Anda kiri atau minimal gemar membaca pemikiran kiri? Sudah dibully berapa kali? Pertanyaan tersebut saya lemparkan dengan yakin ya karena Anda bisa membaca artikel ini dari gawai.
Apa hubungannya? Sederhana. Masih banyak salah kaprah akan pemikiran kalian tersebut. Masih banyak salah kaprah akan anti-kapitalisme dan kapitalisme itu sendiri.
Alhasil, anti-kapitalisme sering diidentikkan dengan hal-hal tidak waras. “Anti-kapitalisme kok pakai smartphone?”, “Kiri kok nonton YouTube?”, atau yang lebih gila lagi “Kiri kok kerja”. Seolah kiri tidak berasal dari dunia ini. Anda pikir orang-orang kiri organisme autotrof yang tidak perlu atau butuh mengunyah makanan?
Anggapan tersebut secara mengejutkan bukan hanya berasal dari luar penganut paham tersebut, melainkan juga mereka yang mengaku anti-kapitalisme itu sendiri. Saya pribadi pernah “diserang” penganut paham ini karena keterbukaan saya menyukai salah satu girl group Korea Selatan Blackpink dan di saat yang sama memajang El Commandante Ernesto ‘Che’ Guevara sebagai wallpaper ponsel. Asu!
Anti-kapitalisme bukan lantas mengecam segala kegiatan ekonomi. Dan memang semangat yang ditolak dari kapitalisme itu sendiri bukan semata kegiatan jual beli. Apalagi untuk sekadar mengagumi empat wanita terbaik Korea Selatan.
Sejak saat itu saya kemudian bertanya-tanya, apakah sebenarnya semangat kapitalisme yang ditolak oleh kaum kiri? Dari pertanyaan tersebutlah saya makin bersemangat untuk memperdalam pemahaman kekirian saya. Saya baca beberapa buku dan bolak-balik mengunjungi sebuah web kiri terbesar di Indonesia (tidak usah disebut, Anda sudah tahu).
Bertemulah saya dengan sebuah artikel yang mengutip pendapat seorang sejarawan wanita. Yakni, Ellen Meiksins Wood.
Mendiang Ellen Meiksins Wood merupakan seorang ahli sejarah politik Amerika. Ia mendefinisikan semangat kapitalisme sebagai “sebuah sistem politik ekonomi yang berpusat pada pasar, dengan menjadikan kompetisi dan maksimalisasi profit sebagai prioritas”.
Dari pemahaman tersebut, semangat kapitalisme menjadi berbahaya karena dinomorduakannya kepentingan kaum pekerja demi bisa survive dalam kompetisi yang diprioritaskan tersebut.
Sedangkan anti-kapitalisme adalah sebuah pendirian yang menentang hal tersebut. Anti-kapitalisme adalah proses pencarian tanpa henti akan suatu sistem sosial politik di mana pasar tidak mengendalikan aspek-aspek sosial lain.
Sederhananya, anti-kapitalisme anti akan sistem yang menjadikan pasar serta kompetisi maksimalisasi profit di dalamnya sebagai poros kehidupan masyarakat. Bukan anti-pasar.
Anti-kapitalisme bukan semata-mata tidak memakai ponsel, menggunakan laptop, atau tidak ke mall dan lain sebagainya. Yang diyakini anti-kapitalisme sebenarnya, jangan sampai tuntutan pasar untuk berkompetisi dan maksimalisasi profit merugikan kelas pekerja (eksploitasi, dan sebagainya) atau masyarakat menengah ke bawah pada umumnya.
Karl Marx sendiri menyatakan bahwa setiap manusia di seluruh penjuru bumi memiliki cost of living atau lebih tepatnya cost of existence and propagation sehingga adalah sebuah keniscayaan untuk memiliki barang-barang tertentu.
Cost of living atau cost of existence and propagation tidak semata-mata berarti biaya hidup dalam bahasa Indonesia. Namun, jika harus dipaksakan untuk diterjemahkan ke bahasa Indonesia, kira-kira akan berbunyi “Biaya untuk hidup atau eksis di lingkungan sosial tertentu”.
Contoh sederhananya, di daerah dingin tentu adalah sebuah keniscayaan bagi tiap mereka yang ingin hidup untuk memiliki pakaian hangat. Dan untuk mahasiswa di zaman ini, memiliki ponsel atau laptop adalah keharusan untuk terus mengembangkan jangkauan intelektualitasnya.
Itu artinya, tidak akan pernah salah untuk memakai produk swasta dan memilikinya secara pribadi—yang mana merupakan sebuah keniscayaan—sepanjang tidak tunduk pada dalil paksaan pasar maupun hidup dalam dikte para pemilik modal, serta tetap pada semangat memperjuangkan dan memperhatikan kondisi kelas pekerja dan kaum menengah ke bawah dengan berbagai advantage yang kita punya.
Kesempatan duduk di bangku kuliah dan memiliki laptop atau ponsel secara pribadi hendaknya dimanfaatkan untuk menggelorakan semangat petani yang hendak dirampas tanahnya, pekerja yang kena PHK sepihak, penyuluhan hukum gratis kepada korban represifitas negara, atau bahkan menuntut rektor dan birokrat buat memotong UKT misalnya.
Atau perlawanan jangka panjang. Bisa dengan mempersenjatai anak-anak miskin dan rentan dengan pendidikan, atau memberikan penyuluhan keuangan bagi para petani, nelayan, maupun para pekerja sektor informal.
Nah, saya pun tidak akan diam jika YG Entertainment (agensi Blackpink) coba mengeksploitasi empat orang yang dikenal luas sebagai “revolusi” dalam industri K-Pop tersebut. Sederhananya, saya sebagai K-Poper yang “agak kiri” tidak akan mau didikte atau diam melihat idola saya didikte.
Memilih hidup tanpa dikte pasar adalah pilihan yang harus dihormati. Anggapan bahwa anti-kapitalisme inheren atau sejalan dengan ketidakwarasan tidak bisa dibiarkan menahun. Ini harus kita hentikan dan luruskan. Tidak hanya orang-orang di luar paham tersebut, namun juga oleh mereka yang mengaku menganutnya.
Ke depannya juga, perbedaan ideologi baiknya tidak menjadi legitimasi untuk saling mendiskreditkan atau bahkan memusuhi. Kalau tujuan kita adalah suatu tatanan yang lebih baik, perdebatan yang sehat adalah kuncinya.
BACA JUGA Burjo di Solo Adalah Culture Shock Pertama Saya.