Beberapa minggu sebelum Jogja mencanangkan PSBB, saya terlibat dalam obrolan menarik di sebuah angkringan. Obrolan seputar kampanye antirokok ini hampir saja saya lupakan. Tapi, ingatan ini kembali gara-gara sebuah komentar perihal “Rokok membuat rakyat miskin makin miskin.” Apalagi komentar itu muncul di salah satu artikel saya.
Seingat saya, ada empat orang yang terlibat obrolan ini. Yang pertama dikenal sebagai Lik Yat. Blio adalah pemilik warung angkringan yang sudah berhenti merokok belasan tahun. Berikutnya ada Pak Rudi, bapak paruh baya yang berprofesi sebagai tukang tambal ban. Kebetulan blio sempat berkenalan langsung dengan saya. Tokoh ketiga dikenal sebagai Mas Kopik. Blio adalah warga yang tinggal di sekitar lokasi angkringan. Blio mengaku sebagai “tukang serbaguna.”
Saya masih gagal mengingat orang keempat yang terlibat dalam obrolan ini. Blio adalah driver ojol yang sepertinya masih cukup muda. Mas Ojol ini duduk di trotoar bersama rekan yang lain karena itu saya kurang bisa mengenal blio. Tapi, komentar-komentar singkat blio sangat menarik minat saya. Obrolan ini terjadi di sebuah angkringan yang tak jauh dari J-Walk, sebuah mal yang berubah fungsi jadi area perkantoran.
Obrolan dimulai dengan pembahasan perihal tembakau linting saya. Kebetulan saya dan Pak Rudi sama-sama penikmat rokok linting. Mas Kopik yang berbeda lincak dengan saya ikut memperhatikan dan berdiskusi. Oleh karena saya masih menunggu teman, maka saya coba melempar opini panas ala-ala provokator demo.
“Pak, katanya rokok itu sumber kemiskinan.” Itu opini pertama saya yang terucap dalam bahasa Jawa. Pak Rudi terkekeh dan mempertanyakan siapa yang bilang seperti itu. Saya menjelaskan perihal berbagai aktivis antirokok yang gemar mengeluarkan statement demikian. Ternyata malah Mas Kopik yang segera menanggapi.
“Sedikit-sedikit kok menyalahkan rokok. Itu Lik Yat masih tetep miskin (padahal tidak merokok).” Komentar ini segera dibenarkan oleh Lik Yat. Blio berpendapat, rokok itu tidak akan membuat orang miskin. Buktinya banyak bos yang masih merokok dan memiliki penghasilan jutaan. Di tengah diskusi Lik Yat dengan Mas Kopik, Pak Rudi nyeletuk:
“Meskipun saya tidak merokok, yang datang untuk menambalkan ban tidak tambah, Mas. Mosok kalau saya tidak merokok, banyak ban yang bocor.” Celetukan ini disambut pembenaran oleh Mas Kopik dan saya. Pembicaraan berikutnya makin riuh sembari bergibah tentang ekonomi teman masing-masing. Ada tukang bangunan yang tetap miskin meskipun tidak merokok. Ada juga pedagang angkringan yang masih terjebak utang meskipun tidak merokok.
“Tapi, Lik, katanya uang rokok bisa ditabung untuk bangun rumah,” ujar saya mengingat meme perihal satu bungkus rokok sama dengan tiga batako. Lik Yat dan Mas Kopik menganggap argumen itu mengada-ada. Terbukti Lik Yat tetap tidak punya rumah meskipun berhenti merokok. Justru Mas Kopik punya rumah padahal perokok berat. “Tapi, itu rumah warisan, Mas,” demikian klarifikasi dari Mas Kopik.
Saya makin tertarik dengan Lik Yat. Saya bertanya mengapa blio berhenti. Alasan Lik Yat berhenti adalah karena cucu blio tinggal serumah. Ternyata setelah berpuasa rokok cukup lama, blio jadi tidak doyan rokok. Wah, diam-diam Lik Yat pernah menjadi perokok santun.
