Ketika pertama kali mendengar nama Universitas Ahmad Dahlan (UAD), otak saya otomatis membuat perbandingan instan dengan kampus Muhammadiyah lain yang lebih populer yakni UMY (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta). Entah kenapa, bayangan saya tentang UAD dulu tak pernah jauh-jauh dari label “medioker”. Ya, kampus Muhammadiyah yang hanya ada, tapi bukan “kuda pacu” utamanya. Saya bahkan sempat menertawakan diri sendiri, “Masa iya saya harus pindah ke UAD?”
Tapi ternyata, hidup suka mengajari saya dengan cara paling aneh.
Saat ini, saya sedang mempertimbangkan jalur RPL (Rekognisi Pembelajaran Lampau) untuk melanjutkan studi dari UNY. Sejujurnya, prosesnya melelahkan. RPL itu ibarat menawar dagangan di pasar, kita bawa pengalaman, portofolio, dan nilai lama, lalu kampus menimbang, mana yang bisa diakui, mana yang harus diulang. Ribet, capek, dan tentu saja rawan bikin kepala panas. Namun, di titik inilah saya mulai berkenalan dengan UAD.
Awalnya skeptis, tapi…
Saya masuk ke proses pendaftaran dengan sikap setengah hati. Ekspektasi saya rendah, karena dalam pikiran saya, UAD hanyalah kampus Muhammadiyah kelas dua. “Paling nanti ribet, dosennya kaku, adminnya galak, dan sistemnya berbelit,” begitu kira-kira monolog dalam kepala saya.
Tapi pelan-pelan, kerangka skeptis itu mulai retak. Pertama, ketika saya melihat daftar mata kuliah yang ditawarkan. Ternyata lebih beragam dari yang saya bayangkan. Pilihannya bukan sekadar “copy paste” standar, tapi ada ruang di kepala saya untuk saya merasa “Oh, ternyata ada jalur yang cocok dengan pengalaman saya di UNY dulu.”
Di titik ini, saya mulai merasa bahwa UAD bukan sekadar kampus yang hidup di bawah bayang-bayang UMY. Ia punya daya tariknya sendiri.
Suasana kampus UAD yang lebih “Islami”
Hal lain yang bikin saya kaget adalah atmosfer kampusnya. Saya nggak tahu apakah ini efek sugesti atau memang kultur yang dibangun, tapi suasana UAD terasa lebih “islami”. Dari cara mahasiswa berpakaian, tata ruang kampus, hingga hal kecil seperti pengumuman larangan merokok di berbagai sudut, semuanya memberi kesan kalau kampus ini serius menjaga nilai yang mereka bawa.
Sebagai perokok berat, jelas saja saya geli sendiri. Rasanya seperti masuk ke zona steril, di mana sebungkus rokok bisa jadi artefak langka. Tapi anehnya, saya tidak terlalu merasa risih. Saya justru menganggap larangan itu bagian dari paket lengkap yang ditawarkan UAD. Paket Islami, serius, tapi nggak menggurui. Dan meskipun saya tetap harus menahan diri buat nggak menyalakan sebatang rokok di pojokan kampus, saya lumayan nyaman-nyaman saja.
Administrasi RPL yang ribet tapi manusiawi
Kalau boleh jujur, bagian paling melelahkan dalam mendaftar RPL ini adalah urusan administrasi. Mengurus RPL itu kayak maraton, tapi jalurnya penuh tanjakan. Berkas, legalisir, validasi semua harus siap. Saya bahkan sempat mengeluh, “Lha, kuliah aja belum, tapi udah ngos-ngosan duluan.”
Tapi, di tengah keribetan itu, ada satu hal yang bikin saya lega yakni sikap admin UAD. Mereka nggak sekadar jadi robot meja yang hanya menjawab “silakan tunggu”. Mereka manusiawi, ramah, dan cukup sabar menghadapi mahasiswa (atau calon mahasiswa) yang penuh tanda tanya kayak saya.
Lebih jauh lagi, saya ketemu dosen dari Jurusan Sastra Indonesia yang sikapnya jauh dari bayangan saya sebelumnya. Mereka komunikatif, membantu, bahkan bisa menempatkan diri sebagai teman diskusi. Padahal, di kampus besar dan mapan, sering kali dosen terasa seperti menara gading yang jauh dari jangkauan mahasiswa. Di UAD, kesan itu patah. Saya merasa lebih dianggap, lebih dihargai, dan lebih dekat.
Menyesal menganggap UAD kampus medioker
Semua pengalaman itu pelan-pelan menggerogoti kesombongan saya. Bayangan “UAD kampus medioker” yang dulu melekat, kini rasanya konyol. Saya harus mengakui, ada banyak hal di UAD yang justru lebih ramah dan memuaskan dibanding kampus yang dulu saya banggakan.
Memang, setiap kampus punya kekurangan. Tapi saya akhirnya sadar, kadang label “medioker” hanya lahir dari asumsi kosong, bukan dari pengalaman nyata. Dan saya menyesal karena pernah berpikir sempit soal UAD.
Kini, meski perjalanan RPL saya masih butuh napas panjang, saya bisa bilang bahwa UAD berhasil bikin saya merasa betah. Kampus ini mungkin bukan yang paling populer, tapi jelas bukan sekadar pelengkap penderita di jajaran kampus Muhammadiyah. Ia punya daya tarik lain, keramahan, suasana islami, dan sikap dosen serta admin yang manusiawi.
Kalau saya boleh reflektif sedikit, perjalanan ini mengajarkan saya bahwa kadang kampus yang kita anggap “medioker” justru bisa memberi pengalaman paling berkesan. Di balik segala lelah urusan administrasi, saya menemukan hal yang jarang saya dapatkan di tempat lain: kehangatan dan rasa dihargai. Dan itu, buat saya, lebih mahal daripada sekadar reputasi atau ranking kampus.
Jadi, buat teman-teman yang masih terjebak pada stigma kampus Muhammadiyah terutama soal UAD mungkin sudah saatnya melonggarkan kacamata. Jangan-jangan, pengalaman yang kita anggap “medioker” justru bisa jadi pintu masuk ke hal-hal yang lebih manusiawi.
Saya? Ya, saya tetap harus menahan diri untuk nggak merokok di area kampus. Tapi selebihnya, saya sudah lumayan nyaman. Malah, diam-diam saya bangga pernah salah menilai.
Penulis: Janu Wisnanto
Editor: Rizky Prasetya
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















