Selain musim duren, rambutan dan lainnya, ada pula musim kawin nikah yang tentunya di negara +62 ini. Nah, bisa dikenali nih ada bulan nikahan ada dimana-dimana dan undangan setampah lalu bingung ngajak siapa.
Adanya musim nikah ini katanya karena ada bulan-bulan baik tertentu yang dianggap masyarakat Indonesia tepat digunakan sebagai waktu untuk menikah. Di antaranya adalah Syawal dan Dzulhijah. Kenapa sih harus Syawal sama Dzulhijah semua pada nyebar undangan?
Alasannya bulan Syawal dikatakan baik karena menurut cerita, Nabi Muhammad menikahi Siti Aisyah pada bulan ini. Selain itu bulan Syawal yang biasanya identik dengan Idul Fitri adalah momen pas untuk menikah dikarenakan saat Idul Fitri pun banyak sanak keluarga yang berkumpul juga dan terbilang hari yang cukup banyak liburnya. Toh kalau yang kerja juga gak banyak cuti dan bolos jadinya. Selain banyak liburnya, THR pun masih kekumpul. Nah, nggak bingung amplopan kan.
Sedangkan Dzulhijah dianggap sebagai bulan haram. Bulan yang dianggap haram untuk melakukan peperangan. Jadi, maksudnya bulan yang baik untuk melakukan hal-hal yang baik seperti ibadah untuk menikah.
Di balik baiknya bulan-bulan dan berkahnya ketika menikah di Syawal dan Dzulhijah tersimpan beberapa problematika alias sambatan yang biasa dialami kita-kita. Yuk mari bersambat ria sejenak.
Pertama, banyaknya jalan di tutup karena terop manten.
Ini nih yang menurut saya benar-benar mengganggu. Apalagi di bulan sejuta mantenan ini satu jalur perumahan saya bisa mendapatkan 3-5 terop manten yang tentunya beberapa ratus meter sudah dipasang papan “Maaf Sedang Ada Kegiatan”. Kegiatan mbahmu!
Di mana kita para pengguna jalan diharuskan muter ke gang sebelah—yah, kalau cuma muter ke gang sebelah, nyatanya biasanya jalur akan lebih jauh dan yang pasti karena banyaknya kendaraan yang harus muter lagi macet pun terjadi. Diaaar, lengkap sudah sumpek dan sebal saya!
Kalau gang yang ditutup, oke deh mungkin nggak banyak amat yang lewat. Ini nih biasanya jalan protokol alias jalan raya yang benar-benar digunakan banyak orang. Motor, mobil hingga truk-truk lewat terpaksa dialihkan ke jalan yang cukup tak lebar. Alhasil ke tempat tujuan pun nggak tepat waktu bahkan kadang molor. Wahai mas mbak manten, kebahagiaan kalian itu kadang bikin merepotkan yang lain—huhu.
Kalau bisa meminimalisir lah buka terop tengah jalan yhaaa~
Kedua, sound dangdut koplo mantenan yang kenceng.
Kalau ini biasanya dialami yang biasanya tetangga kanan-kiri punya hajatan. Biasanya nggak mantenan aja seperti pengajian atau hajatan lain tetangga biasanya mengeraskan suara volume sound. Mungkin tujuannya baik. Agar ramai, meriah dan lokasi tempat manten pun terdeteksi.
Orang yang biasa dengan ketenangan betapa cukup mengganggunya volume keras sound menggema seluruh gang. Untung nggak ada bayi di rumah saya. Tapi cukuplah ketenangan bobok siang saya sedikit terganggu. Nggak mungkin juga kan protes, “woy matiin soundnya!” karena pasti jamaah emak-emak akan menyerbu saya.
Ketiga, banyaknya undangan manten.
Dapat undangan manten atau teman jauh yang tiba-tiba dapat kabar lewat WhatsApp “Datang ya, Rek”—sambil pap undangan mantennya kadang senang juga. Sambil berkumpul dengan yang lain apalagi kalau teman SD atau SMP yang udah jarang ketemu pasti sambil ajang silaturahmi dan reuni kecil-kecilan.Seneng juga liat si doi yang dulu cupu jadi makin cantik dan ganteng.
Tentunya senang dan bahagia liat kawan-kawan lama berkumpul dan silahturahmi. Tapi ketahuilah, Rek—bagi mahasiswa seperti saya yang kerjaan juga gak pasti dan pas-pasan kadang mikir beberapa kali cari duit buat amplopan mempelai. Salam sobat bokek~
Keempat, apalagi kalau gak bukan para jiwa kaum jomblo yang melonjak.
Problem selanjutnya adalah para kami yang single alias jomblowan jomblowati yang kadang galau cari gandengan diajak kondangan. Sementara kawan nan mantan siap siaga dengan batik brokat menyambut kegetiran hati kami penyandang status single.
Nah, beberapa itulah problematika alias sambatan-sambatan saya atau bahkan dari beberapa kalian juga bernasib sama yang sering ditemui musim nikah seperti ini. Yah, semoga samawa euy mbak mas. Kurang-kurangin nutup jalan. (*)