Salah Kaprah Perilaku Pejabat Indonesia dalam Menentukan Nama Tempat

Salah Kaprah Perilaku Pejabat Indonesia dalam Menentukan Nama Tempat Terminal Mojok

Salah Kaprah Perilaku Pejabat Indonesia dalam Menentukan Nama Tempat (Unsplash.com)

Ini para pejabat di Indonesia yang memang belum tahu, atau…?

Tempo hari Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, melalui akun media sosialnya mengumumkan bahwa pemerintah Jawa Barat sedang mengusulkan almarhum Mochtar Kusumaatmadja sebagai pahlawan nasional. Selain itu, nama beliau juga sudah diabadikan menjadi nama jalan layang menggantikan jalan layang Pasupati (Pasteur-Surapati) di Kota Bandung.

Saya nggak ada masalah terkait usulan pemerintah Jawa Barat untuk menjadikan beliau sebagai pahlawan nasional. Lha gimana, memang beliau banyak sekali jasanya bagi Indonesia, kok.

Oh iya, bagi yang belum tahu, selain pernah menjabat sebagai guru besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, beliau juga pernah menjabat sebagai Menteri Kehakiman dan Menteri Luar Negeri pada era Presiden Soeharto. Selain itu, nama beliau juga sangat familier bagi mahasiswa Ilmu Bumi yang pernah belajar tentang Konvensi PBB tentang Hukum Laut. Indonesia sekarang mempunyai wilayah laut yang sangat luas salah satunya karena campur tangan beliau dalam memperjuangkannya pada tingkat internasional.

Meskipun demikian, ada dua poin yang saya permasalahkan dari apa yang disampaikan Pak Ridwan Kamil.

Pertama, nama jalannya ditulis dengan “Jalan Layang Prof. Mochtar Kusumaatmadja”. Kekeliruan pertama tentu saja adalah pencantuman jabatan akademik. Kalau kita mengacu pada Pasal 1 UU Nomor 14 Tahun 2005, di dalamnya sudah jelas bahwa jabatan akademik hanya boleh digunakan apabila yang bersangkutan masih aktif mengajar di lingkungan perguruan tinggi.

Jalan Layang Pasupati Bandung (Creativa Images/Shutterstock.com)

Jangankan karena wafat, lha wong kalau kalau sudah pensiun dan nggak mengajar lagi, ya seharusnya sudah nggak boleh mencantumkan jabatan tersebut, kok. Kebiasaan, deh. Tolong kurang-kurangin lah…

Kedua, tentang keputusan Pak Gubernur untuk menggunakan nama almarhum sebagai nama jalan layang. Apakah ini sudah dikonsultasikan dengan pihak terkait seperti Badan Informasi Geospasial misalnya? Soalnya hal ini nggak sesuai dengan kaidah penulisan dan prinsip penamaan unsur geografis yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nama Rupabumi.

Kalau kita membaca dengan baik, Pasal 3 dalam PP tersebut sudah menjelaskan dengan detail bahwa pemilihan nama unsur rupabumi, yang terdiri dari unsur alami dan unsur buatan, harus memenuhi 10 prinsip utama. Salah satunya adalah menghindari penggunaan nama orang yang masih hidup dan dapat menggunakan nama orang yang sudah meninggal dunia paling singkat 5 tahun sejak yang bersangkutan meninggal dunia.

Almarhum belum ada satu tahun berpulang, lho. Beliau meninggalnya “baru” tahun lalu pada tanggal 6 Juni 2021 (swargi langgeng nggih, Pak…). Tentu saja peringatan 1.000 hari juga masih lama, apalagi kalau kita mengacu ke waktu minimal, yaitu 5 tahun?

Kesannya kok buru-buru sekali nggih, Pak Ridwan Kamil? Ini memang karena Bapak nggak tahu ada PP Nomor 2 Tahun 2021, atau ada sesuatu yang lain gitu? Persiapan 2024 misalnya? Eh…

Namun menurut saya, kasusnya Pak Ridwan Kamil dan jalan layang ini sebenarnya masih agak mendingan. Kalau kita kembali ke tahun 2021, ada beberapa kejadian dan ide dari pejabat Indonesia untuk menggunakan nama orang yang masih hidup sebagai nama unsur rupabumi. Lha, jelas salah kaprah to jadinya. Saya hanya akan menyebutkan beberapa saja sebagai contoh. Aslinya buanyaaak banget.

Jalan tol dipenuhi kendaraan (Pixabay.com)

Pertama, penggantian nama Jalan Tol Layang Jakarta-Cikampek menjadi Jalan Tol MBZ. Apaan tuh MBZ? MBZ merupakan akronim dari (Syekh) Mohamed Bin Zayed, putra mahkota Kerajaan Abu Dhabi yang juga Wakil Panglima Tinggi Angkatan Bersenjata di sana. Orangnya masih hidup, namun dijadikan nama jalan dengan alasan sebagai bentuk diplomasi antara Indonesia dan Uni Emirat Arab. Siyaaap…

Kedua, keputusan Gubernur DKI Jakarta, Pak Anies Baswedan, untuk menggunakan nama pasangan ganda putri Indonesia yang meraih medali emas Olimpiade Tokyo pada tahun 2020, Greysia Polii dan Apriyani Rahayu, sebagai nama salah satu gedung olahraga di Jakarta Selatan. Nama gedungnya adalah Sasana Emas Greysia-Apriyani, Olimpiade Tokyo 2020.

Ganda putri unggulan Indonesia, Greysia Polii dan Apriyani Rahayu (Ratno Prasetyo/Shutterstock.com)

Alasannya sih sebagai bentuk penghargaan dan supaya anak-anak muda di Jakarta Selatan termotivasi untuk berprestasi juga. Saya sih percaya saja. Mungkin Pak Anies ini memang nggak tahu tentang PP Nomor 2 Tahun 2021. Nggak mungkin lah beliau ada maksud lain, seperti persiapan 2024 misalnya. Nggak mungkin~

Contoh terakhir ada di Jayapura, Papua. Di sana ada suatu unsur alami berbentuk bukit yang diberi nama Bukit Jokowi oleh masyarakat. Lokasinya dapat ditempuh kurang lebih 30 menit perjalanan darat dari Kota Jayapura. Tempat yang dulunya gersang dengan banyak rumput liar dan ilalang, akhirnya menjadi tempat wisata favorit semenjak kedatangan Pak Jokowi di sana. Itulah asal muasal tempat tersebut diberi nama Bukit Jokowi.

Tentu saja ini karena masyarakat Papua sama seperti pejabat Indonesia lainnya seperti Pak Anies dan Pak Ridwan Kamil, sama-sama belum tahu tentang adanya PP Nomor 2 Tahun 2021. Bukan karena bermaksud menyindir atau meniadakan keberadaan Pak Jokowi. Iya, dong? Iya lah.

Penulis: Bachtiar Mutaqin
Editor: Intan Ekapratiwi

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version