Tidak puas dengan jawaban-jawaban tadi, saya coba menggunakan salah satu argumen utama antirokok. “Daripada untuk beli rokok, lebih baik uangnya untuk makan saja.” Pernyataan saya ini langsung dijawab Mas Kopik dengan tindakan sederhana: blio mengambil gorengan dan memakannya. Itu bisa diartikan sebagai “saya tetap bisa makan meskipun perokok”.
Pak Rudi yang sempat diam saja menimpali, makan dan rokok itu adalah perkara yang beda. Menurut blio, orang akan tetap makan agar tidak lapar. Di tengah tanggapan Pak Rudi, Mas Ojol misterius menyahut, “Jika ingin makan, tinggal kerja. Jika ingin merokok, tinggal kerja. Tak perlu mengatur-atur orang yang merokok untuk makan.” Tentu dalam bahasa Jawa seperti yang lain.
Obrolan mereka makin seru perihal makan dan rokok. Intinya adalah urusan makan dan rokok tiap orang berbeda. Setiap orang bisa mengatur kebutuhan pribadi untuk uang dan rokok, termasuk menentukan uang yang mepet digunakan untuk membeli makan atau rokok.
Mas Ojol misterius tadi menambahi, “Seorang perokok kadang memilih untuk membeli rokok daripada makan. Tapi tidak pernah ada berita yang mengatakan seorang perokok mati kelaparan karena memilih beli rokok.” Ungkapan tersebut disetujui teman-teman sesama driver ojol. Ternyata ada sekitar tiga driver lain yang nongkrong di dekat angkringan. Saya malah bingung, kapan mereka datang?
Obrolan yang makin ngalor-ngidul ini tidak bisa saya ingat semua. Selain temanya makin meluas, saya juga terganggu kabar dari teman saya. Maka sebelum membayar es susu dan sate usus, saya berikan pertanyaan terakhir yang intinya, “Lalu mengapa Anda semua tetap merokok meskipun uang tak seberapa dan banyak yang bilang untuk berhenti?”
Lik Yat tidak memberi tanggapan, toh blio sudah berhenti. Mas Kopik menjawab, “(Merokok itu) agar saya tetap segar saat mburuh, Mas. Kalau belum merokok, rasanya kerja itu berat. Merokok juga menghilangkan bosan saat bekerja. Meskipun cuma disedot-sedot, setidaknya mengurangi rasa jenuh.” Aslinya jawaban blio lebih panjang, tapi intinya itu.
Pak Rudi menambahkan, “Saat saya kerja, saya juga butuh hiburan, Mas. Saya kan tidak bisa mainan handphone seperti Anda,” sambil menunjuk smartphone saya. “Apalagi saat menambal ban tangan saya sibuk. Daripada saya cuma diam saja, saya merokok. Setidaknya saya tidak terlalu sepaneng saat kerja.” Jawaban ini saya tanggapi dengan tepuk tangan kecil sambil manggut-manggut. Saya setuju 100% dengan jawaban blio.
Tapi, kenapa Mas Ojol tadi tidak memberikan tanggapan? Padahal punchline blio selalu membuat suasana pecah. Ternyata Mas Ojol misterius tadi sudah pergi. Kata satu driver lain, Mas Ojol misterius tadi mendapat orderan. Sayang sekali, padahal saya menanti jawaban renyah, pedas, dan sederhana dari sosok misterius tersebut.
Akhirnya diskusi ini harus berakhir. Saat sudah mengendarai motor, saya manggut-manggut mengingat jawaban dari akar rumput perihal kampanye antirokok ini. Obrolan selama kurang lebih satu jam inilah tanggapan yang tepat untuk komentar “orang miskin dilarang merokok”.
BACA JUGA Hantu dan Kebanggaan Produk Negeri Sendiri dan tulisan Prabu Yudianto lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.