Resep Boleh Sama, tapi Kalau Beda yang Memasak, Kok Rasanya Lain?

Resep Boleh Sama, tapi Kalau Beda yang Memasak, Kok Rasanya Lain?

Pada break siang hari sewaktu bekerja, saya sering kali menyempatkan diri untuk mampir di warung kopi dekat kantor. Lumayan, untuk menyegarkan kembali pemikiran yang mandek dan mata yang terkadang mulai merem-melek, setelah dari pagi hingga jam 12.00 bekerja. Biasanya, saya memanfaatkan break siang hari setelah waktu dzuhur, antara pukul 12.30-13.00. Tidak banyak yang dilakukan, hanya sekadar ngopi atau nyemil gorengan bersama beberapa teman yang lain sambil mengobrol.

Tidak perlu waktu lama, hanya sekira 20-30 menit untuk membuat mata dan pemikiran kembali segar melalui kopi, gorengan, dan obrolan.

Namun, siang ini pada saat saya berkunjung ke warkop biasa, ada yang tidak biasa dari gorengan yang saya makan. Rasanya sedikit berbeda dengan tekstur yang terlalu garing (kering). Hambar. Bentuk bakwannya pun berbeda, biasanya berbentuk menggumpal agak bulat, kali ini pipih, tipis. Sempat heran, apakah memang ini disengaja karena mau mencoba resep baru atau ada alasan lain?

Karena posisi di warkop hampir sama seperti warkop pada umumnya, menggunakan meja dan kursi panjang. Lalu mas atau mba yang jaga juga langsung terlihat (dengan letak kompor dan stok makanan lainnya di petakan yang sama), tidak perlu waktu yang lama bagi saya untuk menyadari bahwa mas-mas yang biasa jaga sedang tidak di tempat. Hal tersebut memancing rasa penasaran saya dengan menanyakan langsung ke orang yang sedang menjaga warkop.

“Mas, ini mas yang biasanya jaga ke mana, ya?”

“Lagi gantian jaganya, Mas. Yang biasanya lagi pulang kampung ke Ciamis.”

Kemudian, saya beranikan diri untuk bertanya,

“Ini tumben rasa bakwannya beda, mas. Takarannya lagi beda, ya?”

“Wah, maaf sebelumnya, Mas. Saya juga nggak tahu kenapa. Padahal, takaran bumbu sama lainnya udah saya samain kayak biasanya.”

Karena merasa nggak enak hati dan khawatir menyinggung, akhirnya saya yang balik minta maaf ke mas-nya. Beruntung, dia bilang nggak apa-apa, karena beberapa orang sebelum saya banyak juga yang mempertanyakan.

Hal seperti ini biasa terjadi dan sering kali ditemui di café atau warung pinggiran, termasuk warkop. Beda orang yang masak, rasanya pun akan beda. Padahal takaran bumbu dan bahan lainnya sama saja seperti biasanya. Sesuai resep orang yang biasanya memasak.

Selain di warkop yang sudah diceritakan, saya pun pernah mengalami hal serupa di beberapa tempat makan langganan dengan menu sate, nasi goreng, ayam bakar, dan lain sebagainya, yang saya tahu dan kenal betul penjualnya. Ketika penjual atau tukang masak biasa sedang digantikan orang lain, rasa masakannya pasti beda, meski takaran bumbunya sama. Saya yang awalnya sangsi dengan ungkapan “beda tangan (yang masak), akan beda rasa,” menjadi mulai mendapat pencerahan dan percaya.

Entah apakah ini kembali lagi pada bakat seseorang dalam memasak atau tidak. Tapi, masa sih hanya karena beda adukan saja? Padahal, pada intinya kan takaran bumbu sudah sama seperti resep yang diinfokan. Saya pun pernah mengalami hal serupa. Saya mencoba beradu masak nasi goreng dengan istri di rumah dengan takaran bumbu dan bahan yang sama persis. Ajaib, hasil dan rasanya berbeda. Lebih enak nasi goreng buatan istri dibanding saya. Padahal, urutan memasukan bumbu hingga nasi sama. Terus, jadinya yang membedakan itu apa, sih?

Dari hal yang dilakukan tersebut, saya mendapatkan insight, besar kemungkinan hal itu tidak terlepas dari beberapa faktor berikut: pertama, bakat seseorang akan memasak bisa jadi salah satu hal yang memberi pengaruh dari sisi rasa. Feeling dalam memadukan bumbu dan bahan masakan menjadi merata sekaligus meresap tentu tidak bisa diremehkan.

Kedua, pengalaman atau jam terbang dalam memasak yang lebih banyak tentu menjadi pembeda dari sisi kualitas. Mereka yang memiliki intensitas lebih banyak dalam memasak, pasti akan tahu bagaimana caranya meracik serta mengolah bumbu, juga merasakan di setiap adukan. Kira-kira bumbunya sudah pas atau belum. Apakah masih hambar? Atau justru terlalu banyak garam?

Ketiga, intuisi. Yah, nggak bisa dimungkiri juga, masak itu butuh intuisi dan feeling yang kuat, kan. Kalau feelingnya kurang bagus soal memasak, rasa-rasanya nggak perlu dipaksain memasak. Mungkin bisa belajar dengan serius dan berkala, tapi harus konsisten dan tekun, mylov~

BACA JUGA Jangan Tertipu Video Tutorial Masak yang (Katanya) Mudah dan Murah! atau tulisan Seto Wicaksono lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version