Disclaimer. Ini cerita subjektif saya saja, dan semoga tidak dijadikan bahan untuk mendiskreditkan siapa pun.
Ketika saya sampai di Perumahan Wisma Tajur, saya melihat anak muda berbaju merah pudar itu sudah sibuk di dekat gapura kompleks. Ia bersama seorang warga bernama Pak Hendri dan seorang ketua RT, mengatur evakuasi dan distribusi logistik. Di tangannya ada sebuah buku yang berisi catatan warga di mana saja yang belum dievakuasi. Hanya ada satu perahu karet milik BNPB. Satu perahu karet lagi barusan ditarik untuk dipindahkan ke Pondok Bahar.
Perumahan Wisma Tajur ini salah satu wilayah banjir terparah di Tangerang. RW 07 yang terdiri dari sekitar 600 rumah, semua terendam. Tadi malam air mencapai atap, tapi Kamis siang sudah surut sampai sedada. Lokasinya hanya berjarak sekitar 1 kilometer dari kompleks saya. Saya melipir ke situ karena permintaan kantor untuk live report, setelah mengungsikan keluarga saya ke tempat yang aman. Kompleks saya juga kebanjiran, tapi tidak separah Wisma Tajur. Di tempat saya “cuma” sepinggang.
Dari obrolan sekilas dengan anak muda itu, saya tahu kalau dia bukan warga setempat. Ia pekerja NGO dan kebetulan ibu mertuanya juga terjebak di dalam kompleks. Dia mengaku pengantin baru. Sudah dari semalam di situ. Entah perintah kantor atau karena inisiatifnya sendiri, dia mengambil peran sebagai “koordinator”. Saya mengenal beberapa anak muda seperti ini. Mereka yang gampang tergerak tanpa harus menunggu birokrasi. Bleeding heart, sebutannya.
Saya perhatikan dia memang cukup berperan. Dia mengoordinasi pemasangan jalur tambang supaya warga bisa masuk sendiri membawa logistik atau mengevakuasi keluarga tanpa perlu menunggu perahu.
Saya lihat dia agak keteteran, jadi saya putuskan untuk membantunya, sambil saya mengumpulkan bahan liputan untuk kantor. Saya bantu mengumpulkan logistik yang mau diantar per blok. Untungnya, tak lama kemudian, 5 orang tentara datang. Saya jelaskan kondisinya dan mereka bersedia membantu mengantar logistik untuk warga yang masih bertahan di dalam. Tapi data siapa yang harus dievakuasi dan diantarkan logistik, tetap dipegang oleh anak muda itu. Kita sebut saja namanya R.
“Baru gue lihat ada wartawan abis kerja turun ngebantu, Bang,” katanya.
Saya bilang rumah saya juga kebanjiran, dan secara geografis ini masih wilayah tetangga saya juga.
“Biasanya langsung ngopi,” katanya lagi. Saya tertawa.
Semua lancar dan baik saja, sampai kemudian datang seorang bapak berbaju biru itu.
“Siapa kamu? Datang malah ngatur-ngatur!” teriaknya. Dia marah dan kelihatannya merasa dilangkahi wewenangnya oleh R. Ia memarahi R dengan kata-kata keras dan menyebut dirinya sebagai pejabat kecamatan yang lebih bertanggung jawab.
Saya menarik R mundur dan menenangkannya. Istri R yang juga ada di situ menunggu ibunya dievakuasi, memeluk R.
“Tenangin suamimu, Mbak,” saya bilang begitu. Beberapa orang, termasuk petugas Babinsa, menarik si bapak pejabat. R mengangkat tangannya yang menggenggam buku itu ke atas.
“Saya buang ini sekarang!” katanya menahan marah.
Dan memang, catatan siapa yang sudah dan masih harus dievakuasi itu, cuma R yang pegang. Perangkat RW mempercayakan padanya. Ketika kemudian petugas Tagana Baznas datang, R menyerahkan catatannya itu kepada rescuer dan dia sendiri menepi entah ke mana. Mungkin menenangkan diri.
Saya berusaha memahami situasinya. Beberapa warga yang saya tanya, jelas membela R.
“Dia sudah dari semalam bantu kita,” kata seorang ibu.
“Tak apa, Mas, warga juga tau kok siapa yang kerja,” kata seorang remaja yang sedari tadi saya lihat memandu perahu karet. Badannya basah kuyup.
Saya sempat merekam ketika pejabat itu memarahi R dengan kata-kata keras sambil menyebut siapa dirinya. Tapi saya simpan untuk diri sendiri saja. Saya juga tak tahu lagi ke mana sang pejabat pergi setelah itu. Saya baru bertemu dia lagi di posko ketika Wakil Walikota datang meninjau.
Saya beli sebotol teh Pucuk Harum. Meminum tegukan pertama. Pak Wawali disambut para perangkat, yaitu ketua RW, Lurah, dan oh juga bapak yang marah-marah tadi. Setelah itu mereka berfoto dengan mandatory style: memberi jempol atau mengepalkan tangan. Barangkali di tegukan keempat atau kelima teh pucukku, rombongan itu sudah pamit pergi lagi. Saya dengar seseorang berteriak. Hidup, “Pak Wakil! Tahun depan Wali Kota!”
Saya mengerjakan tugas saya live by phone ke kantor, dan setelah itu pergi mencari R. Saya melihat ia menggendong bayi yang tampak lemah. Ibu si bayi mengikut di belakangnya. Bayi itu demam dan butuh bantuan medis. Saya arahkan ke posko tempat tadi para bapak pejabat itu berfoto.
“Lo naik apa, Bang?” tanyanya. Bayi yang dia gendong itu tersingkap sarungnya. Mungil sekali. Saya jadi ingat Rain, dan hampir menangis lagi setelah tadi melihat anak kecil yang popoknya penuh itu.
“Motor,” jawab saya.
“Ntar gue nebeng lo pulang ya.”
Saya iyakan. Saya menunggunya di dekat motor saya terparkir, tapi dia tak juga muncul. Kepala saya agak pening dan pertigaan saya mulai terasa lembab setelah terendam sepaha tadi. Saya memutuskan pulang duluan. Saya berharap, mudah-mudahan nanti kami bisa berjumpa lagi di tempat yang lebih kering dan tak ada orang teriak-teriak.
BACA JUGA Yang Heboh dan Menyedihkan dari Banjir Jakarta: Jokowi, Coki, Yuni Shara, dan Foto Ketimpangan dan ikuti Facebook Fauzan Mukrim.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.