Seringkali teman saya yang berasal dari Jawa, Kalimantan, Sumatera, atau tempat lain di luar Wakatobi meminta saya untuk mengajari mereka bahasa Wakatobi. Alasannya sebenarnya cukup kuat dan masuk akal, “Jika suatu saat saya ke Wakatobi, paling nggak saya nggak buta-buta amat tentang bahasamu, Fik.” Begitu kira-kira alasan dari teman saya yang memang setiap kali ngomong soal itu, saya selalu saja mau mengiyakan. Toh, tidak ada salahnya juga pikir saya. Walau sering pula saya suudzon, itu hanya akal-akalan mereka saja biar bisa mengejek saya melalui bahasa saya yang juga oleh mereka disangkanya bahasa Portugal, atau Italia, atau malah lebih mirip bahasa Spanyol itu.
Tapi, setiap kali selesai saya mengajarkan satu dua kata atau satu dua kalimat, saya selalu menutup pelajaran singkat tersebut dengan kalimat, “Itu tuh bahasa Tomia lho, Bro.” Dan seketika sumpah serapah tersembur ke muka saya. Malah kadang kebingungan yang terpancar dari muka teman-teman saya.
Begini, bagi yang belum tahu tentu wajib rasanya saya membagi informasi perihal Wakatobi itu adalah singkatan dari nama empat pulau besar di Wakatobi yang dihuni banyak orang, Wangi-Wangi (Wa), Kaledupa (Ka), Tomia (To) dan Binongko (Bi).
“Trus masalahnya apa, Fik? Emangnya bahasa tiap pulau di Wakatobi beda-beda?” Pertanyaan macam ini adalah pertanyaan paling template yang entah sudah berapa kali ditanyakan orang-orang kepada saya. Dan sebanyak pertanyaan itu mendarat ke telinga saya, sebanyak itu pula saya menjelaskan sampai berbusa-busa.
Di setiap pulau di Wakatobi, terdapat minimal satu bahasa yang oleh orang-orang lokal menyebutkannya dengan bahasa daerah (tempat tersebut). Sebut saja bahasa Tomia yang dipakai tentu saja oleh orang-orang Tomia dan masyarakat pulau lain di sekitar Tomia yang memiliki kedekatan kultur bertutur. Jadi secara umum, bahasa Wakatobi terdiri dari empat bahasa. Paling nggak itu yang dipergunakan masyarakat lokal, sebelum Suku Bajo lalu mendarat di pulau-pulau di Wakatobi dan membawa satu bahasa khas mereka, bahasa Bajo.
Kembali ke bahasa Wakatobi yang kaya, selain keempat bahasa yang dipergunakan secara luas oleh penuturnya di masing-masing daerah tersebut, masih ada turunan atau kalo orang-orang di Jawa mengenalnya dengan sebutan tingkatan bahasa mulai dari yang ngoko, kromo, dan kromo inggil. Dan itu bukan hal yang mudah, meskipun dituturkan oleh masyarakat masih-masing daerah di Wakatobi itu sendiri. Perkara lainnya adalah banyak orang tidak mengenal cara bertutur sesuai tingkatan ini karena tidak adanya pelajaran muatan lokal yang membahas budaya, lebih-lebih bahasa daerah. Adapun dulu pernah, pelajarannya malah muatan lokal bahasa Wolio yang sebenarnya justru adalah salah satu bahasa yang dituturkan orang-orang di Buton, bukan Wakatobi.
Beberapa perkara di atas memang sudah menjadi permasalahan sejak dulu. Sebanyak orang-orang mencari cara mengatasinya, sebanyak itu pula permasalahannya muncul lagi dan lagi. Belum lagi ketambahan masalah lain yang saat ini malah semakin menjadi. Adalah perkara perbedaan bahasa dalam tiap-tiap daerah dalam menyebutkan suatu kata atau benda. Terjadi sejak beberapa tahun belakangan ini yang justru tidak jarang berubah olok-olok atau bahan guyonan dan kadang malah berakhir cekcok.
Terlihat seperti hal yang sangat sepele, tapi permasalahannya tidak sesederhana itu. Saya sudah mengalaminya beberapa kali, ketika teman saya yang dari Tomia bagian timur dan Tomia bagian barat berdebat soal sisir. Di timur, orang-orang mengenal sisir dengan sebutan fongka, sedangkan di barat mengenalnya dengan jangka. Padahal mereka masih dalam akar bahasa yang sama yaitu bahasa Tomia. Dari perkara sesepele ini saja, saya pontang panting mencari jalan tengah agar kedua teman saya tidak baku hantam.
Hal besar lainnya yang jadi masalah adalah perbedaan bahasa macam ini terjadi juga antar pulau. Misal satu kata yang sakral di bahasa Tomia justru menjadi hal yang jelek dan bahkan olok-olok di bahasa Kaledupa atau Binongko. Dan perkara ini sungguh sangat membagongkan. Tidak kebayang, satu kabupaten geger gedhen hanya karena masalah bahasa yang saling bertolak belakang dalam arti. Ini belum lagi ditambah bahasa dari Suku Bajo dengan bahasa Bajo-nya yang juga seperti bahasa alien bagi orang-orang yang tidak paham.
Kadang saya berpikir bahwa hal semacam ini wajar saja terjadi, toh di Pulau Jawa misalnya, antara Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta saja bisa beda kata per kata dalam bahasa yang sama tapi tetap bisa nongkrong bareng, di warung kopi atau di burjo walau sesekali sambil saling misuh satu sama lain.
Atau kalo memang orang-orang di Wakatobi masih tidak bisa terima satu sama lain dengan kata-kata tertentu dalam bahasa masing-masing, bisa lah ya pinjam bahasa Indonesia dulu sebagai penengah sampai perkara ini terselesaikan dengan baik.
BACA JUGA Rekomendasi Lokasi Geger Gedhen di Jogja selain Rumah Sakit Sardjito dan tulisan Taufik lainnya.