Restoran yang Mengharuskan Pengunjungnya Masak Sendiri Memang Nggak Cocok buat Kaum Mendang-Mending Kayak Saya

Restoran yang Mengharuskan Pengunjungnya Masak Sendiri Memang Nggak Cocok buat Kaum Mendang-Mending Kayak Saya

Restoran yang Mengharuskan Pengunjungnya Masak Sendiri Memang Nggak Cocok buat Kaum Mendang-Mending Kayak Saya (Unsplash.com)

Beberapa waktu lalu, atasan saya mengajak saya makan di salah satu restoran yang mengharuskan pengunjungnya untuk memasak makanan yang akan dikonsumsi secara mandiri. Saat itu, saya memang ditraktir, tapi saya misuh-misuh dalam hati. Alasannya? Masa sudah bayar mahal-mahal, harus tetap masak sendiri?

“Mending makan di warteg nggak, sih? Tinggal duduk terus makan. Nggak usah repot-repot merebus sayuran atau memanggang daging sapi yang bahkan kita sendiri nggak tahu itu udah matang atau belum,” gerutu saya dalam hati.

Bagi yang belum paham, restoran yang saya maksud ini memiliki sistem di mana para pengunjung disuruh memilih sejumlah bahan makanan mentah yang nantinya akan dimasak sendiri di atas meja. Setelah matang, pengunjung baru bisa mengonsumsi makanan tersebut. Nggak usah lah saya sebutkan nama restorannya, tapi kalau kalian sering keluar masuk mal di Jakarta, saya yakin kalian tahu restoran sejenis yang saya maksudkan ini.

Atasan saya bahkan bercerita, restoran kayak gini dipilih banyak karyawan yang bekerja di gedung perkantoran di Jakarta sebagai tempat makan malam selepas kerja. Menurut mereka, konsep tempat makan kayak gini sederhana; kita tinggal masak dikit-dikit, makan, terus pulang, deh. Hadeh, sederhana dari mananya, sih?

Kaum mendang-mending kayak saya lebih memilih makan di warteg atau warung makan

Saya yakin, kebanyakan kaum mendang-mending kayak saya pasti lebih memilih makan di restoran yang pengunjungnya tinggal makan daripada makan di restoran yang mengharuskan pengunjungnya masak sendiri. Sudah capek-capek kerja seharian, masa kudu repot masak sendiri sebelum makan? Saya nggak paham deh pola pikir orang-orang yang rela menghabiskan uangnya untuk makan di restoran yang mengharuskan mereka masak sendiri alih-alih dimasakin orang lain.

Btw, waktu saya makan bareng atasan saya, uang yang harus dikeluarkan per orang sekitar Rp200 ribuan belum termasuk pajak. Uang segitu untuk makan sendiri dan masak sendiri? Kalau saya sih mending skip.

Baca halaman selanjutnya

Kalau dibandingkan dengan makan di warteg…
Pasalnya, kalau dibandingkan dengan makan di warteg atau warung makan di sekitar kita, berbekal uang Rp25 ribuan, kita sudah bisa makan sampai kenyang, kan? Bahkan seandainya pun saya berada di mal, dengan uang Rp75 ribu saya sudah bisa makan enak di gerai HokBen atau KFC! Tinggal pilih makan aja tanpa harus repot masak sendiri.

Buat saya pribadi, uang sebesar Rp200 ribuan untuk sekali makan tuh besar banget, lho, apalagi kalau harus masak sendiri. Uang segitu bisa saya gunakan untuk mentraktir teman saya sepuasnya di warteg atau warung kaki lima. Wqwqwq.

Pergi ke restoran yang mengharuskan pengunjung makan sendiri itu sama seperti mempersulit diri sendiri

Selain merasa rugi karena sudah bayar mahal tapi kudu masak sendiri, berkali-kali saya harus bertanya pada atasan saya apakah daging yang saya panggang sendiri di atas meja sudah matang atau belum. Maklum, Gaes, saya kan bukan ahli masak daging. Jadi wajar dong kalau saya cemas dagingnya kurang matang atau malah terlalu matang hingga gosong dan nggak bisa saya konsumsi. Sumpah repot banget, sih!

“Kalau kamu ngeluh makan Rp200 ribuan itu mahal dan repot karena harus masak sendiri, berarti kamu bukan target pasarnya. Yang dicari itu bukan makannya doang, tapi experience-nya”, ujar teman saya.

Ya bener. Buat pekerja kayak saya, mending makan di restoran di mana saya tinggal makan saja. Saya sudah capek bekerja seharian, masa mau makan saja harus masak sendiri di mal, sih? Apa bedanya dengan masak sendiri di rumah kalau gitu? Bukankah lebih baik saya beli daging sendiri lalu masak di rumah kalau kayak gitu ceritanya? Mohon maaf, logika saya sih nggak masuk euy.

Penulis: Raden Muhammad Wisnu
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Suka Duka Bekerja di Restoran.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version