Cinta tak harus memiliki, dan ini serius.
Bagi sebagian orang, cinta bertepuk sebelah tangan adalah kenyataan yang sukar diterima dengan lapang dada. Betapa tidak. Dari awal sudah menaruh harapan sedemikan besar. Menyemai benih-benih rasa yang tumbuh diam-diam dalam hati. Eh, akhirnya harus memupus angan-angan untuk bersatu dan memiliki lantaran seseorang yang kita idamkan ternyata nggak pernah nganggep ada sesuatu yang lebih. Padahal, segala siasat sudah ditempuh. Banyak hal juga sudah dikorbanin buat dapet simpati dari sang pujaan hati.
Terima atau tidak, tapi itulah yang terjadi. Maka, bersikap sebaik-baiknya atas sesuatu di luar kontrol kita adalah pilihan yang bijak. Saya nggak mau naif, bersikap se-new normal mungkin dalam keadaan hati sedang patah berkeping memang bukan perkara mudah. Tapi begini, silakan Anda berjuang lagi, berkorban lagi, dan bersiasat lagi buat dapetin doi. Itu kalau memang Anda masih sangat ambisius dan tak patah arang buat depetin dia loh, ya.
Dalam tulisan saya kali ini, saya cuma mau ngasih beberapa rumus; cinta tak harus memiliki ala Thales dan Qais Majnun. Siapa tahu, bisa sedikit menambal kesedihan Anda. Emang Warmo aja yang bisa nambal kesedihan? Anggap saja ini adalah satu bentuk katarsis atas kecewa yang Anda alami buat sementara waktu. Oke, tanpa berlama-lama, berikut saya sajikan rumusannya:
Satu: Cinta tak harus memiliki ala Thales
Kalau Anda pernah baca-baca soal filsafat, tahu dong dengan yang namanya Thales? Seorang filsuf dari Miletos yang dicatat sebagai simbahnya filsafat Barat.
Fakta yang saya himpun dari Ngaji Filsafat-nya Dr. Fahruddin Faiz, sepanjang hidupnya yang merentang sejak 625-546 SM, Thales nggak pernah menikah dengan perempuan satu pun. Apakah karena dia sudah nggak tertarik dengan perempuan? Apakah dia nggak pernah bisa jatuh cinta dengan lawan jenis? Atau apakah-apakah yang lain? Saya berani memastikan kalau duga sangka kita tentang Thales bakal salah belaka.
Thales tetap punya kecenderungan ke arah sana. Dalam banyak kesempatan Thales mengakui bahwa dia juga sempat jatuh cinta dengan seorang perempuan. Tapi cara Thales mencintai inilah yang agak menyimpang dari alur mainstream orang kebanyakan. Kalau pakai istilah bocah-bocah milenial, ya bisa dibilang mencintai dalam diam gitu, lah.
Bukan tanpa alasan Thales tak menghendaki terjadinya jalinan kasih antara dia dengan perempuan tersebut. Dia punya alasan. Begini, rasa cinta yang dimiliki Thales ternyata sama besar dengan rasa takut kehilangan yang ada di hatinya. Dia mengakui kelemahannya jika berurusan dengan kehilangan. “Aku mungkin siap mencintai, tapi aku tak pernah berani menjamin kalau diriku juga sama siapnya jika kelak dia hilang dari genggamanku.” Begitu kira-kira ucap Thales jika menggunakan bahasa remaja-remaja bucin era sekarang.
Bagi Thales, tidak ada kepemilikan yang mutlak dan abadi di tangan manusia. Pada akhirnya semua akan sirna dan mati. Gampangnya, perasaan kehilangan itu bakal muncul jika seseorang pernah merasa memiliki. Sesederhana itu. Maka, itu bisa jadi pelajaran buat Anda yang cintanya bertepuk sebelah tangan. Ya tinggal renungi aja; ah ngapain ngerasa kehilangan, hla wong memiliki saja tak pernah. Sekali lagi, ini sulit, wis kadung jeru jeee. Tapi nggak ada salahnya, tho, buat dicoba?
Berikutnya, Thales mengungkap alasan kenapa dia nggak mengawini saja si perempuan yang diam-diam bikin hatinya dag dig dug kembang kuncup itu? Thales berkata, bahwa dia nggak mau menyakitinya. Loh, gimana tuh, dijalanin aja belum?
