Bagaimanapun tanaman tembakau bagi orang Madura merupakan salah satu penghasilan paling wah, istimewa, cenderung bisa bikin kaya mendadak dan bisa bikin hidup mewah. Lah iya itu betul adanya.
Bulan ini adalah bulan tembakau bagi orang Madura. Tak ada satupun tanaman yang jika sudah panen duitnya bisa seluber tanaman tembakau. Bagi orang Madura, urusan harga tembakau melonjak naik atau tidak menjadi perkara serius, yang penting tanam dulu. Urusan naus (gagal panen/harga anjlok) itu urusan belakangan.
Tidak heran, jika orang Madura sekali tanam tembakau bisa ratusan ribu bibit tembakau. Urusan tanam tembakau orang Madura memang jago dan ahlinya.
Luar biasanya orang Madura ketika menanam tembakau, mulai proses penanaman tembakau hingga panennya dikerjakan dengan cara gotong royong, saling bantu dari tetangga yang satu ke tetangga yang lain, bahkan terkesan sangat kompak dan sangat solid. Namun, celakanya, di tengah-tengah proses pertumbuhan tembakau itu seringkali menuai banyak konflik dan keributan yang cukup unik dan terkesan lucu antar tetangga sendiri. Apa penyebabnya?
Rebutan air untuk nyiram tembakau. Ini salah satu penyebab konflik paling umum yang terjadi di Madura ketika musim tembakau. Jika pun harus ada yang mengatakan orang Madura miskin dan kekurangan air, itu tidak sepenuhnya salah. Sebab, ketika musim tembakau bukan sesuatu yang tidak mungkin warga Madura bisa kekurangan air.
Bahkan konon katanya ada ungkapan menarik dari orang Madura yang suka menanam tembakau, jago, ahli dan ia dijuluki sebagai “juragan tembakau” “Beng tembeng bekok tak becca ben mateh pungok be’ abe’en kakorangnah aeng” (Ketimbang tembakau ini tidak disiram dan mati mendingan saya yang kekurangan air (tidak minum)). Mungkin ini ungkapan paling ekstrim sejauh yang saya tahu. Sebab memang tidak heran jika tanaman tembakau itu segala-galanya bagi orang Madura.
Nyiram tembakau di Madura hampir dilakukan tiap pagi, sore, siang bahkan sampai bermalam-malam di tegal-tegal mereka masing-masing. Untuk bisa kebagian jatah air yang cukup dari kali yang satu-satunya milik umum itu, nyiram tembakau harus rela menunggu malam-malam. Sebab klo nyiramnya harus terus-menerus pagi dan siang disitulah pemicu munculnya keributan dan bertengkar untuk saling rebutan air. Dan ini bisa dikatakan sebagai keributan rutinan yang terjadi di Madura ketika musim tembakau.
Selain ribut soal rebutan air untuk nyiram tembakau, orang Madura juga sering ribut soal penggunaan listrik yang digunakan untuk Sanyo (bagi orang Madura mau merk apapun ya tetap Sanyo namanya) agar bisa nyiram tembakau. Nah, disinilah kadang muncul keributan yang cukup lucu dan pelik.
Konon, dan mungkin sebagian masyarakat Madura sekarang masih ada yang nimbrung listrik ke tetangga yang punya kelebihan harta bisa beli listrik sendiri atau meteren listrik. Biasanya sampe tiga dan empat orang dengan penggunaan yang sama tak berlebihan agar bayarnya pun sama dan tak banyak.
Penggunaan listrik di musim tembakau di Madura memang seringkali bikin ribut antar tetangga yang dianggap tidak adil dalam pembagian jatah listrik dari juragan listrik itu sendiri.
Konon ada cerita dan kejadian menegangkan tapi menarik ribut listrik gara-gara tanaman tembakau:
Kabel listrik yang terpasang sana sini dengan pengguna yang berbeda-beda, membuat pengguna lain iri dan merasa tidak diperlakukan adil tanaman tembakaunya tidak tumbuh bagus gara-gara kekurangan aliran listrik untuk mendapatkan air. Karenanya, tanpa banyak basa-basi kabel-kabel listrik yang terpasang itu ditebas pakek clurit lalu dibuang jauh-jauh agar supaya tidak diketahui siapa yang melakukannya.
“Tompes la tompes” (hancur lah hancur)
“Tinah makle pade tak ngangkuy” (biar sama-sama tidak bisa memakai)
Begitulah kira-kira kemarahan yang muncul dari orang Madura ketika sudah masuk dalam urusan tembakau yang ribut soal penggunaan listrik.
Dibalik keributan rutinan yang terjadi tiap tahun di Madura ini sebenarnya tidak menjadi keributan yang berkepanjangan. Ketika sudah mulai hendak memanen tembakau tanpa ada seremonial maaf-maafan dengan orang yang sempat ribut, berseteru, saling sabet dengan clurit secara otomatis semuanya sudah menjadi damai dan saling memaafkan. Bahkan terkesan tidak ada masalah apa-apa sebelumnya. Keributan rutinan yang tidak berkepanjangan ini terjadi di Madura ketika musim tembakau.
Masuklah ke musim panen tembakau, di mana semua warga Madura nampak senyum merona melihat tembakaunya tumbuh bagus, daunnya lebar-lebar bak tikar yang sedang dihampar di tengah tegal mereka. Kembali ke aktivitas harmoni semula untuk saling gotong royong, kompak memetik daun tembakau. Dan biasanya ketika sudah hendak memanen tembakau ada minuman khas yang diracik oleh orang Madura sendiri, yaitu lembur (air santan kental dikasih gula merah dan jagung bakar).
Ternyata tidak salah kalau ribut soal tanaman tembakau memang harus dilakukan oleh orang Madura sebagai perjuangan untuk bisa hidup mewah. Hampir menjadi agenda wajib yang tak bisa dihapus dari sosok pecinta tanaman tembakau di Madura.