Dunia per-mediasosial-an sedang ramai dengan kasus yang melibatkan Mbak Kristen Gray, seorang warga negara Amerika Serikat yang tinggal di Bali. Mbak Kristen, melalui akun Twitter-nya @kristentootie, menuliskan sebuah thread tentang cerita kepindahannya dari AS ke Bali pada 2019 silam. Singkatnya, ia bercerita bahwa seharusnya langkahnya ini diikuti oleh WNA lain. Kenapa? Karena biaya hidup di Bali sangat murah kalau dibandingkan dengan biaya hidup di Amerika Serikat. Dan ini masuk akal.
Kasus Mbak Kristen Gray tersebut kemudian ramai menggiring warganet ke dua kata yang sebenarnya tidak terkait satu sama lain, namun bisa dikaitkan: romantisme dan gentrifikasi. Sebenarnya, alih-alih Bali, ada suatu daerah yang sudah, sedang, dan akan menghadapi romantisisme dan gentrifikasi. Daerah yang sama indahnya dengan Bali: Jogja.
Romantisisasi tanpa henti
Jogja yang dikenal oleh masyarakat luas adalah daerah yang istimewa, romantis, dan syahdu, persis seperti lagunya Adhitia Sofyan. Bahkan, ada guyonan jadul “pergi ke Jogja adalah cara menertawakan kesibukan Jakarta”. Anggapan itu tidak sepenuhnya salah, tapi juga tidak sepenuhnya benar. Terkadang, di dunia ini ada beberapa hal yang lebih baik tidak dikatakan sekalipun benar. Sedikit pemisalan adalah keadaan di Jogja ini. Sebenarnya, tidak sulit untuk menemukan wajah lain dari cantiknya Jogja. Ketimpangan sosial, upah rendah, klitih yang merajalela, dan transportasi umum yang ala kadarnya merupakan masalah klise yang seolah tertutup oleh kelap-kelip lampu Malioboro dan Tugu Jogja. Bahkan guyonan jadul di atas bisa dibalas dengan guyonan jadul yang lain “pergi ke Jakarta adalah cara menertawakan upah Jogja”. Meskipun jadul, guyonan ini masih tetap lucu.
Kalau dipikir-pikir, tidak terlalu adil kalau hanya mengatakan hal-hal yang indah sedangkan hal-hal yang buruk seolah tidak pernah terjadi. Namun, khusus untuk daerah yang satu ini, kesan-kesan positif sangat perlu dan harus diagungkan. Kenapa? Karena memang tidak ada yang buruk dari Jogja ini. Tidak mungkin sebuah Kota Pelajar tapi banyak pelajarnya yang klitih bareng gengnya. Tidak mungkin sebuah Kota Pariwisata tapi transportasi umumnya hanya beberapa. Tidak mungkin sebuah Kota Budaya tapi marak intoleransi terhadap sesama. Tidak mungkin sebuah Kota Istimewa tapi pekerja diupah tidak semestinya. Tidak, tidak mungkin itu semua terjadi di sini. Jogja ini istimewa. Jogja ini indah. Jogja ini baik-baik saja. Pada akhirnya, Jogja yang seolah indah dan baik-baik saja ini menjadi bom waktu bagi masyarakat Jogja itu sendiri.
Bom waktu semakin dekat
Kini, Jogja bersiap menghadapi ledakan yang mungkin meluluhlantakkan daerah ini. Mode indah dan seolah baik-baik saja ini membuat Jogja terlena. Alhasil, romantisisasi nyamannya Jogja terdengar di mana-mana, di Instagram, di Instagram, dan di Instagram, pokoknya di mana-mana. Hal itu membuat membuat orang berbondong-bondong berangkat ke Jogja, entah mau cari apa. Ini adalah satu hal yang baik dan tentu saja, buruk. Yin-yang. Menjadi hal baik karena roda ekonomi Jogja dapat bergerak meski tidak ngebut. Menjadi hal buruk ketika banyak orang dengan daya beli yang sangat tinggi (baca: orang tajir) datang dan kemudian menguasai apa yang sewajarnya jadi milik masyarakat Jogja. Tentu menyalahkan orang tajir juga bukan keputusan yang tepat. Mereka memilih Jogja sebagai ladang menghamburkan uang karena tergiur romantisisasi. Ya, lagi-lagi romantisisasi, seperti tidak ada kata lain saja. Romantisisasi yang menyebabkan gentrifikasi.
Apa itu gentrifikasi? Gampangnya, gentrifikasi merupakan fenomena pindahnya penduduk dengan kekuatan ekonomi yang lebih tinggi ke daerah dengan kekuatan ekonomi yang lebih rendah dengan cara membeli properti di daerah baru tersebut. Persis dengan apa yang sedang terjadi di Jogja saat ini.
Orang tajir dari luar Jogja membeli tanah, gedung, rumah, dan properti lainnya dengan harga yang sangat mahal. Jika dikonsepkan secara ekonomi sederhana, hukum permintaan dan penawaran berlaku di sini. Sederhana, semakin banyak orang tajir yang menginginkan tanah di Jogja, sedangkan jumlah tanah di Jogja tetap segitu-gitu saja (kecuali Klaten gabung Jogja). Hal itulah yang membuat harga tanah di Jogja terus-menerus naik.
Terjebak di lingkaran setan
Harga tanah yang terus-menerus naik menjadi alarm bahaya bagi masyarakat Jogja. Bagaimana tidak? Upah Minimum Kabupaten/Kota di Jogja sangat rendah, hanya di kisaran Rp1,7 juta hingga Rp2 juta saja, seharga iPhone 5 bekas. Bagaimana bisa seseorang yang hanya memegang uang Rp2 juta per bulan membeli tanah yang harganya Rp3 juta per meter persegi? Hampir mustahil dilakukan, kecuali dapat utangan dari tetangga tajir sebelah rumah, itu pun harus malu dulu. Alhasil, tanah-tanah ini dikuasai sang kaya dari luar kota. Apakah ini jahat? Tentu tidak. Invisible hands telah bekerja sesuai job desc-nya. Sistem ini akan berputar terus-menerus, seperti lingkaran setan.
Pada akhirnya, bagi masyarakat Jogja, membeli tanah di Jogja adalah sekadar mimpi utopis saja. Selayaknya mimpi indah yang lain, terjadi syukur, tidak terjadi juga tidak apa. Tidak perlu terlalu khawatir, karena masyarakat Jogja adalah masyarakat yang nrima ing pandum. Masyarakat yang menerima apa pun yang sudah dititahkan kepadanya. Biarkan masyarakat Jogja menjadi tamu di rumah sendiri. Biarkan semesta bekerja dengan gaji UMK Kulon Progo saja.
BACA JUGA Perbedaan Mendasar Daerah Istimewa Yogyakarta, Kota Yogyakarta, Yogya, dan Jogja.