Rumah saya di Sleman, kuliah di Sleman, tapi kok saya lebih memilih ngekos ya?
Di momen Lebaran seperti sekarang ini, kita biasa menjumpai fenomena mudik. Dari sekian banyak manusia yang pulang kampung, pasti banyak dari mereka yang masih kuliah atau bahkan sudah bekerja. Begitu juga dengan mahasiswa rantau yang berkuliah di Jogja. Dari jauh hari, mereka sudah bersiap-siap pulang ke kampung halaman masing-masing demi bisa merayakan hari raya dengan keluarga tercinta.
Sekarang yang menjadi pertanyaannya adalah, berapa banyak sih mahasiswa yang asli Jogja atau berdomisili di Jogja, tapi merasa sebagai mahasiswa rantau? Kalau boleh saya menyebutnya, mereka ini adalah kaum perantau tanggung.
Kita semua tahu bahwa DIY terbagi menjadi empat kabupaten dan satu kotamadya; Sleman, Bantul, Gunungkidul, Kulonprogo, dan Kota Yogyakarta. Kebetulan saya sendiri saat ini bermukim di Kota Yogyakarta. Rumah saya berada di Kabupaten Sleman bagian utara, sementara kampus saya berada di area Depok, Sleman.
Kalau masih berada di kabupaten yang sama, kenapa harus kos?
Saya pernah melihat postingan Instagram yang kontennya membahas orang Turi, Sleman, kuliah di kampus daerah Jakal, tapi kos di Condongcatur. Ha, kenapa nggak ngekos deket kampus saja, ya? Wqwqwq.
Sekilas terlihat ada yang janggal. Kenapa harus ngekos kalau masih berada dalam satu kabupaten? Turi, Jakal, dan Condongcatur itu masih sama-sama berada di Sleman, lho. Kebanyakan orang kalau bicara Sleman ya bayangannya SCH, Denggung, Pendowoharjo, paling mentok Kentungan ke utara sedikit. Jarang terlintas di benak mereka soal Cangkringan, Turi, atau Tempel. Ini hasil survei pribadi ya, bukan hasil survei lembaga atau BPS. Jadi terserah kalian mau percaya sama saya atau nggak.
Saya sendiri tinggal di Kota Yogyakarta bukan tanpa alasan. Saat masih maba, saya pernah bereksperimen, saat itu sekitar tahun 2018. Dari rumah ke kampus hanya untuk sekadar daftar ulang, saya mencoba berangkat naik ojek online. Sekali berangkat ongkosnya hampir Rp50 ribu! Nominal yang cukup besar saat itu—walaupun sekarang juga masih besar, sih—lha, berarti ongkos PP bisa habis Rp100 ribu, dong.
Setelah mengalkulasi dengan matang jika saya terpaksa nglaju dari rumah ke kampus, lumayan juga ongkos, waktu, dan tenaga yang harus saya keluarkan. Akhirnya saya putuskan untuk mondok di area yang lumayan dekat dengan kampus. Hitung-hitung sambil ngaji, sambil kuliah lah.
Sayangnya, keputusan saya itu sering kali bikin orang lain heran, “Omah Sleman wae kok ndadak ngekos/mondok ngopo?”
Baca halaman selanjutnya
Sleman itu kan luas
Jadi gini, lho, Gaes. Sleman kan luas, ada Seyegan, Moyudan, Minggir, Tempel, Turi, Cangkringan, Ngemplak, Kalasan, dll. Sementara kampus yang ada di Sleman itu kan juga menyebar ya keberadaannya, ada di UII, UGM, UIN, UNY, dan semuanya itu kebanyakan berada di area Sleman bawah. Lha coba kalau ada mahasiswa yang rumahnya di Tempel atau Cangkringan sana, tapi kuliah di UGM, apa nggak kejauhan kalau setiap hari nglaju ke kampus? Jarak dari rumah saya ke kampus saja sekitar 18 km, atau bisa ditempuh sekitar 30 menit. Lumayan kan jaraknya?
Ada yang lebih ekstrem lagi yang dialami beberapa teman saya dari Gunungkidul. Mereka juga kerap mendapat pertanyaan serupa, “Wong Jogja (baca: DIY) kok ndadak ngekos ngopo?” Ya bener sih Gunungkidul—atau sapaan akrabnya Jogja Lantai 2—juga masih masuk area Jogja (DIY), tapi ya kejauhan kalau harus nglaju dari Gunungkidul ke kampus yang ada di Depok Sleman, dong. Kulonprogo juga masih Jogja, Bantul selatan dekat Parangtritis juga masih Jogja. Jogja tuh luas, lho, kalau kita bicara soal DIY-nya!
Makanya kalau saya pulang ke rumah di Sleman bagian utara sana, saya menganggapnya mudik juga. Menyebrangi batas kota soalnya, Gaes. Intinya, kalau kalian mahasiswa yang mengalami hal serupa kayak saya, mau nglaju dari rumah atau kos ya terserah. Kalau nglaju dirasa lebih worth itu, ya nggak apa-apa. Atau mau kos monggo saja. Yang nggak bagus itu kalau merasa lebih baik dari yang lain.
Jauh dekat itu masalah rasa saja kok, dan rasa nggak pernah bohong. Selamat mudik, para perantau tanggung!
Penulis: Nur Muhammad Ikhsanun
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Tanpa Coffee Shop, Sleman Bakal Disesaki Manusia Stres dan Hopeless.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.