Sawah Hilang, Data Bertambah: Trik Sulap LP2B Ala Jember

Sawah Hilang, Data Bertambah: Trik Sulap LP2B Ala Jember

Sawah Hilang, Data Bertambah: Trik Sulap LP2B Ala Jember

Kalau bicara Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), Jember ini mirip mahasiswa tingkat akhir yang tiap minggu bilang “bentar lagi skripsi selesai”, tapi semester demi semester masih nongkrong di warkop. Janji ada, niat di mulut selalu meyakinkan, tapi realitas di lapangan bikin kita garuk kepala.

Di atas kertas, LP2B itu ibarat pagar besi. Undang-Undang No. 41 Tahun 2009 sudah jelas: lahan pertanian tidak boleh sembarangan dialihfungsikan, demi menjaga ketahanan pangan, lapangan kerja petani, dan ekosistem desa. Bahkan ada Perda Jember yang menargetkan luas LP2B mencapai lebih dari 100 ribu hektare. Tapi kenyataannya, peta LP2B Jember belakangan berubah-ubah seperti mood orang habis putus cinta.

Sawah hilang, data LP2B berganti

Beberapa SK Bupati soal LP2B menampilkan plot twist yang bikin penonton sinetron geleng-geleng. Ada lahan yang tadinya masuk LP2B, lalu tiba-tiba hilang dari daftar. Kecamatan perkotaan seperti Sumbersari dan Kaliwates—yang dulu masih punya petak sawah tersisa—tiba-tiba dalam SK terbaru nihil LP2B. Pemerintah bilang, “Tenang, luas LP2B kita justru bertambah 327 hektare.” Tapi LBH dan DPRD menuding ada kejanggalan.

Publik tentu bertanya-tanya: sawahnya kok raib, tapi datanya bilang tambah? Apakah sawah di Jember bisa berkembang biak sendiri? Atau jangan-jangan yang bertambah itu hanya angka di Excel, sementara di lapangan sawah sudah berubah jadi perumahan subsidi dan ruko?

Pemerintah berdalih ini persoalan teknis pengukuran, pakai metode poligon tertutup. Tapi buat petani, istilah “poligon” itu kayak nama band indie yang asing di telinga. Yang mereka pahami sederhana: lahan mereka makin sempit, dan besok-besok mungkin tinggal kenangan.

Maka harus ditegaskan, LP2B adalah produk hukum yang melekat pada Perda RTRW. Pasal 22 ayat (2) Perda Nomor 1 Tahun 2015 jelas menyebutkan bahwa “Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan merupakan bagian dari kawasan lindung yang harus ditetapkan secara permanen.”

Artinya, perubahan sebaran atau penghapusan LP2B hanya sah bila dilakukan melalui mekanisme revisi perda. Itu pun dengan syarat ketat: kajian akademik, konsultasi publik, persetujuan DPRD, hingga evaluasi gubernur

Dari Sawah ke Beton: Alibi Alih Fungsi LP2B

Di sinilah letak masalah: LP2B rawan jadi alibi. Ketika pemerintah daerah bilang “kami melindungi lahan pertanian”, yang terjadi justru sebaliknya—ada proses legalisasi bertahap atas alih fungsi. Jadi, sawah bukan hilang karena “ilegal”, melainkan karena diberi payung hukum. Pembangunan perumahan, industri, hingga jalan baru bisa mulus jalan, tanpa perlu dituding melanggar aturan.

Antonio Gramsci menyebut ini sebagai bentuk hegemoni: kekuasaan tidak selalu menindas dengan kekerasan, tetapi dengan membungkus kepentingan elite menjadi seolah-olah “demi rakyat”. Perlindungan pangan dijadikan jargon, padahal di baliknya ada kepentingan kapital untuk memperluas ruang akumulasi. Kalau kata Karl Marx, tanah adalah basis material: siapa menguasai tanah, dialah yang menguasai alat produksi. Dan di Jember, petani jelas bukan pihak yang dominan.

Bagi James C. Scott, petani kecil itu punya “senjata kaum lemah”: menolak, nggrundel, atau pura-pura patuh. Tapi dalam konteks LP2B, senjata itu tumpul. Mereka kalah oleh legitimasi SK Bupati dan keputusan teknokrat yang bicara dengan bahasa rumit. Akhirnya, suara petani terseret arus pembangunan.

Pangan Bukan Sekadar Angka

Padahal, persoalan LP2B bukan hanya soal berapa hektare sawah tersisa. Ini soal siapa yang makan, siapa yang kerja, dan siapa yang ambil untung. Kalau lahan terus menyusut, Jember bisa kehilangan identitas sebagai daerah agraris. Produksi padi turun, harga beras naik, buruh tani kehilangan pekerjaan, dan desa makin ditinggalkan.

Bayangkan, Jember yang dulu dijuluki “lumbung pangan” bisa berubah jadi “lumbung perumahan subsidi”. Anak muda yang dulu masih bisa bantu panen, besok mungkin lebih sibuk ngojek online karena sawah sudah jadi aspal.

Di sini kita bisa lihat betapa rentannya politik pangan terhadap logika kapital. Seperti kata David Harvey, kapitalisme selalu mencari ruang baru untuk ekspansi—dan tanah adalah sasaran empuk. Lahan pertanian bukan dilihat sebagai sumber pangan, tapi sebagai komoditas: lokasi strategis untuk bisnis properti atau industri.

Pertanyaannya: apakah pemerintah bisa serius menjaga LP2B? Kalau betul serius, mestinya ada langkah-langkah konkret, jika tidak maka LP2B cuma akan jadi singkatan yang keren di rapat-rapat. Perlindungan pangan hanya formalitas, sementara kenyataan di lapangan: sawah habis, petani terpinggirkan, dan ketahanan pangan jadi mitos.

Terakhir nih

Jember sedang bermain di panggung besar antara janji melindungi dan alibi alih fungsi. Pemerintah bisa saja terus mengulang retorika “LP2B kita bertambah”, tapi rakyat akan menilai dari harga beras di pasar, dari sawah yang makin menyempit, dan dari desa yang makin kehilangan cangkul.

Kalau dibiarkan, LP2B akan jadi semacam puisi pembangunan: indah dibaca, tapi kosong makna. Kita harus memilih: mau mempertahankan Jember sebagai lumbung pangan, atau merelakan sawahnya lenyap demi deretan ruko.

Dan seperti biasa, pertanyaan terakhir tetap sama: LP2B ini sungguh pagar pelindung, atau cuma alibi licin biar sawah bisa pelan-pelan diganti beton?

Penulis: N.A. Tohirin
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Jatuh Cinta Berkali-kali pada Jember, meski Sensasi Hidup di Kota Ini Begitu Nano-nano

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version