Pasalnya, kalau dibandingkan dengan makan di warteg atau warung makan di sekitar kita, berbekal uang Rp25 ribuan, kita sudah bisa makan sampai kenyang, kan? Bahkan seandainya pun saya berada di mal, dengan uang Rp75 ribu saya sudah bisa makan enak di gerai HokBen atau KFC! Tinggal pilih makan aja tanpa harus repot masak sendiri.
Buat saya pribadi, uang sebesar Rp200 ribuan untuk sekali makan tuh besar banget, lho, apalagi kalau harus masak sendiri. Uang segitu bisa saya gunakan untuk mentraktir teman saya sepuasnya di warteg atau warung kaki lima. Wqwqwq.
Pergi ke restoran yang mengharuskan pengunjung makan sendiri itu sama seperti mempersulit diri sendiri
Selain merasa rugi karena sudah bayar mahal tapi kudu masak sendiri, berkali-kali saya harus bertanya pada atasan saya apakah daging yang saya panggang sendiri di atas meja sudah matang atau belum. Maklum, Gaes, saya kan bukan ahli masak daging. Jadi wajar dong kalau saya cemas dagingnya kurang matang atau malah terlalu matang hingga gosong dan nggak bisa saya konsumsi. Sumpah repot banget, sih!
“Kalau kamu ngeluh makan Rp200 ribuan itu mahal dan repot karena harus masak sendiri, berarti kamu bukan target pasarnya. Yang dicari itu bukan makannya doang, tapi experience-nya”, ujar teman saya.
Ya bener. Buat pekerja kayak saya, mending makan di restoran di mana saya tinggal makan saja. Saya sudah capek bekerja seharian, masa mau makan saja harus masak sendiri di mal, sih? Apa bedanya dengan masak sendiri di rumah kalau gitu? Bukankah lebih baik saya beli daging sendiri lalu masak di rumah kalau kayak gitu ceritanya? Mohon maaf, logika saya sih nggak masuk euy.
Penulis: Raden Muhammad Wisnu
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Suka Duka Bekerja di Restoran.