Repotnya Mengurus Surat Kehilangan di Surabaya: Syaratnya Wajib Vaksin, tapi Tempat Vaksinnya Tidak Disediakan

syarat wajib vaksin surat kehilangan KTP administrasi ribet mojok

syarat wajib vaksin surat kehilangan KTP administrasi ribet mojok

Syarat wajib vaksin untuk mengurus surat kehilangan di kantor polisi adalah bukti betapa repotnya menjadi warga Indonesia. Sekadar mengurus administrasi, susahnya ngalah-ngalahin tes masuk perguruan tinggi.

Mengurus surat kehilangan lho, harus wajib vaksin. Tempat vaksinnya? Nah ini, saya perlu cerita lengkap.

Jadi begini, saya mau curhat, karena sudah tidak tahan dengan segala bentuk kesemrawutan covid dan vaksin. Pertama-tama, biar saya tuliskan latar belakangnya dulu ya. Jadi saya ini orang Bojonegoro yang bekerja di Surabaya. Oleh karena pemerintah sedang berusaha menekan persebaran virus corona dengan menetapkan PPKM darurat. Sebagai warga negara yang baik, saya berupaya untuk taat.

Saya tidak pulang kampung dan memilih tetap di Surabaya. Keluar dari kos-kosan jika ada hal penting saja, seperti bekerja. Saya masih bekerja bukan karena tidak taat dengan aturan pemerintah yang meminta WFH ya. Perusahaan tempat saya bekerja adalah sektor telekomunikasi, salah satu sektor yang masih diperbolehkan bekerja meskipun pandemi.

Nah, dalam situasi yang susah ke mana-mana karena jalan ditutup sana-sini. Sialnya, saya justru kehilangan ATM. Sebenarnya nggak sial-sial amat sih, ATM saja kok yang hilang, bukan uangnya. Hehehe. Tapi urusan yang sepele ini, siapa sangka menjadi masalah yang akan membuat saya emosi dengan negara.

Setelah sadar ATM saya hilang, saya langsung menghubungi bank yang bersangkutan. Info dari pihak bank, saya diminta datang ke kantor bank tersebut membawa KTP dan surat kehilangan dari kepolisian.

KTP aman, sudah ada di dompet. Saya hanya perlu membuat surat keterangan kehilangan ATM di kepolisian. Sederhana sekali bukan. Tapi, di Indonesia ini, masalah tersebut ternyata menjadi rumit sekali. Setibanya di kantor polisi, saya diminta membawa bukti sudah divaksin. Sementara saya belum dapat jatah vaksinasi.

Drama eyel-eyelan pun dimulai. Kejadian ini nyata, saya lakukan reka ulang adegannya ya. Jadi Pak Polisi bilang, jika tidak bisa menunjukkan surat sudah divaksin, saya tidak bisa mengurus surat kehilangan. Awalnya saya sabar, mengatakan dengan suara selembut mungkin, kalau saya belum bisa menunjukkan bukti vaksin karena saya kesulitan melakukan vaksin di Surabaya. Apakah kepolisian ada solusi?

Ini serius, Rek, saya bukan seorang covidiot. Saya memang sudah berusaha daftar online di beberapa tempat yang menyediakan layanan vaksin, tapi belum berhasil karena selalu penuh. Saya juga berusaha datang ke acara vaksin massal yang dilakukan oleh Pemkot Surabaya di Gelora 10 November, tapi gagal juga karena keburu dihentikan Pak Walikota.

Entah sial atau pada dasarnya negara ini memang tak becus memberi vaksin kepada rakyatnya. Acara vaksin massal yang notabene masalah teknis itu, bisa-bisanya menimbulkan keributan dan sempat dihentikan pada hari Sabtu 10 Juli, kebetulan hari di mana seharusnya saya melakukan vaksin.

Tiba-tiba Pak Wali Kota Surabaya datang untuk sidak dan mendapati banyak warga di luar Surabaya ikut acara vaksin massal tersebut dengan membawa surat keterangan kerja palsu. Maksudnya begini, ada perusahaan yang di Disnaker terdaftar memiliki jumlah karyawan lima puluh orang, tapi mengirimkan karyawan untuk vaksin lebih dari lima puluh orang. Pak Wali Kota geram, merasa dicurangi, ujung-ujungnya dihentikan.

Yang namanya gratis, seharusnya tidak masalah sih, asalkan daftar dengan KTP Indonesia. Tapi yaa, positif thinking saja, Pak Wali Kota ingin mendahulukan warganya. Beliau mungkin terlalu cinta dengan warga Surabaya. Saya yang orang Bojonegoro bisa apa. Balik kiri, bubar barisan, gagal vaksin lagi. Meskipun waktu itu saya sudah mengantongi syarat ikut vaksin di Surabaya, yaitu KTP, surat keterangan bekerja, dan surat domisili dari RT/RW setempat.

