Satu Kata untuk Arsenal: “Bubar!”

Satu Kata untuk Arsenal- “Bubar!” (Unsplash)

Satu Kata untuk Arsenal- “Bubar!” (Unsplash)

Sejak Arsenal memecat Unai Emery, saya langsung menetapkan hati untuk mendukung dengan santai. Dulu, setiap kekalahan bisa membuat saya bolos kerja. Setiap kemenangan, bisa bikin saya bahagia sehari penuh. Kini, saya mendukung dengan hati yang lebih “menerima”. Dan, keputusan ini menjadi salah 1 keputusan terbaik yang saya ambil dalam 10 tahun belakangan ini.

Saat ini, saya merasa mendukung klub sepak bola, atau apa saja dalam kehidupan, harus bisa menetapkan batasan. Jika gagal menetapkan batas, kebahagiaan dan kesehatan diri sendiri yang jadi taruhannya. Maka, jika boleh memberi saran, mari mendukung apa saja dengan hati yang riang.

Ingat, semua hal yang kamu tentukan sebagai “kesayangan”, tidak boleh merenggut kebahagiaan diri sendiri. Lantas, apakah saya nggak berharap lagi Arsenal untuk juara? Tentu itu pernyataan bodoh. Namun, saya menyadarkan diri sendiri untuk menikmati apa adanya. Dan, yang lebih penting, adalah menurunkan ekspektasi dan harapan. Boleh dong, mendukung dengan santai.

Hasilnya, sejak Mikel Arteta melatih, saya hampir tidak pernah lagi bad mood ketika Arsenal kalah. Kerja jadi lebih enak, ngopi bersama kawan terasa lebih nikmat. Namun, setelah 5 tahun, akhirnya ada “sesuatu” yang terjadi. Ada rasa kesal dan sebal yang lebih dari 5 tahun tak lagi saya rasakan.

Angka-angka yang menyebalkan

Kekalahan dari Liverpool di FA Cup sebetulnya tidak lagi mengejutkan. Melihat 7 laga ke belakang, melihat cara bermain saja, saya sudah yakin kemenangan itu sulit digapai. Arsenal juga hanya 1 kali menang atas Brighton. Sisanya, 4 kalah dan 2 imbang. Kalah beruntun itu (seharusnya) biasa saja bagi fans The Gunners. Yang bikin saya mulai merasa kesal lagi adalah melihat apa yang terjadi di lapangan.

Arsenal kehilangan “identitas”. Sebuah identitas yang musim lalu membuat mereka menjadi penantang juara Liga Inggris. Dan, ketika saya menulis kata “Arsenal” di sini, yang saya maksud adalah pelatih dan pemain. Saya rasa, 2 entitas ini tidak bisa dipisahkan jika kamu ingin mengkritik.

Pemain Arsenal mampu mengumpulkan 11,48 expected goals (xG) dari 7 laga dengan konversi hanya 5 gol. Gampangnya, expected goals adalah angka yang menunjukkan seberapa tinggi rata-rata peluang yang seharusnya menjadi gol. Dalam 7 laga itu juga, Arsenal menderita 6,9 expected goals against (xGA) dengan konversi 9 kebobolan. Selama itu, ada 22 peluang bersih tercipta dengan 18 di antaranya gagal. Semakin buruk lantaran The Gunners kebobolan 3 kali dari bola mati.

Angka-angka di atas adalah angka-angka yang menyebalkan. Kenapa? Karena Arsenal seharusnya bisa membuat rata-rata 3 sampai 4 gol per laga. Namun, para pemain (bukan hanya striker), rajin membuang peluang. Kebiasaan buruk ini seakan-akan menjadi “undangan” bagi tim mana saja untuk berani menyerang karena eventually Arsenal akan bobol juga.  

Saya kesal karena Arsenal mengontrol laga dan seharusnya bisa melewati semua tim di 7 laga akhir dengan “nyaman”. Namun, mereka menyulitkan diri sendiri. Itulah masalah klasik, virus purba yang masih menjangkiti The Gunners.

Baca halaman selanjutnya: Kombinasi pemain yang mandul dan pelatih terlalu pasif.

Bukan salah Arteta dan pemain saja, tapi salah semua

Suatu kali Thierry Henry pernah memberi gambaran dasar filosofi Guardiola. Henry bilang gini: “He puts everything in place to get the ball up to the final third of the pitch and then trusts his team to finish the job in the only area of the field that can’t be planned for.”

Artinya: “Guardiola mengatur semuanya (taktik) supaya pemain bisa membawa bola sampai ke sepertiga akhir lapangan, lalu mempercayakan semuanya kepada pemain, untuk menyelesaikan proses tersebut (peluang), yang terjadi di sebuah area di mana pelatih tidak bisa secara tepat (atau pasti) membuat perencanaan.”

Melihat angka-angka menyebalkan di atas, artinya Arteta sukses “membawa” pemain ke sepertiga akhir lewat taktiknya. Namun, pemain, yang seharusnya melengkapi taktik tersebut dengan gol, gagal melakukannya. Apa ya Arteta juga harus ikut main dan jadi striker untuk menyelesaikan peluangnya yang datang dari taktiknya sendiri?

Namun, pernyataan di atas tidak lantas menyatakan Arteta terbebas dari dosa dan tiang gantungan. Pelatih yang masih dianggap muda ini lambat melakukan penyesuaian ketika pertandingan sekana-akan terkunci dan pemain Arsenal kehilangan solusi. Arteta masih harus belajar banyak dari Jurgen Klopp.

Jadi, high press Arsenal di babak 1 sukses mematikan build-up Liverpool dari tengah. Banyak peluang muncul dari keberhasilan ini. Klopp menyadari timnya dalam bahaya jika kondisi tersebut awet berlanjut. Maka, pelatih asal Jerman itu menggeser Nunez ke kiri dan Diaz ke kanan. 

Pace dan intensity sayap Liverpool akhirnya menjadi solusi. Mereka banyak mensirkulasikan bola ke sayap dan menjadikan flanks Arsenal sebagai target. Sementara itu, Jota dan Elliott bergantian masuk ke area striker dengan baik. Inilah yang namanya in-game management.

Sinergi, tidak ada lagi yang lain

Jika Arteta (dan kita semua) menuntut para pemain bisa memaksimalkan peluang, ada baiknya Arteta juga kena kritik. Maksud saya, keduanya tidak bisa disalahkan sendiri, harus dalam 1 paket. Arteta kudu lebih responsif dengan jalannya pertandingan. Bukan mengganti pemain A dengan B saja, tapi supaya pemain B bisa maksimal dengan cara bermain berbeda.

Sementara itu, sudah saatnya Arteta juga lebih kejam. Pemain yang tidak bisa berkontribusi di level tinggi ya kudu dilepas. Jika sebuah perusahaan mendasarkan masa depannya kepada romantisme saja, pada akhirnya perusahaan yang menderita. Manusia-manusia lainnya di dalam perusahaan yang sudah bekerja lebih keras juga menderita dan rasanya nggak adil saja.

Maka, pada akhirnya adalah sinergi. Kalau kena kritik, ya kena semua. Kalah 1 pihak kudu maju, ya pihak lain juga. Pada akhirnya kan semua soal kemenangan. Kemenangan itu dicapai dengan lebih banyak mencetak gol. Sepak bola bukan kompetisi banyak-banyakan bikin peluang dan siapa lebih cantik mengoper bola.

Kalau nggak bisa dan nggak mau, ya 1 kata saja untuk Arsenal: “Bubar!”

Penulis: Yamadipati Seno

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Arsenal Membiarkan Si Gajah Terjatuh dari Ketinggian

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version