Misalkan saja ada satu hal yang bisa diubah dalam hidup saya, saya ingin kuliah di UGM, bukan di UNY.
Saya tahu, jika saya kuliah di UGM, jelas saya tidak akan bertemu istri saya. Saya tidak akan bertemu banyak hal yang membentuk saya. Dan tentu saja saya tak mau menukar itu semua hanya untuk kuliah di UGM, tapi, kadang ya, rasa itu kadang muncul. Kayak, gimana jadinya hidup saya andai saya berakhir di UGM?
Sebagaimana mahasiswa UNY kebanyakan, saya kuliah di Kampus Bertaqwa, Mandiri, dan Cendekia (JANGAN DISINGKAT) itu karena gagal masuk UGM. Saya memang memasukkan UNY sebagai kampus pilihan kedua saat daftar SNMPTN, tapi sama sekali saya tak punya pandangan hidup seperti apa di kampus pendidikan tersebut. Di pikiran saya dulu ya, saya membayangkan kuliah di FIB. Jurusannya embuh.
Ketika gagal di SNMPTN dan jurusan yang tersedia hanyalah vokasi, saya mengurungkan untuk daftar UGM lagi. Orang tua strictly bilang hanya boleh kuliah S1, bukan D3. Boleh D3, tapi kampus keperawatan. Jadi ya, saya kehilangan satu-satunya kesempatan kuliah di UGM.
Tapi, memangnya sebagus apa sih UGM sampai saya menyesalinya, bahkan setelah 13 tahun berlalu?
UNY memang maju di bidang pendidikan, bidang lain, not so much
Saya tak tahu, jujur saja. Bisa jadi keputusan saya kuliah di Sastra Inggris UNY justru lebih tepat ketimbang di Sastra Inggris UGM, karena satu-dua hal. Yang saya tahu, memang Sasing UNY ini punya keunggulan yang tak bisa diremehkan. Jadi ya, saya nggak rugi-rugi amat.
Tapi ketika saya mulai berkecimpung di dunia kerja, oh boy, saya jadi paham betul kenapa manusia di Indonesia benar-benar mengusahakan UGM.
Mohon saya dikoreksi jika keliru, tapi setahu dan sepemikiran saya, UGM punya banyak alumni yang sukses. Alumni kayak gini, katanya, berpengaruh di dunia kerja. Yaaa bakal menarik adik sealmamaternya lah. Saya kurang percaya hal ini, jadi ya saya nggak pegang ini sebagai kebenaran.
Cuma ketika saya berinteraksi dengan alumni UGM, dan bagaimana mereka berpikir, serta jejaringnya yang luas, saya ya lumayan percaya. Dan ini jelas nggak saya temukan di UNY.
Saya yakin bakal diamuk mahasiswa UNY yang baca ini sih, tapi ya, bos, fakta ajalah. UNY memang maju di perkara pendidikan. Di bidang lain, not so much.
Baca halaman selanjutnya: Masak UIN dibandingin sama UGM?
Masak UIN dibandingin sama UGM?
Tapi hal-hal di atas itu ya hanya hal-hal yang tak begitu penting bagi saya. Karier, bagi saya nggak ditentukan semata-mata oleh kampusnya. Meski lingkungan kampus tetap menunjang karier seseorang sih. Yang bikin saya sampai sekarang menyesal tidak kuliah di UGM ya… karena saya tak akan tahu rasanya hidup di kampus hebat seperti itu.
Saya tak mengalami hidup di kampus yang berani menentukan sikap tegas terhadap kemunduran demokrasi. Jelas saya tak tahu rasanya bagaimana kultur diskusi di UGM, yang bisa menghasilkan manusia sekaliber Zainal Arifin Mochtar. Yang paling sederhana, saya tidak mengalami atmosfer keseharian hidup di kampus-kampus di sana.
Apakah UNY seburuk itu hingga saya segitunya memuji UGM? Ya nggak. Saya juga jadi orang kok karena kuliah di UNY. Apakah kualitas hidup saya otomatis membaik kalau kuliah di UGM? Wo ya nggak, perkara kayak gini faktornya kelewat banyak. Ya bisa jadi membaik, bisa saja malah lebih remuk.
Tapi ya, kalau dibilang gagal berakhir di UGM itu nggak jadi masalah besar, ya saya nggak mau bohong.
Jadi kalau ada yang bilang “saya bersyukur tidak keterima di UGM” atau “saya merasa biasa aja”, saya sih yakin orang tersebut sebenarnya kelara-lara atine. Ngaku wae, koe mesti pengin kuliah neng UGM to jane? Halah.
Sebab ya, UGM sebagus itu, dan memang bagus. Yang bilang ada kampus di Jogja yang bisa menyaingi, duh, mbok ya ojo kelewat pede. Apalagi bilang UIN lebih unggul ketimbang UGM, ya Allah batalno posomu wae, Lur, konangan ra waras kowe.
Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Rizky Prasetya