Dini hari pada 15 Januari 2021, warga Dayak Meratus, Desa Patikalain, Kecamatan Hantakan, Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan panik dan berusaha menyelamatkan diri, keluarga, dan kerabatnya dari terjangan banjir bandang.
Mungkin banyak orang yang kaget dan tidak habis pikir, Pulau Kalimantan yang digadang-gadang sebagai pulau yang paling jarang terkena bencana, dan statusnya yang memiliki hutan hujan tropis terakhir di dunia terlanda banjir bandang sebegitu dahsyatnya di wilayah bagian selatan.
Namun bagi saya, sebuah ramalan yang menjadi kenyataan. Maraknya alih fungsi hutan menjadi wilayah tambang dan perkebunan kelapa sawit di Pulau Kalimantan memang sudah melampaui batas. Jika kita melihat dari citra satelit, sebegitu luasnya wilayah tambang dan perkebunan sawit pastilah akan menjadi peramal dadakan seperti saya. Pastilah, semua akan berpikir bahwa Kalimantan yang menjadi pulau yang paling jarang terkena bencana alam ini (sampai Ibu Kota dipindah ke sana) akan mengalami bencana besar berupa bencana ekologis dan bencana hidrometeorologi karena kerusakan hutannya yang masif. Tapi, nggak tau si kalau buzzer pemerintah.
Nah dari sini mari kita bedah, apakah bencana ini terjadi karena curah hujan yang tinggi seperti kata Pak Jokowi. Secara keilmuan, ya memang benar banjir disebabkan oleh curah hujan yang tinggi dan tubuh sungai tidak mampu menampung aliran permukaan dan meluap ke pemukiman. Namun, apakah hal yang sama akan terjadi ketika keberlangsungan hutan hujan tropis Kalimantan masih lestari dan tidak didominasi oleh perusahaan tambang dan sawit?
Dilansir dari laman resmi WWF, diprediksi Kalimantan akan kehilangan 75 persen luas wilayah hutannya pada 2020 menyusul tingginya laju deforestasi. Dari sekitar 74 juta hektar hutan yang dimiliki Kalimantan, hanya tersisa 71 persen pada 2005, dan menyusut kembali menjadi 55 persen pada 2015. Lalu mengapa deforestasi di Kalimantan begitu masifnya? Sudahlah jangan naif, akui saja adanya industrialisasi tambang dan sawit sehingga terjadi alih fungsi lahan, kerap kali juga terjadi perampasan hutan adat!
Coba kita fokuskan ke Kalimantan Selatan, di provinsi ini terdapat lima perusahaan penguasa batubara terbesar di Kalimantan Selatan. Pertama ada PT Adaro Energy Tbk, yang merupakan perusahaan tambang batubara terbesar di Indonesia, di mana wilayah operasinya berada di Kabupaten Tabalong, Kalsel dengan luas konsesi mencapai 31.380 Ha. PT Arutmin Indonesia, perusahaan raksasa tambang batubara yang terafiliasi dengan Bakrie Grup, lokasi tambang besarnya ada di Senakin dengan produksi tahunan mencapai 40 juta ton. Disusul dengan PT Jhonlin Baratama, PT Bangun Banua Persada, Hasnur Group melalui PT Energi Batubara Lestari dan PT Bumi Rantau Energi.
Selain raksasa perusahaan tambang batubara, berikut lima perusahaan raksasa perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Selatan. PT Agro Astra Lestari Tbk, PT Smart Tbk, PTPN 13, Golden Agri Resources, dan Hasnur Group. Sawit kan tanaman, kok disalahin? Lha wong kalo ada perusahaan tomat dengan skala sangat luas dan eksploitatif juga salah kok!
Nah jadi menurut hemat saya, Pak Jokowi seyogyanya tidak hanya menyalahkan curah hujan yang tinggi, namun mencoba merenung apakah izin terhadap investor batubara dan sawit yang sudah diperlancarnya menjadi penyebab dominan adanya bencana di pulau paru-paru dunia? Sama satu lagi, apakah perusahaan-perusahaan tambang dan sawit milik rekan-rekan menteri juga ada di sana?
BACA JUGA Wisata Alam yang Dicat Warna-warni tuh biar Apa, dah?