Tinggal di desa pelosok itu romantis di cerita FTV doang. Kenyataannya? Banyak risikonya. Dari sinyal yang sering lebih sulit ditemukan daripada jodoh, sampai hiburan yang didominasi oleh tayangan TV buram dan gosip tetangga yang lebih cepat daripada koneksi internet di kota.
Makanya, kalau ada orang kota yang sok-sokan bilang, “Wah, enak ya tinggal di desa, udaranya masih segar,” berarti dia belum pernah ngalamin cari sinyal internet sampai harus naik pohon, atau jalan kaki sejauh dua kilometer cuma buat beli sabun cuci.
Tinggal di desa pelosok itu katanya damai, jauh dari kebisingan kota. Iya sih, jauh dari bisingnya klakson, tapi malah dekat sama bisingnya suara ayam berantem jam 2 pagi. Jauh dari polusi, tapi dekat sama aroma pup kambing yang sukses bikin good morning vibes jadi good morning trauma.
Romantis? Tergantung. Kalau romantis versi kamu adalah naik motor di jalan rusak sambil pegangan erat ke boncengan, ya bisa lah. Tapi kalau ekspektasimu kayak drama Korea—jalan berdua di bawah lampu jalan yang redup sambil makan odeng—lupakan. Satu-satunya yang bisa diajak jalan di malam hari di desa pelosok cuma sapi tetangga yang nyasar ke halaman rumah.
Transportasi: antara safari dan gladiator challenge
Di kota, orang-orang ngeluh macet. Di desa pelosok? Mau macet aja nggak bisa, karena kendaraan umum aja nggak ada. Angkot? Hanya legenda. Ojek online? Di sini, driver-nya bukan abang-abang berjaket hijau, tapi om-om naik Supra X yang bayarnya pakai “nanti aja pas panen.”
Jalanannya? Kadang lebih menantang daripada sirkuit motocross. Musim hujan, jalan desa berubah jadi arena drifting. Musim kemarau, debunya sampai masuk ke pori-pori. Ada yang bilang di Mars banyak debu? Mereka belum pernah tinggal di desa pelosok pas kemarau.
Kadang aku mikir, kalau Fast & Furious syuting di desa, Vin Diesel pasti udah nangis duluan.
Sinyal? Ada, tapi di alam gaib
Di kota, kalau internet lemot, orang bisa ngamuk-ngamuk ke provider. Di desa pelosok? Cari sinyal aja udah kayak ekspedisi mencari harta karun. Kadang harus jalan ke kebun, naik ke pohon, atau berdiri di sudut tertentu dengan pose aneh, kayak lagi ritual memanggil sinyal.
Streaming YouTube? Mimpi. Mau buka Instagram aja bisa jadi challenge hidup. Lagi chatting seru, tiba-tiba sinyal hilang. Balasan yang harusnya datang dalam hitungan detik berubah jadi pending seumur hidup.
Makanya, kalau ada yang bilang, “Jodoh pasti datang di waktu yang tepat,” aku selalu inget sinyal di desa. Sama-sama nggak jelas kapan datangnya.
Hiburan di desa pelosok antara TV semutan dan drama ronda malam
Di kota, orang bisa milih hiburan: bioskop, konser, atau sekadar nongkrong di kafe esthetic. Di desa pelosok, hiburan utama adalah TV, tapi itu pun kalau antenanya nggak tersenggol angin.
Kalau siaran TV ilang, opsinya cuma dua: tidur lebih awal atau dengerin bapak-bapak ronda yang sibuk debat apakah lebih enak ayam bakar atau ayam goreng. Itu pun kadang malah berujung debat politik yang lebih panas dari wajan gorengan.
Dan jangan salah, gosip di desa pelosok itu lebih cepat dari internet fiber optic. Hari ini kamu ketemu cowok di jalan, besok seisi kampung udah tahu. Dua hari kemudian, desas-desusnya berkembang jadi, “Katanya udah tunangan.” Padahal itu cuma tukang galon.
Kadang aku curiga, kalau dinosaurus dulu tinggal di desa, mereka nggak bakal punah gara-gara meteor. Mereka punah gara-gara kena gosip.
Layanan kesehatan: jangan sakit kalau nggak kuat LDR
Di kota, kalau sakit, tinggal ke klinik atau rumah sakit terdekat. Di desa pelosok, kalau puskesmas jauh, alternatifnya ada dua: pengobatan herbal atau berserah diri.
Masuk angin? Minum jahe. Sakit kepala? Dikerokin. Patah hati? Disuruh sabar, padahal yang nyuruh juga jomblo menahun.
Kalau butuh dokter spesialis, jelas, Anda harus ke kota, menempuh perjalanan yang lebih jauh dari perjalanan mantan ke pelaminan. Kadang, pasiennya sembuh duluan sebelum sampai rumah sakit.
Tapi ada hikmahnya. Tinggal di desa bikin orang jadi lebih survivor. Sakit? Sembuhin sendiri. Lapar? Masak sendiri. Galau? Ya, paling curhat ke ayam tetangga.
Privasi, sebuah konsep yang kelewat asing
Di kota, tetangga sering nggak peduli. Di desa pelosok, beda cerita. Mau ngupil di teras aja bisa jadi bahan gosip.
Kalau ada orang baru datang ke rumah, besoknya seisi kampung udah tahu. Ada tamu cowok bisa dikira calon suami. Padahal itu cuma tukang servis kipas angin.
Dan jangan kira bisa selamat dari omongan tetangga dengan ngumpet di rumah. Di desa, ada teknologi bernama ibu-ibu pos ronda. Mereka bisa tahu siapa yang keluar masuk rumah, jam berapa, dan pakai baju warna apa, tanpa perlu CCTV.
Makanan di desa pelosok murah, tapi…
Kalau soal makanan, desa pelosok emang juara. Di kota, es teh bisa seharga 10 ribu. Di desa, segitu udah bisa dapet gorengan satu plastik plus teh manis dan kembalian.
Tapi ada satu masalah: warung di desa limited edition. Buka cuma jam tertentu, dan kalau telat dikit, udah kehabisan. Belanja malam-malam? Lupakan. Paling banter cuma bisa beli mi instan di warung tetangga, kalau mereka lagi buka.
Pernah suatu malam aku pengen beli telur, warungnya tutup. Tanya ke tetangga, jawabannya, “Tunggu ayamnya bertelur dulu.” Oke, noted.
Bertahan hidup di desa pelosok adalah ujian sejati
Tinggal di desa pelosok itu memang penuh risiko. Sinyal susah, jalanan hancur, hiburan minim, dan gosip lebih cepat dari berita viral. Tapi, di balik semua itu, ada hal yang nggak bisa ditukar dengan kemewahan kota: suasana yang damai, udara yang masih segar, makanan murah, dan tetangga yang saling peduli (meskipun kadang kepo berlebihan).
Kalau kamu bisa bertahan di desa pelosok, selamat! Kamu udah lulus ujian kehidupan level hardcore. Dan kalau suatu hari ada audisi Survivor Indonesia, daftar aja. Kamu pasti menang.
Penulis: Putri Ardila
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Rumah di Desa, Terpencil, dan Jauh dari Tetangga Memang Menyik
















