Belasan Tahun Tinggal di Semarang, Saya Kira Jakarta Lebih Panas Udaranya, Ternyata Semarang Masih Lebih Panas!

Mentang-mentang Semarang Sebelahan sama Venus, Bukan Berarti Orang Semarang Kebal dengan Panas Heatwave yang Sedang Menyerang jakarta

Mentang-mentang Semarang Sebelahan sama Venus, Bukan Berarti Orang Semarang Kebal dengan Heatwave yang Sedang Menyerang (Pixabay.com)

Saya kira Jakarta akan lebih panas ketimbang Semarang. Ternyata, saya salah besar. AMAT BESAR

Warga Semarang pasti sudah tidak asing lagi dengan panasnya Kota Atlas ini. Seolah banyak jarum yang menusuk kulit kita setiap pergi waktu siang. Saking panasnya, sampai muncul pernyataan Semarang kayak punya tiga matahari.

Saya sendiri sempat merasa pernyataan itu terlalu berlebihan. Selama belasan tahun di Semarang, saya merasa masih ada kota lain yang saya kira lebih panas. Salah satunya adalah Jakarta. Tapi, itu salah besar. Jakarta, kota yang padat manusia, ternyata masih lebih sejuk dibanding ibu kota provinsi Jawa Tengah.

Baru tiga bulan di Jakarta, tapi saya sudah nyaman dengan udara sejuknya

Sekitar awal Maret yang lalu, saya memutuskan untuk tinggal di Jakarta karena ada urusan dengan orang tua. Saya memang sempat tinggal di Jakarta pada masa kecil dulu. Tapi itu sudah bertahun-tahun lamanya. Saya sudah lupa dengan bentuknya Jakarta.

Satu hal yang paling saya rasakan perbedaannya ketika beberapa hari awal tinggal di Jakarta yaitu udaranya. Udara di kota ini terasa lebih sejuk dibandingkan Semarang. Pagi serasa berada di gunung. Apalagi airnya yang membekukan, beuh, nikmat sekali. Maka tidak jarang saya hanya mengandalkan angin sepoi-sepoi yang ada dibandingkan AC di dalam kamar.

Menjelang siang, matahari memang mulai memanas, tetapi tidak sampai memanggang kulit seperti yang terjadi di Semarang. Rasanya seperti ada lapisan tersendiri yang melindungi kulit saya dari sengatan matahari. Bahkan olahraga siang-siang bisa jadi lebih nikmat ketimbang berolahraga pagi hari di Semarang.

Ketika malam tiba, angin mulai terasa mendingin kembali. Air mandi pun seperti diberi es batu di dalamnya. Meskipun begitu, saya tetap berusaha menikmati semaksimal mungkin, karena tidak tahu kapan kembali ke Semarang dan harus meninggalkan kenyamanan sementara ini.

Menjelang tengah malam saya lebih memilih tidur tanpa AC dan membiarkan angin sejuk memenuhi ruangan. Bahkan selimut pun masih tidak mampu menghangatkan tubuh saya. Berbeda dengan Semarang, yang bahkan malam hari pun panasnya minta ampun. Paduan kipas angin dan AC terasa kurang menghilangkan gerah.

Tapi soal lalu lintas, Semarang masih juaranya

Tiap-tiap kekurangan pasti akan dibarengi dengan kelebihan. Meskipun Semarang panasnya kayak tinggal dekat matahari, tetapi jalanan Semarang masih menjadi juara di hati. Jalanan yang luas, tidak penuh kendaraan, menjadi kesukaan saya jika butuh refreshing otak. Berkeliling Kota Semarang misalnya.

Berbeda halnya dengan Jakarta yang tiap sudut jalan raya bak lautan sarden, penuh sesak! Bahkan ketika waktu siang tiba pun masih saja disibukkan dengan manusia yang lalu lalang di jalanan. Setiap memikirkan jalanan yang penuh sesak ini saya langsung merasa stres. Makanya, saya lebih memilih jalan kaki ketimbang harus berdesakan dengan manusia lainnya.

Jenis makanan sama tapi penyajiannya berbeda

Hal yang sempat membuat saya terkejut ketika tinggal di Jakarta yaitu makanan yang sama akan berbeda cara penyajiannya dengan yang sering saya temui di Semarang. Ambil contoh sate Madura. Di Semarang, sate Madura akan disajikan bersamaan dengan irisan cabe hijau dan bawang merah. Sedangkan di Jakarta, sate Madura dihidangkan dengan cabe merah yang telah dihaluskan dan dibuat menjadi saus.

Lebih memilih menetap di Jakarta atau Semarang?

Jujur, kecintaan pada Semarang telah mendarah daging di tubuh saya. Jadi, kalau ditanya lebih memilih menetap di Jakarta atau Semarang, saya lebih memilih Kota Semarang. Jalanan yang tidak sempit dan tidak sepadat Jakarta menjadi poin kuat mengapa saya lebih memilih tinggal di Semarang.

Saya juga sudah bertekad, kalau punya pekerjaan sebisa mungkin tidak memilih Jakarta sebagai pilihan utama. Karena saya juga tidak mau, sudah stres karena pekerjaan harus dihadapkan dengan stres di jalanan juga.

Penulis: Raihan Atha Naufal Wardhana
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Perjalanan Perantau Minang Menantang Jakarta: Jakarta Itu Keras, Lebih Baik Putar Balik!

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version