Begini, jika Thales mengawini si perempuan, kemungkinan adanya cekcok dalam rumah tangga tentu jauh sangat mungkin, dan peluang bakal sering nyakitin si perempuan baik dalam bentuk verbal maupun kekerasan fisik juga jauh lebih besar. Thales nggak siap kalau itu terjadi. Sebab, bagaimana mungkin dia menyakiti perempuan yang dia cintai? Oleh alasan itulah Thales tak menghendaki adanya perkawinan. Baginya, cara mencintai paling baik adalah dengan tidak memilikinya, jika memilikinya justru hanya akan menciptakan luka. Waseeekkk.
Kita mungkin bisa membantah Thales misalnya dengan pertanyaan; kalau cara berpikirmu begitu, berarti emang dari awal kamu sudah punya niat untuk nyakitin pasangan kamu dong, Tuan Thales yang budiman? Yah, tapi seperti yang bisa kita tebak, Thales pasti bakal menjawab dengan falsafi, “Kita harus kalkulasi, Dik. Kita nggak pernah tahu apa yang terjadi di hari esok. Apalagi hati manusia itu gampang dibolak-balik. Nah, daripada terjadi hal-hal di luar kendali saya, mending saya antisipasi dari sekarang saja. Mencegah lebih baik dari mengobati, bukan?”
Dua: Cinta tak harus memiliki ala Qais Majnun
Qais Majnun sebenarnya adalah tokoh fiktif yang dihidupkan oleh seorang penyair kenamaan Persia abad ke-12, tepatnya pada era Dinasti Saljuk, yaitu Nizami Ganjavi. Kisah romantika antara Qais dan Laila pada dasarnya bisa dibedah dari dua sisi. Pertama, sisi falsafi. Bahwa kisah ini secara keseluruhan sejatinya merupakan alegori atau simbol-simbol buat memahami hakikat cinta kepada Tuhan. Kedua, sisi tekstual. Dimana kita hanya cukup membaca dan menginterpretasikannya sesuai dengan teks yang tertulis. Nah, untuk rumus cinta tak harus memiliki ini, kita pakai pendekatan yang kedua.
Singkatnya begini, Qais mencintai Laila, juga sebaliknya, Tapi cinta mereka tehalang tabir tebal bernama; kelas sosial. Alhasil, pihak keluarga Laila berupaya untuk memisahkan keduanya dengan jalan menjodohkan Laila dengan lelaki lain. Dan di sinilah letak pelajaran yang bisa Anda ambil sebagai obat penawar kecewa.
Kalau orang-orang menyebut Qais gila (majnun) lantaran sering bermonolog sendiri di jalan-jalan seolah sedang berbicara dengan Laila. Sering kedapatan memeluk dan menciumi tembok rumah Laila seolah sedang memeluk dan menciumi Laila. Dan pernah suatu kali ketika dia sakit dan hendak dioperasi oleh dokter, dia malah berujar, “Jangan, jangan bedah tubuhku. Jika aku merasakan sakit, nanti Laila juga akan sakit. Karena dalam diriku ada Laila.”
Melihat fenomena tersebut, saya justru memandangnya sebagai sikap legawa dari si Qais, yang cintanya harus bertepuk sebelah tangan. Sebab baginya, Laila bukan lagi entitas di luar dirinya. Laila adalah dirinya sendiri. Laila bukan lagi sosok yang tak tejangkau. Tapi apa pun yang berkaitan dengan Laila, katakanlah tembok rumahnya, itu adalah wujud lain dari Laila. Maka, dia sudah tidak butuh lagi memiliki Laila secara badani. Sebab dia bisa terus mencintai Laila dengan medium yang lain.
Ini kalau Anda contoh, misalnya saja pujaan hati Anda penyayang kucing dan suka bagi-bagi Whiskas gratis sama kucing jalanan, ya salurkan saja rasa cinta Anda dengan memperlakukan kucing sebagaimana yang pernah pujaan hati Anda lakukan. Kalau cium-cium tembok rumahnya, saya belum berani menyarankan. Qais atau kita mungkin nggak bisa memiliki atau bahkan menikahi Laila atau perempuaan dambaan. Tapi kita sudah berkesempatan mencintainya. Dan itu harusnya sudah lebih dari cukup. Kata Puthut EA,”Tidak selalu ada hubungannya antara pernikahan dengan cinta. Cinta ya cinta. Menikah ya menikah. Hanya orang yang beruntung jika bisa saling mencintai lalu menikah.”
BACA JUGA Cinta Kami yang Kepentok Weton Wage dan Pahing dan tulisan Aly Reza lainnya.