Sebagai perokok yang terklasifikasi kelas bawah dan identik dengan rokok murah, saya memiliki macam-macam pengalaman mengecewakan. Pengalaman kecewa di mana kekecewaan itu nyaris selalu berhasil membuat diri ini cemas, sebal. Berhasil membuat jantung berdetak kencang tak keruan.
Kekecewaan itu muncul saat setiap kali saya bertaruh membeli rokok paling mahal satu bungkus, dengan maksud self reward, setelah selama ini menyabarkan diri dengan rokok murah.
Ketika duduk santai di warung kopi, tiba-tiba teman datang, tanpa apa dan bagaimana, langsung mengambil rokok satu per satu sampai habis tak tersisa. Menyebalkan sekali kejadian seperti ini.
Lantaran peristiwa di atas terjadi berulang, saya jadi malas untuk keluar dari kamar. Saya takut kalau bertemu mereka, saya menanggung rasa sakit, perasaan nyelekit, itu lagi. Perasaan yang betul-betul tak mengenakkan.
Mungkin saya mau keluar kamar, tapi dengan tidak membawa rokok pertaruhan itu. Atau kalau saya bawa, saya akan menyembunyikannya agar tidak diminta. Sampai kapan disembunyikan? Sampai mereka pergi, menghilang lalu menyatu dengan debu-debu!
Kalau saya kelas menengah ke atas dan tidak terlalu akrab dengan rokok murah, tentu kejadian tersebut tak jadi soal. Namun, saya berani bersumpah, bahwa rokok-rokok yang saya beli adalah hasil dari pertaruhan luar biasa besar.
Misalnya, meski uang kiriman tinggal sedikit, saya tetap membeli rokok yang paling enak. Syaratnya, saya harus produktif membaca sekian puluh halaman, menulis sekian ribu kata atau sebagai self-reward setelah bersih-bersih kosan, mencuci piring dan baju atau lain dan sebagainya, lalu setelahnya, bersantai di salah satu warkop, dengan perasaan tenang dan damai.
Namun sayangnya, semua ketenangan dan kedamaian itu sirna ketika teman-teman saya yang tak diundang pada “waktu-waktu surga” datang lalu mengambil rokok, Mereka menyulutnya begitu saja. Maka, self-reward menjelma self-suffer.
Tapi, sebagai insan yang sering mengklaim diri sebagai pegiat kemanusiaan, sebagai manusia yang cinta pada sesama, saya coba memaklumi dan iklas. Saya coba menanamkan dalam diri bahwa, barangkali mereka sedang butuh, bahwa mereka barangkali sedang di keadaan miskin-miskinnya dan terlalu mesra sama rokok murah.
Bukankah sesama yang miskin harus saling menguatkan? Meskipun, ini betul-betul berat. Meskipun, meskipun, ini kerap kali dilakukan oleh orang yang sama, yang itu-itu lagi.
Perkara rokok murah
Satu hari saya bertemu dengan dua sahabat saya. Dari pertemuan itu, saya mendapatkan fakta-fakta tak terduga.
Waktu itu saya datang menemui dua sahabat tanpa membawa rokok. Karena tak bawa, saya coba minta pada teman saya.
Tanpa disangka, dikeluarkannya satu bungkus rokok setelah diambil satu batang. Saya ambil satu batang kemudian saya sulut dengan senang. Teman saya yang satu lagi, yang bernama Agung, juga mengambil satu lalu disulutnya.
Setelah menyulut rokok masing-masing, kami berbincang. Merasa senang karena mendapat rokok gratis dan percakapan yang lumayan menyenangkan, saya jadi berpikir akan menghadiahi pertemuan ini dengan membeli rokok satu bungkus. Saya lihat bungkus rokok sudah diremek-remek.
Meski uang tinggal Rp30 ribu terakhir tapi tak mengapa. Besok ya besok. Besok ya dipikir besok. Tapi saya tetap berinisiatif mengajak kawan-kawan saya patungan. Siapa tahu, harap saya. Siapa tahu mereka mau patungan. Kalau tidak, tidak apa-apa, saya akan beli sendiri. Meski yang didapat rokok murah sesuai kemampuan.
“Ayo patungan, beli rokok,” ajak saya pada teman yang satu, yang belum berkontribusi rokok.
“Aduh, tak punya uang aku,” kata Agung. Saya lekas percaya, karena kawan saya satu ini baru saja membeli mesin kopi.
Sebetulnya saya ingin minta pada teman saya yang satunya, tapi tak enak hati sebab dia sudah kontribusi, menggeletakkan rokoknya di atas meja.
“Oi urunan!” Kata Agung.
“Loh, aku udah kok tadi!” Kata Gagas tiba-tiba menyahut.
“Alah, alah!” Bantah Agung.
Kemudian Agung menoleh pada saya lalu menjelaskan.
“Dia ini, emang gitu! Jangan gampang terbuai dengan siasat dia!”
Saya bingung. Tak paham.
“Tadi rokok di dalam bungkus ada tiga kan? Benar?”
Saya ingat-ingat. Benar tiga batang. Saya mengangguk.
“Gagas ini,” Agung meneruskan, “setiap ketemu orang pasti naruh rokok bungkusan. Tapi, walaupun bungkusan, isinya hanya tiga batang!”
Saya menoleh ke arah Gagas di depan saya. Wajahnya merah seperti menahan sesuatu.
“Kau tahu, ya…,” lanjut Agung
“Apa?” tanya saya.
“Dia begitu biar nggak diajak urunan lagi! Karena apa? Karena sudah ngasih rokok satu batang!”
Saya menoleh ke Gagas.
Wajahnya semakin merah, mulutnya moncong ke depan. Tapi saya tatap dia terus. Kemudian tawanya meledak.
“Hahahaha!”
Saya diam saja. Sementara dua teman saya tertawa terbahak-bahak. Saya mengurungkan membeli rokok murah sialan itu, yang padahal sebelumnya saya sudah mantap akan menuntaskan pembelian ini sendiri.
“Coba kamu cek di tas Gagas. Di jaketnya. Pasti masih ada berbungkus-bungkus, yang isinya tiga batang-tiga batang.”
Saya melihat ke Gagas. Dia mesam-mesem saja.
“Mana coba kuperiksa, Gas!”
Gagas tersenyum mengejek, sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Coba bayangkan kalau kamu beli rokok satu bungkus, ya meskipun rokok murah, untung berapa Gagas?” tanya Agung. “Aku nggak urunan memang tak ada uang sama sekali. Kalau ada rokok juga kukeluarkan semua,” tegasnya
Saya berhitung berapa keuntungan Gagas bila saya jadi membeli rokok satu bungkus. Bajingan!
“Asu we, Gas!” Maki saya.
Gagas tertawa. Agung juga tertawa.
“Hu, dasar polos!” Ledek Agung.
Peristiwa pertemuan saya dengan Agung dan Gagas itu membuka cara pandang saya atas dunia perokokan ini. Bahwa dunia rokok murah adalah dunia hitam bagi para perokok kelas bawah. Dan, memberikan rokok pada kawan, bukan tindakan yang humanis-humanis amat!
Penulis: Saiful Amin
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Rekomendasi 5 Rokok Murah dengan Rasa Mewah.