Sastra Jepang vs LPK Jepang: Manakah yang Lebih Baik?

Sastra Jepang vs LPK Jepang: Manakah yang Lebih Baik?

Sastra Jepang vs LPK Jepang: Manakah yang Lebih Baik? (Pixabay.com)

Sebagai lulusan Sastra Jepang, sebenarnya saya agak terkejut juga waktu dengar candaan salah satu akun jejepangan di Instagram. Katanya, “mending LPK terus jadi kenshuusei saja” saat ada cerita netizen kalau yang bersangkutan diterima kuliah Sastra Jepang. Tapi, dari candaan itu, saya paham juga sih kegelisahan yang mungkin akan dirasakan alumni Sastra Jepang. Yang jelas, keduanya sama-sama belajar bahasa Jepang, kok.

Kalau dibilang lebih baik mana, kuliah atau LPK, kita harus melihatnya lebih luas lebih dulu. Nggak bisa bandingin langsung. Ada beberapa poin yang harus dibahas.

Waktu dan biaya yang dikeluarkan

Seperti yang diketahui, belajar di LPK biasanya paling lama 6 bulan. Kalau mau nambah diurasi, biasanya nambah biaya lagi. Selesai belajar di LPK, akan mendapat semacam sertifikat yang berisi hasil belajarnya. Sedangkan kuliah program studi Bahasa Jepang (D3) atau Sastra Jepang (S1), ya 3 tahun untuk D3, dan 4 tahun untuk S1. Bisa lebih sih, kalau skripsi nggak kelar-kelar. Kalau lulus, berhak menyandang gelar pendidikan diploma maupun sarjana.

Biaya belajar di LPK selama 6 bulan adalah sekitar 10-15 juta rupiah atau lebih, sedangkan kuliah bisa lebih mahal dari itu. Namun, ilmu yang didapat jelas beda. Kita akan bahas hal tersebut di paragraf selanjutnya.

Materi pelajarannya tentu saja berbeda

Untuk materi, tentu saja di LPK hanya diajarkan bahasa Jepang (baik tulisan, bacaan, percakapan, maupun pendengaran). Ditambah budaya Jepang, cara kerja orang Jepang, kedisiplinan, fisik, mental, dll. Yang jelas, materi bahasa Jepang yang banyak dipadatkan hanya dalam waktu singkat. Nggak sempat buat mengulik dari segi ilmu linguistiknya dengan berbagai teori kebahasaannya, bla bla bla. Jadi, bisa dibilang bahasa Jepang yang diajarkan adalah bahasa praktis dan tinggal dipakai saja.

Kalau kuliah Sastra Jepang, ya tentu saja tak melulu hanya mempelajari seputar bahasa Jepang saja. Untuk materi jejepangan saja, selain bahasa Jepang, akan mempelajari serba-serbi Jepang (sejarah, budaya, politik, sastra, dll) juga. Itu baru yang jejepangannya, lho. Belum materi kuliah universitas maupun fakultas yang wajib diikuti juga. Ada kewarganegaraan, filsafat, inguistik, sastra, budaya secara umum, dll. Belum pula kalau ambil kuliah jurusan atau fakultas lainnya. Ada presensi dan nilai ujian, lalu nilai IPK yang dipertaruhkan. Jangan lupa, ada KKN dan skripsi juga. Wedew.

Nah, itu yang bikin biayanya mahal. Kalau ditanya kenapa harus belajar sebanyak itu, ya namanya aja kuliah.

Motif belajarnya berbeda

Nah, ini dia yang paling penting juga, yakni pertanyaan belajar bahasa Jepang buat apa. Jawabannya bisa beragam, tapi saya yakin, salah satunya adalah akan digunakan untuk bekerja. Ye kan?

Mungkin pekerjaan yang bisa “dilamar” oleh lulusan LPK jangkauannya lebih sempit dibanding lulusan Sastra Jepang. Alasannya karena lulusan LPK biasanya memilih untuk bekerja di Jepang sebagai kenshuusei. Sedangkan lulusan D3 Bahasa Jepang maupun S1 Sastra Jepang bisa juga menjadi penerjemah baik lisan maupun tulisan di perusahaan Jepang, guru bahasa Jepang, maupun pekerjaan lainnya (yang kadang nggak nyambung) di dalam negeri. Kalau mau jadi guru atau dosen di lembaga pendidikan formal, ya memang wajib kuliah, sih. Tapi, bisa juga bekerja di Jepang, kok.

Akan tetapi, meski keduanya bisa bekerja di Jepang, bisa dibilang kalau lulusan LPK biasanya akan bekerja sebagai kenshuusei atau tokutei ginou (specified skilled worker). Sedangkan lulusan Sastra Jepang bisa bekerja di lebih banyak bidang seperti PR hotel, marketing, salaryman, dll.

Ada yang bilang, kenshuusei itu pekerja kasar di bidang pekerjaan yang kadang orang Jepang sendiri nggak mau bekerja di situ. Tapi, nggak sedikit juga kenshuusei yang enak kerjaannya. Lagipula, setelah menyelesaikan program kenshuusei selama 3-5 tahun di Jepang dan pulang ke Tanah Air, bisa juga bekerja di perusahaan Jepang sebagai penerjemah dan menjadi guru bahasa Jepang, kok. Asal, kemampuan bahasa Jepangnya oke.

Intinya, motif menentukan output.

Jadi, mending yang mana?

Wah, silakan diputuskan sendiri ya. Bagaimana kebutuhannya dan motif belajarnya untuk apa.

Kalau memang sudah memiliki keterampilan khusus seperti teknik, mesin, listrik, dll, dan pengin langsung bekerja di Jepang ya mungkin bisa langsung belajar bahasa Jepang di LPK atau kursus/les juga boleh, deh. Semakin cepat bekerja di Jepang, semakin cepat punya uang, bisa sambil piknik, foto-foto dengan sakura, naik shinkansen, dll. Yang penting, bisa bekerja di Jepang.

Kalau mau merasakan jadi mahasiswa, menyelami dunia pendidikan dan memperluas cakrawala, ada dana dan waktu, ya silakan kuliah Sastra Jepang. Bidang pekerjaannya juga jauh lebih luas. Banyak kok lulusan Sastra Jepang yang akhirnya bekerja sebagai marketing, pegawai bank, dll. Nggak masalah juga.

Baik belajar bahasa Jepang di LPK maupun Sastra Jepang, keduanya tentu saja nggak mudah. Terlebih kalau orientasinya memang mau bekerja di Jepang, ya. Mempelajari budaya, karakter sifat, cara berpikir, dan cara bekerja orang Jepang juga sama pentingnya dengan mempelajari bahasanya. Lagipula, keduanya hanya alat/tingkatan saja yang akhirnya dijadikan untuk mencari uang. Dan nggak ada yang lebih unggul juga, sih, keduanya sama.

Penulis: Primasari N Dewi
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Kamagasaki, Kota yang ‘Dihapus’ dari Peta Jepang

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version