutin menganggarkan biaya berlangganan Spotify Premium setiap bulan, ya.
Iklan yang terdapat di Spotify gratisan tidak hanya jadi jeda yang mengganggu bagi sebagian orang, tapi juga memunculkan stigma ketidakmampuan ekonomi untuk membayar biaya berlangganan.
Dengan terdengarnya iklan-iklan ini, pengguna Spotify seakan-akan dipaksa untuk malu karena hanya menggunakan layanan gratisan. Seakan-akan, iklan-iklan ini—yang entah mengapa selalu terdengar lebih lantang daripada lagunya—adalah aib yang berpotensi jadi pergunjingan jika sampai terdengar oleh tetangga.
Padahal, alasan tidak berlangganan Spotify Premium itu belum tentu sesederhana karena keterbatasan ekonomi. Lho, kok tau? Ya iya, dong. Lha wong saya juga pengguna Spotify gratisan.
Seperti yang diketahui para penggunanya, Spotify Premium diiklankan sebagai fasilitas yang menawarkan kebebasan dalam memainkan lagu kesukaan “kapan saja, di mana saja, tanpa gangguan iklan.” Tapi segala sesuatu yang serba bebas, serba mudah, dan serba langsung, ternyata justru dianggap membosankan bagi sebagian orang.
Dulu, sebelum menjamurnya layanan streaming, untuk mendengarkan lagu kesukaan secara gratis (dan legal, tentunya) kita mesti menunggu radio memainkan lagu tersebut atau menunggu stasiun TV menayangkan klip videonya. Keleluasaan menikmati musik hanya bisa dicapai apabila kita memiliki rilisan fisik berupa kaset atau CD, dan memainkannya di pemutar audio yang kita miliki.
Demi keleluasaan mendengarkan musik di zaman itu, ada lebih banyak proses yang mesti dialami. Mulai dari menunggu berbulan-bulan kasetnya tersedia di toko hingga perjalanan ke toko kaset untuk membelinya. Bahkan jika ingin mendengarkan artis lain, badan mesti bergerak lebih banyak untuk mengganti kaset. Belum lagi mesti menggulung pita kaset dengan pensil apabila pemutar musiknya bermasalah.
Dibandingkan dengan layanan streaming yang serba tinggal klik, ada proses yang lebih panjang, juga waktu menunggu yang lebih lama untuk menikmati musik di zaman serba analog dulu. Ini sedikit banyak juga membatasi waktu dengar dan jumlah lagu yang bisa kita nikmati.
Namun, justru dengan keterbatasan ini, rasa bahagia saat mendengarkan musik jadi terasa lebih sensasional. Mirip sensasi berbuka puasa setelah menahan haus dan lapar di hari yang panas nan melelahkan.
Dengan kemudahan layanan streaming sekarang, nyaris tidak ada yang menghambat kita untuk mendapatkan hiburan yang diinginkan. Apalagi dengan layanan berbayar seperti Spotify Premium, apa yang kita mau tinggal dicari dan bisa langsung dinikmati, memungkinkan kita untuk mendengarkan musik dalam jumlah dan waktu yang tak terbatas.
Hiburan yang tak terbatas ini ikut berpengaruh pada berlebihannya dopamin di dalam otak kita, yang pada akhirnya melemahkan sensasi kebahagiaan dalam mendengarkan musik itu sendiri. Lantaran sensasi penghiburannya semakin melemah, maka kita membutuhkan lebih banyak hiburan lagi untuk dapat terpuaskan. Pendeknya, kita menjadi mudah kecanduan dopamin. Dan ini jelas tidak baik untuk kesehatan mental kita.
Inilah salah satu alasan mengapa sebagian orang memutuskan untuk tidak berlangganan Spotify Premium. Hiburan yang serba mudah dipilih sendiri, lama kelamaan menjadi melelahkan dan membosankan bagi mereka. Dengan menggunakan Spotify gratisan, ada lebih jeda, lebih banyak penundaan, sehingga lebih banyak pula peluang bagi kita untuk “puasa” dopamin.
Selain itu, bagi mereka yang kekeuh menggunakan Spotify gratisan, keleluasaan memilih musik seperti yang ditawarkan Spotify Premium ternyata kebebasan semu belaka. Banyak orang memanfaatkan kebebasan ini justru untuk membuat pilihan-pilihan terbatas, dengan hanya memutar lagu-lagu yang mereka tahu mereka sukai.
Kecenderungan ini bisa jadi adalah cerminan kehidupan sehari-hari kita. Baik yang konservatif maupun yang gembar-gembor toleransi, semuanya ingin memaksakan pendapatnya kepada yang lain. Di antara keinginan semua orang untuk didengar pendapatnya, siapa, sih, yang benar-benar mau meluangkan waktu untuk mendengarkan?
Justru di sinilah kelebihan Spotify gratisan, yakni kemampuannya untuk membuat pikiran kita lebih terbuka. Pengguna Spotify Premium jelas tidak paham nikmatnya tersesat di sebuah playlist asing nan terpencil, tanpa bisa mengubah pilihan karena sudah melewati batas menekan tombol “next” yang hanya enam kali itu.
Sensasi terjebak seperti ini memang tidak selalu menyenangkan, tapi dalam banyak kesempatan juga mempertemukan kita dengan genre musik maupun musisi yang belum pernah kita dengar sebelumnya. Dengan terjebak habisnya kuota tombol “next”, kita dipaksa untuk berkenalan dengan berbagai musik lain di luar zona nyaman lagu-lagu yang biasa kita dengarkan.
Dengan cara dipaksa seperti ini, wawasan musik kita jelas akan semakin luas, dibandingkan jika kita selalu menuruti diri sendiri untuk memutar lagu kesukaan atau lagu yang sedang menjadi tren.
Toh, kita masih bisa mendengarkan lagu kesukaan ketika menggunakan Spotify gratisan. Bedanya, keterbatasan memilih memaksa kita untuk juga mencintai lagu-lagu lain di album atau playlist yang sama, yang sering kali kita hiraukan hanya karena kurang terkenal. Ini ibarat pacaran, di mana kita tidak hanya berusaha mencintai pasangan kita saja, tapi juga mesti berkenalan dan belajar mencintai keluarga pasangan kita.
Begitulah. Sungguh dangkal sekali jika mengatakan bahwa alasan untuk tidak berlangganan Spotify Premium murni hanya perkara ketidakmampuan finansial.