Beberapa hari terakhir, di Terminal Mojok banyak bahasan seputar lokasi rumah. Banyak yang mengungkapkan penderitaan tinggal di dekat sawah, di tengah hutan, dll. Kebetulan rumah saya dekat dengan rel kereta api, saya juga ingin ikut mengeluarkan unek-unek soal tempat tinggal ini.
#1 Banyak yang bilang horor
Salah satu risiko punya rumah dekat rel kereta api adalah selalu dikaitkan dengan hal-hal mistis. Maklum, banyak sekali cerita horor nggak masuk akal tentang rel kereta api. Belum lagi insiden kecelakaan atau kasus bunuh diri sangat lekat dengan lingkungan ini. Masuk akal jika banyak orang yang menyimpulkan kalau tinggal di dekat rel kereta api itu menyeramkan.
Saya setuju dengan pandangan itu, tapi hal tersebut berlaku saat saya masih kecil. Saat ini, saya sudah nggak percaya dengan hal tersebut. Pasalnya selama puluhan tahun saya tinggal di sini dan sudah menyaksikan beberapa tragedi nahas, saya belum pernah ketemu setan atau mengalami kejadian horor seperti yang ditakutkan banyak orang.
Ya semoga saja nggak sampai terjadi. Meskipun saya nggak percaya hantu, yang namanya merinding kerasa juga, cuy.
#2 Siap-siap kebisingan gara-gara tinggal di rumah dekat rel kereta
Ada satu pertanyaan yang paling sering ditanyakan teman saya atau orang awam begitu tahu rumah saya dekat rel kereta api. “Memangnya nggak berisik kalau ada kereta lewat?” Jawabannya tentu saja berisik.
Bayangkan, betapa berisiknya mesin kereta itu. Belum lagi kalau masinis membunyikan klakson kereta begitu kereta lewat. Dari jarak ratusan meter saja sudah terdengar, apalagi begitu kereta mendekat. Aneh saja kalau ada yang bertanya tinggal dekat rel kereta berisik atau nggak.
Sejujurnya hal ini cukup mengganggu aktivitas saya, terutama ketika sedang melakukan panggilan telepon atau pertemuan daring. Bayangin, lagi serius-seriusnya rapat online, tiba-tiba terdengar suara klakson kereta yang begitu nyaring disusul mesin kereta yang gujes… gujes… itu. Sungguh sebuah ketidaknyamanan.
Tetapi apa boleh buat, saya harus berdamai dengan kondisi tersebut. Mana bisa saya menegur sang masinis dan memintanya nggak berisik saat lewat di belakang rumah saya.
#3 Tinggal di rumah dekat rel kereta api bikin saya nggak bisa membedakan gempa bumi asli dengan getaran kereta lewat
Selain berisik, risiko lain tinggal di rumah dekat rel kereta api adalah merasakan getaran saat kereta lewat. Saya selalu merasa kalau rumah saya ini adalah wahana simulasi gempa bumi dengan skala rendah. Getarannya nggak begitu kencang, tapi juga nggak diam saja.
Gara-gara getaran kereta lewat ini saya jadi punya satu ketakutan khusus, yakni takut nggak bisa membedakan gempa asli dan getaran karena kereta lewat. Soalnya saya sudah terbiasa dengan getaran “buatan”. Sama-sama singkat dan membuat retak tembok meskipun efek dari getaran kereta ini bersifat jangka panjang.
#4 Rawan digusur
Tinggal di rumah dekat rel kereta api itu rawan tergusur, Gaes. Hal ini disebabkan sebagian atau bahkan seluruh bangunan rumah kita berdiri di atas tanah PT KAI. Sebagai pemilik lahan, mereka berhak menggunakan tanah mereka jika diperlukan. Jika benar terjadi, rumah kita akan tergusur, terbongkar, atau apa pun istilahnya. Tentu penggusuran itu nggak cuma-cuma, biasanya akan ada kompensasinya. Tapi namanya manusia pasti sedih kalau rumahnya digusur, kan.
Ternyata punya rumah dekat rel kereta api berisiko juga, ya. Tapi di balik semua risikonya, ada hal yang bisa saya nikmati. Misalnya, bisa memotret kereta dari belakang rumah atau naik kereta tanpa harus ke stasiun. Eh, tapi pernyataan terakhir saya cuma bercanda, ya. Nggak boleh gitu, dong.
Penulis: Rahadi Siswoyo
Editor: Intan Ekapratiwi
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
