Sebagai pelanggan awal Mie Gacoan Jogja, saya masih ingat betul pengalaman datang di acara pembukaannya yang dihelat di daerah Colombo, Sleman, DIY. Saat itu, saya masih kebagian harga promo yang Rp5 ribu itu.
Level pedas Mie Gacoan waktu itu juga sudah ada. Kalau tidak salah, dari level satu sampai empat. Waktu itu, antrian di acara pembukaan cukup panjang. Untungnya masih kebagian tempat duduk di lantai dua.
Kesan pertama makan Mie Gacoan di Jogja terbilang menyenangkan. Terutama dari sisi harga yang sangat bersahabat buat anak kos. Selain itu, vibe yang terasa dari euforia awal buka betul-betul tak terlupakan. Gimana ya. Sebagai penggemar mie, semua unsur yang bikin saya senang ada semua.
Namun, sayangnya, seiring waktu, saya jadi makin malas makan di tempat. Alasannya, apa lagi kalau bukan soal antrian. Oleh sebab itu, saya jadi lebih sering pesan lewat ojek online. Soal rasa, sih, menyesuaikan sama lidah masing-masing. Kalau buat saya, masih bisa dimakan, lah.
Pertumbuhan Mie Gacoan Jogja sendiri sangat pesat. Di Jogja saja sudah ada empat, yaitu di Kota Baru, Colombo, Godean, dan Taman Siswa. Sejauh yang saya lihat, semua outlet Mie Gacoan selalu penuh. Luar biasa.
Untuk cabang di luar Jogja, hampir semua kota besar sudah mereka jangkau. Salah satunya yang pernah saya cicipi adalah Mie Gacoan Cirebon.
Ada beberapa perbedaan antara Mie Gacoan Jogja dan Cirebon, salah satunya soal rasa. Untuk perbedaan lainnya sudah saya catat.
Tempat lebih luas
Untuk urusan tempat, Mie Gacoan Cirebon lebih luas dibandingkan Mie Gacoan Jogja cabang Colombo maupun Kota Baru. Namun, yang kurang nyaman di Mie Gacoan Cirebon adalah tempat parkirnya yang menjorok ke dalam.
Posisi tempat parkirnya dekat dengan area makan outdoor. Jadi, kalau makan di luar, beberapa orang mungkin akan merasa terganggu. Takutnya, kalau ada kendaraan yang knalpotnya menyemburkan asap. Jadi nggak selera, kan. Sementara itu, di Mie Gacoan Jogja, semua tempat parkir ada di depan.
Antrian lebih panjang
Kayaknya, hukum makan di Mie Gacoan Jogja atau tempat mana saja adalah sabar mengantre. Nah, buat saya sendiri, antrean Mie Gacoan Cirebon terasa lebih panjang dibandingkan Jogja.
Bedanya, kalau di Jogja, antrean panjang di depan outlet dipenuhi sama driver ojek online. Sementara itu, di Cirebon, didominasi oleh mereka yang makan di tempat.
Lagi-lagi, mereka yang makan di area outdoor mungkin akan dibuat kesal. Pasalnya, antrian di Mie Gacoan Cirebon itu mengular masuk ke dalam rute parkir. Otomatis, antrean akan melewati area makan outdoor. Buat sebagian orang, makan sambil diliatin orang itu bikin nggak nyaman. Selain itu, antreannya menutupi akses keluar buat orang yang sudah selesai makan.
Rasa yang terasa berbeda
Sudah dua kali saya makan di Mie Gacoan Cirebon. Saya pesan dua menu yang berbeda. Yang pertama, saya pesan Mie Iblis Level 2. Waktu makan di Jogja, saya sering makan menu itu dan pedas manisnya cocok di lidah saya.
Nah, waktu di Cirebon, saya pesan menu yang sama. Namun sayang, nggak sesuai ekspektasi.
Mohon maaf sebelumnya, ya. Ini bukannya mau meledek atau ngata-ngatain cabang Cirebon. Ini cuma preferensi pribadi saja dan mungkin berbeda dengan preferensi lidah orang lain.
Jadi, di lidah saya, Mie Iblis di Mie Gacoan Jogja lebih enak dibandingkan Mie Gacoan Cirebon. Oleh sebab itu, di kunjungan kedua (namanya sudah jatuh hati, jadi tetap balik meski agak kecewa), saya pesan menu Mie Setan, mie yang dibuat tanpa kecap dan terasa lebih gurih.
Yang saya dapati, Mie Setan di Cirebon lebih berminyak kalah dibandingkan yang di Jogja. Selama menikmati Mie Gacoan Jogja, saya rasa bumbu, cabai, dan minyaknya itu pas dan garing menyerap. Tapi, kalau yang saya rasa di Cirebon ini minyaknya seperti kelebihan sedikit.
Warna gorengan pangsitnya juga berbeda. Kalau di Jogja, warnanya kuning cantik gitu. Kalau di Mie Gacoan Cirebon lebih ke golden brown. Meski masih sama-sama enak.
Untuk menu dimsum dan Siomay, di Mie Gacoan Cirebon, menurut saya agak kurang matang waktu pertama saya datang. Namun untuk udang keju dan lumpia udang rasanya mirip dengan yang di Jogja. Soal minuman, rasanya masih sama. Jadi benar ya, kalau beda tangan yang masak, juga beda rasa.
Jadi, kamu lebih suka yang mana?
Penulis: Nurul Fauziyah
Editor: Yamadipati Seno