Murah hati itu bagus, tapi transparansi bantuan nggak kalah penting.
Orang Indonesia memang terkenal murah hati. Bahkan sebelum pandemi pun, sudah ada World Giving Index (WGI) yang mencatat tingginya tingkat kedermawanan masyarakat di jantung khatulistiwa ini. Entah itu sekedar memberi uang receh pada pengamen di lampu merah, atau mengeluarkan jutaan rupiah untuk mendukung pembangunan rumah ibadah.
Di masa pandemi, saat banyak orang kesusahan, naluri berbagi untuk sesama tetap membara. Meskipun jumlahnya tidak banyak, selalu ada mereka yang menyisihkan sebagian miliknya. Saluran untuk berbagi pun tak kalah beragam. Mau lewat tempat ibadah terdekat, pakai aplikasi daring, sampai via seleb di medsos.
Baru-baru ini Menko PMK, Muhadjir Effendy pun turut memuji peran berbagai kelompok di luar pemerintah yang turut andil dalam menangani pandemi. Menurut dia, kontribusi dari pihak swasta, perguruan tinggi dan masyarakat luas sangat signifikan. Bahkan, diperkirakan nilainya lebih besar dari alokasi dana yang dikeluarkan pemerintah. Tak terhitung uang, suplai obat, vitamin dan alat kesehatan seperti masker dan tabung oksigen, dikucurkan para dermawan. Baik untuk penderita Covid-19, maupun untuk mereka yang ekonominya terdampak parah.
Di tempat saya tinggal, para warganya pun tak kalah murah hati. Sejak ada beberapa warga yang terkonfirmasi Covid-19 dan harus isolasi mandiri (isoman), warga berinisiatif membuka dompet sumbangan. Dana yang terkumpul digunakan untuk membeli makanan, vitamin dan dukungan lain untuk warga yang tengah isoman. Grup WA kantor saya pun idem. Saat ada rekan sekerja yang terkonfirmasi Covid-19, langsung ada rekan lain yang menggalang bantuan. Biasanya kami mengepul dana di rekening salah satu rekan. Tali kasih yang terkumpul segera ditransfer, untuk memastikan dukungan finansial darurat tersampaikan dengan cepat.
***
Terlepas dari julukan bangsa paling murah hati, ada dua hal yang menurut saya sangat perlu didengungkan ke kuping para penggalang dana. Apa itu? Transparansi dan akuntabilitas. Apa masalahnya? Sangat jarang ada pihak yang dengan sukarela melaporkan arus sumbangan yang masuk serta penggunaannya. Kalaupun ada, biasanya hanya lembaga resmi yang memang punya kewajiban untuk mengeluarkan laporan pertanggungjawaban. Sisanya? Tidak jelas. Apalagi kalau dikelola pihak tak resmi.
Mungkin buat mereka cukuplah seremoni singkat penyerahan dana diwakili papan gabus bertuliskan nilai total sumbangan. Setelah itu foto-foto dan unggah di medsos. Selesai. Toh, itu sudah membuat para dermawan bahagia. Tak bakalan ada yang ribut minta laporan keuangan dan transparansi dari dana tersebut.
Kita tahu, setiap kali ada bencana di negeri ini, bantuan pasti berdatangan dari mana-mana. Tak terhitung ratusan juta, bahkan miliaran uang mengalir. Namun, sering kali masyarakat tidak tahu kejelasan penggunaannya. Padahal, itu termasuk ke dalam kewajiban pengelola dana sumbangan. Mereka yang rela menyisihkan sebagian hartanya sangatlah berhak untuk mendapat laporan ke mana saja dana itu didistribusikan.
Oleh karena minimnya akuntabilitas, belakangan justru muncul berbagai masalah. Misalnya saja ada sebagian dana bantuan yang dikorupsi. Atau ternyata bantuannya salah sasaran, tidak sesuai dengan kebutuhan penerima. Paling menyebalkan kalau ternyata sudah menyumbang, ternyata yang menerima sumbangan tidak masuk ke dalam kaum yang berhak.
***
Rendahnya akuntabilitas pengepul dana bantuan sebenarnya juga diakibatkan permisifnya para dermawan. Selesai menyerahkan bantuan, biasanya kita tidak mau repot untuk mengejar-ngejar pengelola dana untuk minta laporan dan transparansi. Ah, pokoknya saya sudah nyumbang. Lillahi ta’ala sajalah. Berprasangka baik pada mereka yang sudah bersusah payah berinisiatif menggalang donasi.
Ketika tidak ada tuntutan dari penyumbang untuk memaparkan data donasi, mereka pasti akan abai. Padahal, memastikan adanya laporan pengelolaan dana yang transparan dapat mencegah hal-hal yang tidak diinginkan tadi: bantuan yang salah sasaran dan korupsi donasi.
Ini mungkin karena kita masih disandera perkataan “kalau tangan kanan memberi, tangan kiri jangan sampai tahu”. Yang bisa diartikan, kalau kita berderma, jangan sampai orang lain tahu. Itu riya’, pamer namanya. Namun, narasi ini sering dimanfaatkan pengepul dana supaya orang-orang nggak kepo soal penggunaan sumbangan mereka. “Kan sudah diikhlasin, ya sudah, percaya saja pada kami. Tinggal tunggu pahalanya aja masuk ke buku akhirat.” Begitu kira-kira.
Urusan riya’ jelas beda dengan transparansi dan akuntabilitas. Mereka yang berniat pamer akan pakai narasi “saat tangan kanan memberi, tangan kiri cari atensi”. Entah via media mainstream atau media sosial. Lihat saja kasus donasi dua triliun dari keluarga Akidi Tio. Sudah publikasi ke mana-mana, uang sumbangannya gaje.
Kalau memang berniat transparan dan akuntabel, sebenarnya mudah, kok. Pakai tabel Excel sederhana juga sudah bisa bikin laporan keuangan. Setelahnya bisa ditampilkan di mana saja. Mau di website atau medsos tak masalah. Yang penting ada rasa tanggung jawab. Sebab, dana donasi adalah amanah yang dititipkan sementara untuk disalurkan kepada yang benar-benar berhak.
Di komplek perumahan saya, petugas pengumpul dana rajin update pemasukan dan penggunaan dana di WA grup warga. Banyak dari kita yang juga sudah familier dengan ini: setiap sebelum sholat Jumat, lewat pengeras suara akan terdengar suara pengurus masjid mengumumkan pergerakan kas masjid. Berapa pemasukan dan berapa pengeluaran. Sederhana saja.
Murah hati saja tidak cukup, karena berpotensi untuk diselewengkan. Kepercayaan yang diberikan ke pengelola sumbangan harus juga diimbangi dengan kewaspadaan. Sudah saatnya masyarakat Indonesia yang pemurah menggunakan haknya.
Jangan takut minta laporan akuntabilitas ke penggalang dana. Kalau mereka ngeles, viralkan saja! Ada banyak saluran untuk itu. Jangan sampai niat baik kita malah belok sebagian ke kantong pribadi mereka. Atau lebih parah lagi, “nyasar” menjadi dukungan logistik buat laku teroris di negara lain.