Pasca patah hati, saya mencoba tradisi ala muda-mudi setempat ketika ambyar, yakni memutari Ring Road Jogja—sebuah jalan arteri yang memeluk Kota Istimewa ini. Entah bagaimana ceritanya, muda-mudi Jogja seakan mufakat tanpa harus mengadakan rapat bahwa mubengi Ring Road ialah mediator terbaik untuk melepas ambyar di dada.
Saya kira hanya konsep, ternyata hal ini memang benar apa adanya. Memutari Ring Road Jogja, bukan bermaksud meromantisasi ya, bisa dibilang area wisata bagi warga lokal. Lha gimana lagi, kata Pemerintah Kota Jogja kan warganya jangan plesiran ke area Tugu. Iya sih iya, di sana itu memang area untuk wisatawan. Kami paham kok, Pak dan Buk. Jadilah Ring Road Jogja sebagai pelepasan dendam kesumat.
Saya mencoba tradisi kawula muda Jogja ini beberapa hari yang lalu. Saya galau skripsian dan pacar saya galau progres projekannya. Lantas saya menawari media yang-yangan sesuai protokol kesehatan, “Muterin Ring Road Jogja, yuk? Katanya bisa melepas galau. Lak yo galau nggak musti perihal cinta, to?” Setelah beberapa pertimbangan, dirinya menyetujui.
Helm, masker, hand sanitizer, dan pembatas sekat antara orang boncengan kami gunakan. Saya kok jadi mikir, ini orang yang-yangan kok bentuknya lebih mirip kayak ojek online lagi ngantar penumpang, ya? Tapi, nggak masalah. Apa salahnya dianggap ojek online? Semua profesi itu hormat tanpa sekat. Panjang umur kelas pekerja.
Kami memulai dari area Jalan Bantul. Lalu ke Barat ke arah Gamping. Sepanjang perjalanan saya berhati-hati walau jam sebelas malam, sepi nggak bisa diganggu gugat kedigdayaannya. Beberapa menit, kok galau saya nggak hilang, ya? Justru kepikiran bab 4 yang nggak beranjak ke mana-mana. Pacar saya pun sama saja, ia masih mikir tentang proyeknya.
Sepanjang perjalanan setelahnya, ketika roda-roda motor kami sudah menggelinding di area Gamping dan beringsut ke arah Utara, pacar saya nggak habis-habisnya merangsang insting ngegombal saya. Pitikih. Lagi stres mikirin skripsi je malah disuruh mikir. Katanya, “Mas, nek Bandung itu terbuat dari rindu, maka Pleret itu terbuat dari apa?”
Saya kemekelen sebentar, seselo itu dirinya bertanya tentang daerah itu. Lantas saya jawab, “Pleret diciptakan Tuhan saat Ia sedang tegang.” kata saya menciptakan keheningan sesaat. Beberapa super-second setelahnya, ia bertanya kenapa ketegangan dan saya menjawab, “Karena njeblas dikit bakalan ketemu Tanjakan Cino Mati.”
Ia tertawa. Untung saja ia paham daerah Bantul. Tanjakan Cino Mati itu adalah sebuah tanjakan yang acapkali fotonya diposting di Info Cegatan Jogja. Entah itu rem blong atau mobil yang nggak kuat menanjak. Tanjakan itu menakutkan puol. Hampir menyerupai tanjakan di Rock Bottom-nya Spongebob.
Condongcatur menyapa kami. Galau saya belum hilang seutuhnya. Ia malah bilang begini, “Kalau ke sana (arah Magelang), itu rumahku, Mas.” entah berapa kali ia membanggakan daerah asalnya itu. Daerah yang katanya dia, terbuat dari Borobudur, Artos, dan Agus Mulyadi.
Saya sakjane pengin bilang begini, “Magelang itu Kota Sejuta Bunga, betapa kasihannya sekarang nama kota itu nggak bisa digunakan karena satu bunganya singgah di bumi Jogja.” Namun, saya urungkan, bukan karena malu, tetapi hujan deras mengguyur kami ketika kami melewati Jembatan Layang Janti.
Kami berteduh di salah satu warung klontong tutup di bilangan Blok O kompleks TNI AU. Bersama dengan muda-mudi lain, ada mas dan mbak yang kebetulan sendirian. Wajah-wajah mereka lelah. Ternyata kami nggak sedang menjalani ritus galau ala muda-mudi Jogja sendirian.
Dalam lindungan teras sebuah toko, akhirnya kami bercerita, dapat apa saja selama memutari Ring Road Jogja. Hasilnya ya nihil, saya nggak dapat rasa lega, pun dirinya nggak merasakan ringan bebannya dari tuntutan proyekan. Lantas kami tertawa, kok ya bisa pekok banget muterin Ring Road Jogja yang begitu luas, mengitari pinggiran kota yang beririsan tipis dengan Bantul dan Sleman, buang-buang bensin, demi tujuan yang kelewat sia-sia.
Di Ring Road Selatan, setelah kami memutuskan membelah gerimis, perut kami pun menyatakan tanda bela sungkawa atas keroncongannya cacing-cacing di perut saya. Di sekitar Terminal Giwangan, kami membeli mie Magelangan. Di sebuah gerobak kecil yang masih penuh mi-nya, saya bisa taksir si pedagang belum dapat pembeli dari sore. Coba jualan di area Tugu, Pak. Ah lupa, Tugu kan area wisata. Bukan tempat rakyat seperti kami.
Ia bercerita bahwa di Magelang itu nggak ada yang namanya mi magelangan. Adanya Agus Magelangan. Ini kali kedua nama Mas Agus diucapkan. Saya nggak cemburu, tapi kalah tanding, lha saya kira hanya saya je fans Agus Mulyadi yang paling die-hard, jebul masih ada lagi yang lebih militan. Menyangkut pautkan semua yang berbau Magelang dengan sosok Agus Mulyadi.
Dengan santainya, saya nimpali, “Di Jogja ya nggak ada itu namanya Gudeg Jogja. Adanya ya gudeg tok, nggak ada embel-embel nama kotanya.” Dengan wajah paling ndlogok, ia hanya bilang, “Weh iya juga, ya?”
Pada akhirnya memutari Ring Road Jogja itu bukan perkara melepas galau berkepanjangan, namun tentang bagaimana caranya saja. Misal ngobrol seperti saya, ada juga yang menangis, atau membaca dan mengumpat sampah-sampah visual di setiap perempatan. Keselamatan adalah nomor satu. Pun dari situlah galau kemudian lepas, menjadi perasaan paling lega.
Saya hanya melihat lampu-lampu kota pinggiran Jogja yang mulai meremang. Pinggiran yang terlupakan, pinggiran yang dimarjinalkan. Bersama dirinya yang sedang makan mi magelangan, saya berbicara pelan di lampu petromak bakul mie dhokdhok yang berpendar. “Dik, aku kayaknya aku sudah nggak galau, deh.”
“Lah, bagus dong. Terus masalahnya apa?” tanyanya, nggak memperhatikan saya.
“Lha ya ini, galau hilang, masuk angin datang.” lantas tersedak mi magelang adalah harga yang nggak bisa ditawar-tawar oleh salah satu kembang dari Kota Magelang.
BACA JUGA Luang Prabang Adalah Kota Terbaik di Asia Tenggara untuk Tujuan Bulan Madu dan tulisan Gusti Aditya lainnya.