Masak UIN dibandingin sama UGM?
Tapi hal-hal di atas itu ya hanya hal-hal yang tak begitu penting bagi saya. Karier, bagi saya nggak ditentukan semata-mata oleh kampusnya. Meski lingkungan kampus tetap menunjang karier seseorang sih. Yang bikin saya sampai sekarang menyesal tidak kuliah di UGM ya… karena saya tak akan tahu rasanya hidup di kampus hebat seperti itu.
Saya tak mengalami hidup di kampus yang berani menentukan sikap tegas terhadap kemunduran demokrasi. Jelas saya tak tahu rasanya bagaimana kultur diskusi di UGM, yang bisa menghasilkan manusia sekaliber Zainal Arifin Mochtar. Yang paling sederhana, saya tidak mengalami atmosfer keseharian hidup di kampus-kampus di sana.
Apakah UNY seburuk itu hingga saya segitunya memuji UGM? Ya nggak. Saya juga jadi orang kok karena kuliah di UNY. Apakah kualitas hidup saya otomatis membaik kalau kuliah di UGM? Wo ya nggak, perkara kayak gini faktornya kelewat banyak. Ya bisa jadi membaik, bisa saja malah lebih remuk.
Tapi ya, kalau dibilang gagal berakhir di UGM itu nggak jadi masalah besar, ya saya nggak mau bohong.
Jadi kalau ada yang bilang “saya bersyukur tidak keterima di UGM” atau “saya merasa biasa aja”, saya sih yakin orang tersebut sebenarnya kelara-lara atine. Ngaku wae, koe mesti pengin kuliah neng UGM to jane? Halah.
Sebab ya, UGM sebagus itu, dan memang bagus. Yang bilang ada kampus di Jogja yang bisa menyaingi, duh, mbok ya ojo kelewat pede. Apalagi bilang UIN lebih unggul ketimbang UGM, ya Allah batalno posomu wae, Lur, konangan ra waras kowe.
Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Rizky Prasetya