“Kamu adalah penyintas kemiskinan, Nak.” Paling tidak seperti itu yang coba diberitahukan oleh orang tua saya secara tidak langsung kepada saya ketika mereka membiayai saya bersekolah sana-sini sampai lulus S1.
Sebagaimana kebanyakan orang di dusun saya, dulu keluarga saya pernah merasakan bahwa kemiskinan begitu getir di masa orde lama dan orde baru. Tak jarang saya mendengar cerita dari orang-orang tua di dusun bahwa dulu cari makan itu benar-benar sulit. Saking sulitnya, bagian tertentu dari tumbuhan tertentu—seperti akar pohon pisang—yang sekarang dianggap tidak layak untuk dijadikan bahan makan, dimakan begitu saja. Selain itu, makan tak harus teratur sehari tiga kali, bisa makan sehari sekali sudah lumayan.
Tentu saja orang-orang yang mengalami getirnya kemiskinan itu tak ingin keturunannya di masa depan ikut merasakan getirnya kemiskinan juga. Di tahun-tahun 2000-an ke atas (sampai sekarang) kemiskinan masih jadi momok di dusun saya, walau tak segetir dulu—yang jelas dapur selalu ngebul, apa pun lauknya.
Para orangtua tak bisa menjamin dengan warisan-warisannya bahwa anak-anaknya di masa depan tak akan dihantui kemiskinan. Di benak orang-orang dusun, termasuk orang tua saya, cara menyelamatkan keturunannya dari kemiskinan adalah dengan bersekolah. Kelak setelah lulus, ijazah yang didapat dari sekolah digunakan untuk melamar pekerjaan yang bagus, yang menawarkan gaji tidak sedikit, yang bisa membebaskan seseorang dari kemiskinan, tanpa memedulikan passion.
Karena bersekolah memang ditujukan supaya di masa depan mudah mendapatkan pekerjaan, maka para orang tua di dusun—termasuk orang tua saya, itulah alasan saya mengatakan bahwa orang tua saya mencoba memberitahukan kepada saya secara tidak langsung bahwa saya adalah penyintas kemiskinan—menyekolahkan anaknya di tempat-tempat yang memungkinkan punya kesempatan tersebut.
Untuk SD-SMP biasanya tak banyak digubris. Masuk sekolah mana pun sama saja. Selepas SMP itulah para orang tua mulai berpikir. Jika mereka merasa tak akan mampu membiayai anaknya kuliah, mereka akan memilih memasukkan anaknya ke SMK. Karena setelah lulus bisa langsung bekerja sesuai bidang yang digeluti si anak pada masa SMK. Jika mereka merasa mampu membiayai anaknya kuliah, mereka akan membiarkan anaknya masuk SMA atau SMK. Ketika kuliah pun anaknya ditekan untuk memilih jurusan yang dirasa punya kesempatan kerja tinggi, tanpa peduli passion si anak untuk kuliah di jurusan tertentu. Tentu saja, jurusan filsafat tak termasuk.
Apa yang terjadi setelah anak-anak dari para orang tua di dusun itu bisa bersekolah dan akhirnya mendapat ijazah?
Ada yang berhasil melewati kemiskinan. Ada yang dikatakan berhasil tidak, dikatakan tidak berhasil juga tidak. Ada pula yang tidak berhasil. Untuk yang berhasil, indikatornya adalah bisa benar-benar hidup mandiri tanpa ada campur tangan dari orang tua sedikit pun. Untuk yang berhasil tidak, tidak berhasil tidak, indikatornya adalah bisa hidup mandiri tetapi sedikit banyak masih ada campur tangan orang tua. Untuk yang tidak berhasil, indikatornya adalah belum bisa hidup mandiri, masih ada campur tangan orang tua sepenuhnya.
Saya, sebagaimana yang dulu pernah dialami orang tua saya juga, berada di posisi yang tengah-tengah. Dikatakan berhasil tidak, dikatakan tidak berhasil juga tidak. Sudah punya penghasilan, tetapi masih pas-pasan. Untuk kasus-kasus seperti itu, orang-orang dusun punya cara tersendiri, salah satunya adalah orang tua membantu si anak sampai benar-benar hidup mandiri tanpa ada campur tangan orang tua. Misalnya, anaknya sudah menikah dipersilakan untuk tinggal di rumah orang tua terlebih dahulu. Seiring berjalannya waktu, orang tua membantu anaknya punya hunian sendiri entah bagaimana caranya.
Jika dibuat perbandingan antara yang berhasil melewati kemiskinan dengan yang berhasil tidak, tidak berhasil tidak dan tidak berhasil, yang berhasil melewati kemiskinan jauh lebih sedikit. Itulah alasan saya mengatakan bahwa kemiskinan masih menjadi momok, kendati tak segetir dulu.
Dalam kondisi tersebut, romantisasi passion sebagaimana yang diamplifikasi di media-media sosial oleh kelas menengah yang tak lagi berurusan dengan kemiskinan itu menjadi tidak relate bagi orang-orang dusun yang masih merasa kemiskinan menjadi momok. Karena yang ada di pikiran kami adalah bagaimana supaya penghasilan kami dalam sebulan cukup untuk memenuhi kebutuhan kami, apa pun pekerjaannya. Bukan apa sih pekerjaan yang sesuai dengan passion kami, yang membuat kami nyaman dalam menjalaninya.
BACA JUGA Nggak Usahlah Ndakik-Ndakik Bicarain Romantisasi Jogja dan tulisan Dani Ismantoko lainnya.