Sambat Masalah Ekonomi, Solusinya Disuruh Jadi Kaya, Logikanya di Mana?

Sambat Masalah Ekonomi, Solusinya Disuruh Jadi Kaya, Logikanya di Mana?

Sambat Masalah Ekonomi, Solusinya Disuruh Jadi Kaya, Logikanya di Mana? (Pixabay.com)

Setelah berkeluarga, saya kenal hal-hal baru dalam hidup: letih yang hilang karena senyum anak, masakan istri yang makin enak, tanggung jawab, dan yang terakhir, masalah ekonomi. Saya pikir kebanyakan pasangan muda mengalaminya. Jatuh bangun di awal, bisa survive tanpa utang saja sudah hebat, dan berdoa lebih sering. Tentu saya tak perlu menceritakan pasangan yang kaya, mereka tak akan masuk hitungan.

Masalah ekonomi, seringnya, berlanjut jadi masalah-masalah baru. Mudah marah, letih, kurang ceria, pandangan yang sempit. Intinya, susah untuk menikmati hidup. Kadang, yang bisa kita lakukan hanyalah sambat dan curhat. Setidaknya, gerundelan dalam hati bisa hilang.

Namun, terkadang, manusia alih-alih jadi baik, malah memilih jadi brengsek. Saya tak jarang menemukan orang yang sambat tentang masalah ekonomi di berbagai platform malah kena bacotan-bacotan goblok. Salah satunya adalah menyuruh jadi kaya. kira-kira begini ilustrasinya.

“Lur, aku pengin sambat. Duitku ngepres, tapi popok anak sudah habis. Kudu piye yo, Lur?”

“MAKANYA JADI KAYA!”

“MAKANYA KERJA KERAS, BIAR JADI KAYA!”

Asu, goblok.

Curhatan seperti itu sebenarnya bisa dijawab dengan rekomendasi popok murah, atau ditenangkan hatinya, atau dikuatkan perasaannya. Atau yang lebih konkret lagi: tawari pinjaman atau peluang kerja sampingan. Manusia yang waras, harusnya menjawab seperti itu. Namun, beberapa manusia, memilih jadi tolol, lalu menyuruh orang jadi kaya.

Tak banyak orang yang akhirnya berani sambat di media sosial. Orang-orang tersebut sudah membuang harga dirinya dan mengutarakan masalah yang harusnya ia simpan rapat. Terlebih jika ia laki-laki. Di negara ini, jadi laki-laki itu terkadang menyedihkan: diminta kuat tanpa syarat, tak boleh sambat, masalah harus disimpan rapat. Hal tersebut, tinggal menunggu waktu, bikin orang sekuat apa pun jadi remuk.

Keberanian (atau kepasrahan) ini, harusnya diapresiasi. Orang-orang kalah, masih memilih berani, dan mencari solusi. Terlebih masalah ekonomi bukanlah hal yang sepele. Oleh karena itulah, menyuruh jadi kaya, adalah tanggapan yang bodoh.

Kaya atau tidak tak pernah jadi pilihan. Banyak yang sudah berusaha keras, betul-betul keras, tetap saja berakhir jadi medioker. Mereka sudah tahu konsekuensi hidup, tapi tetap berjuang. Kita tahu benar bahwa kerja keras, nyatanya, tak bisa jadi cara tunggal meraih kesuksesan.

Meminta orang jadi kaya karena terhimpit masalah ekonomi itu sebenarnya ya bodoh. Kalau bisa, ya orang memilih jadi kaya. Bahkan, mungkin, sekadar cukup. Namun, ia tak bisa. Banting tulang sampai remuk sekalipun, mereka tetaplah miskin. Dan kita tahu betul bahwa kemiskinan itu bukanlah perkara mental, tapi struktural.

Mereka sudah tahu kalau tidak kaya, tak perlu kau ingatkan.

Manusia yang berusaha keras melawan arus

Saya heran betul sama manusia yang berusaha terlalu keras melawan arus. Seakan-akan, mereka berusaha savage hanya untuk terlihat berbeda. Alih-alih terlihat keren, mereka malah terlihat amat tolol. Kenapa? Ya karena “arus” yang dilawan itu seharusnya tinggal diikuti saja, tak perlu diberi perlawanan.

Kadang, kita ingin menjadi sesuatu yang bukan diri kita. Terpukau oleh orang lain yang (asal) menantang, kita ikutan. Padahal, kita tak harus seperti itu. Manusia dianugerahi common sense, yang kebanyakan, tak perlu dipertanyakan.

Yang namanya common sense, ya harusnya tak perlu dilawan. Andaikan kamu ingin melawan, tak perlulah sampai menyakiti. Terkadang, kita tak perlu memperlihatkan kalau kita bisa melihat celah dalam sebuah ide lalu menyampaikan perlawanan.

Kita lupa bahwa kita ini manusia. Jauh sebelum ide-ide itu dikenal otakmu, dan keinginan-keinginan menjadi sesuatu, kita ini manusia. Tak bisa hidup tanpa orang lain, saling mengasihi satu sama lain. Sambat adalah cara menjadi manusia, dan mendengarkan sambatan juga cara menjadi manusia.

Sepertinya, kita memang harus mengajarkan pada anak-anak kita bahwa menghargai keluh kesah orang itu perlu. Terkadang orang tak lagi kuat menyimpan hingga akhirnya disampaikan ke media sosial. Terlebih, masalah ekonomi, yang tak pernah mudah dicapai solusinya.

Selain menghargai masalah yang dialami, kita perlu mengajarkan ke anak kita bahwa yang terpenting bukanlah terlihat pintar atau terlihat hebat, tapi, menjadi manusia yang waras. Manusia yang waras, tak akan memilih menjadi tolol agar terlihat edgy.

Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Hemat Pangkal Kaya, Rajin Pangkal Pandai, Masa sih?

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version