Jumat minggu lalu, rute baru Trans Jatim Gresik-Lamongan dibuka. Rute ini menghubungkan dua kota, yakni Gresik dan Lamongan. Meski namanya rute Gresik menuju Lamongan, ternyata bus Trans Jatim ini tidak melewati Lamongan Kota, melainkan menuju Paciran. Sebuah daerah pesisir Lamongan yang terkenal dengan banyak makam walinya.
Lantaran penasaran, saya langsung menjajal naik bus ini dari Terminal Bunder Gresik sehari setelah peresmiannya. Mulanya, saya kaget karena saat itu bus cukup sepi. Meski semua bangku penuh, tetapi saya masih mendapatkan tempat duduk. Bahkan, banyak penumpang yang turun tidak sampai Paciran, melainkan di beberapa daerah di Gresik seperti Bungah, Sidayu, dan Ujung Pangkah. Saat melewati halte-halte di daerah sekitar pabrik pun, tak ada satu pun penumpang yang naik.
Bus baru diserbu penumpang ketika masuk wilayah Paciran. Rombongan ibu-ibu yang membawa anaknya mulai memenuhi halte di sekitar Pasar Wage yang menuju ke arah makam Sunan Drajat. Bus yang awalnya longgar mendadak penuh penumpang. Bahkan, ada penumpang yang harus berdiri dan lesehan di bagian belakang yang seharusnya menjadi area bagi penumpang prioritas.
Saya memilih turun di Halte Makam Sunan Drajat. Lokasinya ternyata dekat dengan pintu masuk makam dan parkir bus wisata. Alhasil, saat turun dari bus, saya dilihat oleh para peziarah lain yang datang bersama rombongan. Berbanding terbalik dengan saya yang datang sendiri menggunakan tiket gratis dari Trans Jatim. Ya, pihak Trans Jatim masih menggratiskan tiket selama seminggu, sama dengan saat peluncuran koridor lainnya.
Antusiasme warga terhadap Trans Jatim Gresik Lamongan
Sembari menunggu bus kembali ke arah Bunder, saya melihat beberapa santri bersarung yang bingung mau naik bus yang baru datang atau menunggu. Rupanya mereka adalah para santri yang nekat keluar sebentar untuk mencoba naik bus ini. Entah dari pondok mana, yang jelas mereka ingin segera kembali ke pondok karena mungkin waktu istirahat atau waktu libur mereka sudah habis.
Untunglah, tak lama bus menuju ke arah Bunder datang dan saya kembali naik untuk menuju Gresik. Eh ternyata saya kebagian berdiri di area kursi prioritas. Bersama seorang bapak yang membawa serta anak istrinya untuk mencoba bus ini sekalian jalan-jalan ke Surabaya. Beliau mengaku sebagai nelayan yang rela tidak melaut karena ingin membahagiakan keluarganya dengan cara murah meriah. Di dalam bus itu saya juga bertemu dengan seorang bapak tua yang baru saja menemui seorang kyai di Paciran untuk urusan pondok yang dikelolanya.
Di antara semua pertemuan dengan orang baru yang membuat saya shock adalah beberapa ibu-ibu yang nekat mencoba naik bus ini karena ingin menyusul rombongan ziarah di kampungnya. Walau gagal karena rombongannya sudah menuju makam Sunan Bonang di Tuban, tetapi mereka bahagia bisa jalan-jalan ke Sunan Drajat secara gratis.
Melihat antusiasme tersebut, saya jadi semakin yakin bahwa orang Jawa Timur sebenarnya rela dan mau berkorban demi naik transportasi umum. Ketertinggalan Jawa Timur dari Jawa Tengah soal penataan transportasi umum ini mulai dikejar dengan hadirnya beberapa koridor Trans Jatim. Setahun ini saja, kabarnya ada 2 rute yang beroperasi. Selain rute Gresik – Lamongan ini, nanti juga akan beroperasi rute menuju Bangkalan Madura sehingga nantinya ada 5 koridor total. Sementara, Trans Jateng sudah memiliki 7 koridor hingga saat ini.
Pengelola masih banyak pekerjaan rumah
Apesnya, pihak Trans Jatim seakan belum siap benar saat membuka rute ini. Selain halte yang belum jadi, pada hari kedua peluncuran kemarin, aplikasi untuk mengecek posisi bus sedang eror. Alhasil, penumpang tidak bisa melihat posisi bus dengan baik. Mereka harus sabar menunggu bus di halte seperti saat menunggu bus bumel. Untung saja, kekurangan tersebut berhasil ditutupi oleh para kondektur yang sigap saat penumpang penuh dan menjawab segala pertanyaan dari penumpang soal rute baru ini.
Pekerjaan rumah selanjutnya adalah meyakinkan para buruh pabrik yang tempat kerjanya dilintasi oleh bus ini untuk mau naik. Membandingkan dengan Trans Jateng yang membangun halte lengkap di daerah industri, Trans Jatim sudah selayaknya melakukannya. Bagaimana buruh pabrik mau naik Trans Jatim kalau haltenya masih berupa palang bus stop saja? Sudah capai bekerja, masak harus disuruh berdiri dan berpanas ria menunggu bus?
Meski begitu, adanya Trans Jatim ini menjadi angin segar bagi para peziarah. Dengan tarif Rp5.000 rupiah (kalau nanti sudah berbayar), pasti banyak orang tertarik berziarah tanpa perlu menunggu adanya rombongan ziarah yang berangkat. Tugas Trans Jatim selanjutnya adalah memberi informasi makam-makam wali atau orang yang dihormati lainnya yang dekat dengan halte. Tujuannya, selain menumbuhkan minat berwisata ziarah, tentu daerah di sekitar tempat tersebut bisa mendapatkan manfaatnya.
Penulis: Mohammad Ihrom Zain
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA Bus Trans Jatim: Ekonomis dan Nyaman, tapi Nggak Ramah untuk Penumpang Pendek seperti Saya
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.