Bekerja dan mendapatkan uang instan dengan rebahan memang nyaman, tapi apa betul nggak ada risikonya?
Rasanya mencari uang bukan hal yang sulit. Bahkan sekarang ini, mencari uang itu mudah dengan pekerjaan yang semakin beragam. Malah nggak usah kerja pun terkadang bisa dapat duit. Apalagi di era serba aplikasi.
Mungkin bagi generasi boomer mendapatkan uang dari hape, apalagi cuma lewat aplikasi adalah sesuatu yang utopis belaka. Namun, bagi Generasi Z dan Y, tentu tidak. Aplikasi bagaikan perusahaan yang kini juga “menggaji” para penggunanya.
Belum lama ini, adik saya yang masih cukup belia baru saja mencairkan pendapatannya dari TikTok Lite. Dari hasil pendapatannya itu, ia bisa membeli seperangkat PlayStation 2 bekas yang harganya kira-kira Rp400 ribuan. Saya sendiri terkejut, bagaimana mungkin adik saya bisa langsung beli PlayStation yang, saya saja baru bisa berencana doang, uangnya belum ada terus.
Hebatnya, adik saya itu berhasil mengumpulkan pendapatannya dari TikTok Lite hanya selama “bekerja” kurang lebih 4-5 hari. Bayangkan, 4-5 hari saja dapat sekitar Rp400 ribuan, bagaimana kalau sebulan? Dua bulan? Setahun? Mungkin itu yang menjadi pertanyaan di benak kamu, dan mungkin saja kamu juga akan tertarik untuk memakai TikTok Lite, karena bisa mendatangkan uang secara instan.
Memang ada banyak aplikasi penghasil uang. Mulai dari yang legal di Google Playstore ataupun yang ilegal yang tersebar di Google. Walaupun begitu, saya sendiri termasuk orang yang menolak untuk memakai aplikasi penghasil uang. Saya mencoba untuk bikin benteng pertahanan yang kokoh supaya tidak tertipu oleh bujuk rayu aplikasi penghasil uang, utamanya yang instan.
FYI, aplikasi penghasil uang ini punya sistem atau cara kerja yang variatif, mau instan atau nggak. Instan di sini dalam artian, kamu nggak usah bergerak sampai mengandalkan skill segala. Tapi kalau yang nggak instan, ada juga sih, kayak Gojek, Grab, Fastwork, Shopee, sampai Tokopedia. Aplikasi-aplikasi tersebut butuh tenaga lebih lanjut untuk mendapatkan uangnya, nggak cuma mengandalkan aplikasi.
Nah yang sedang saya bahas ini aplikasi penghasil uang instan. Banyak juga macemnya, seperti TikTok Lite dan Snack Video yang iklannya selalu muncul di YouTube. Aplikasi yang semacam itu pun beragam cara kerjanya. Kamu bisa mendapatkan uang hanya dengan mengundang teman untuk memakai aplikasi tersebut atau menonton dan membagikan video.
Semuanya bisa dikerjakan sambil rebahan nyantai. Nggak usah pakai tenaga dan pikiran, uang dengan sendirinya masuk ke akun. Kemudian uang tersebut bisa di-withdraw atau dicairkan. Terkesan simpel dan mudah, cocok banget buat generasi mager. Namun, justru di titik itulah saya menaruh kecurigaan.
Dalam benak saya, aplikasi yang diunduhnya saja gratis, tapi malah membayar pengguna, ini si developer atau pengembang aplikasi dapat duit dari mana? Kalau dari Playstore tentu pendapatannya nggak seberapa. Ambil contoh aplikasi TikTok Lite tadi. Ini saya pakai itung-itungan sederhana saja.
Menurut beberapa sumber, pendapatan pengembang aplikasi per 10 ribu unduhan adalah 5000-6000 dolar. TikTok Lite tadi sudah ada 100 juta unduhan, artinya 5000×10 ribu= 50.000.000 dolar. Jika dirupiahkan menurut kurs sekarang (sekitar Rp14 ribu), jadi pendapatannya sekitar Rp700 miliar. Jika dibagi 100 juta pengunduh, masing-masing pengguna hanya kebagian sekira Rp7.000 saja.
Padahal aplikasi TikTok Lite ini akan membayar Rp10 ribu untuk satu kode refferal bagi yang diundang. Sedangkan yang mengundang bisa dapat Rp50 ribu lebih. Lho untuk itu saja nggak cukup, kan? Apalagi tentu lambat laun penggunanya semakin banyak. Itu baru satu aplikasi, bagaimana dengan yang lain? Saya yakin pasti sama saja.
Kecurigaan saya muncul pada waktu pendaftaran akun pengguna. Pengguna diminta untuk mengisi identitas dirinya. Beberapa aplikasi penghasil uang instan bahkan meminta penggunanya untuk foto bersama KTP mereka sebagai syarat verifikasi. Hal-hal yang begini sangat berpotensi terjadi penyalahgunaan data.
Belum lagi, ketika di-install, saya membaca di deskripsi beberapa aplikasi penghasil uang ini meminta akses entah sebagian maupun penuh terhadap ponsel kita. Ada yang meminta mengakses kontak, memori, kamera dan foto, serta tentu saja yang cukup riskan mengakses lokasi terkini si pengguna.
Setelah mencari tahu lebih lanjut, kebanyakan aplikasi penghasil uang instan ini menggunakan sistem ponzi, semakin tinggi levelnya semakin besar pendapatannya. Sama halnya, semakin banyak menonton video besar kemungkinan meningkat pula pendapatannya.
Tak sampai di situ saja, aplikasi-aplikasi penghasil uang instan ini ternyata juga menerapkan sistem member get member atau MLM. Pola seperti ini mengharuskan si pengguna mencari orang lain untuk mengunduh dan memakai aplikasi tersebut.
Setelah itu, si pengguna yang berhasil mendapat pengguna baru akan diberi reward yang jumlahnya tentu lebih besar dari pengguna baru. Maka tak ayal kalau kamu mencermati komentar di aplikasi tersebut di Playstore, tentu bakal menemukan komentar seperti, “Ini aplikasi bagus banget. Jangan lupa pasang kode refferalku ya, biar dapat 10 ribu.”
Menimbang beberapa risiko dari hasil analisis saya, maka saya pun memutuskan untuk tidak memakai aplikasi penghasil uang instan. Kamu boleh mengikuti untuk menolak memakai aplikasinya juga, tapi saya nggak maksa lho. Ya saya maklum sih, sekarang lagi susah cari duit. Apa boleh buat, karena pandemi yang entah kapan usainya dan sambil menunggu UU ITE tak lagi untuk memberangus kebebasan berpendapat, kita cuma bisa pasrah dan tetap berhati-hati.
Catat: yang bisa melindungi kita dan data kita cuma diri kita sendiri. Mengandalkan negara bagaikan minum Bear Brand yang sudah habis. Nggak nyambung, Cuk! Ya memang itu maksudnya.
BACA JUGA Sebelum Terjun, Ingat, Investasi Saham Bisa Bikin Patah Hati dan tulisan Muhammad Arsyad lainnya.