Saran saja nih ya, buat Pak Wali Kota Surabaya dan semua pejabat di negeri ini yang bertanggung jawab atas terlaksananya program vaksin gratis, terutama di kota-kota besar yang jumlah penduduknya terbilang banyak. Sebaiknya bekerjasama dengan RT/RW setempat dan melakukan vaksin di setiap kelurahan saja.

Jujur nih ya, program vaksin massal seperti yang dilakukan di Surabaya itu bahaya sekali loh, karena terjadi kerumunan dan tidak ada physical distancing juga. Tujuannya ingin sehat, tapi justru berpotensi menimbulkan cluster baru persebaran corona.

Alih-alih marah karena terlalu banyak orang di stadion yang berkerumun. Sebaiknya Pak Wali Kota introspeksi diri deh, barangkali memang yang salah itu jajarannya (pihak penyelenggara), bukan warganya. Apa iya, tidak dipikirkan jika kapasitas stadion Gelora 10 November itu hanya bisa menampung 35.000 orang. Sementara warga Surabaya itu 2.970.730 jiwa. Terus berharap tidak over capacity dan tidak terjadi kerumunan. Kok konyol sekali sih, duuuh.

Harusnya kan dibuka pendaftaran secara online, diberi nomor antrean, dan dibatasi pengunjungnya. Atau lebih mantap lagi, buat kegiatan di masing-masing kelurahan saja. Tenaga kesehatan yang katanya Pak Walikota disiapkan sejumlah seribu orang itu dibagi ke 154 kelurahan yang ada di Surabaya. Daripada dikumpulkan dalam satu titik di stadion, kita seperti nonton pertandingan adu kekebalan tubuh melawan virus corona loh pak. Ngeri banget.

Nah kan jadi panjang, kembali ke Pak Polisi. Semua kesusahan yang saya alami untuk mendapatkan vaksin tersebut sudah saya ceritakan sedetail mungkin. Ehhh Pak Polisinya masih ngotot, katanya tempat vaksin di Surabaya banyak, saya saja yang kurang berusaha. Duuuh, ingin rasanya aku pisuhi.

Ya sudah, karena Pak Polisi bilang banyak tempat vaksin di Surabaya yang bisa saya datangi, saya akhirnya bertanya, di mana saja tempatnya, biar saya bisa langsung ke sana dan divaksin secepatnya. Tapi, polisinya hanya jawab, pokoknya banyak. Ya Allah, Tuhan semesta alam. Itu jawaban macam apa? Emosi aku, Rek, gini-gini banget pemerintah kalau buat aturan, asal dibuat tanpa ada solusi. Kasih syarat wajib vaksin, tapi tempat vaksinnya nggak ada. Tuluuung.

Kalau kepolisian ingin membantu mensukseskan program vaksin, jangan hanya meminta syarat wajib vaksin. Mbok ya disediakan juga tempat vaksinnya, atau minimal Pak Polisinya tahu tempat mana saja yang bisa didatangi warga yang bapak jegal keperluannya dengan syarat harus sudah divaksin itu. Solutif gitu loh, Pak.

Logikanya kan, kalau berani ngasih syarat wajib vaksin, harusnya tempat vaksinnya sudah ada dan banyak.

Oleh karena melihat saya menahan emosi, polisinya menyarankan saya untuk pulang saja ke Bojonegoro dan melakukan vaksin di sana. Hendeeeh, katanya PPKM darurat, tidak boleh bepergian antar kota antar provinsi, makanya jalurnya ditutup dan dibatasi. Lah kok saya disuruh pulang sih. Bingung ya Allah.

Makin bingung lagi, saat bapaknya bercerita jika kawannya sering pulang pergi Surabaya-Lamongan tanpa ada hambatan di jalan. Laaah, ini gimana sih. Rakyat dicegat sana-sini, mobilitasnya dibatasi, lah kok polisinya malah riwa-riwi. Hmmm.

Ini baru soal mengurus surat kehilangan ATM loh ya. Bagaimana ceritanya jika mengurus KTP hilang. Syarat membuat KTP harus divaksin dulu. Sementara syarat mendapatkan vaksin adalah membawa KTP. Kan mbulet.

Sudahlah, sekian dulu curhatan saya, terimakasih sudah sedia membaca. Semoga semuanya sehat selalu. Ingat ucapan Presiden Jancuker, Sujiwo Tejo. Sehat di negara yang sedang sehat, semua orang bisa, sehat di negara yang sedang sakit, ini baru tantangan.

BACA JUGA Mencoba Memahami Warga Madura yang Menolak Swab Gratis dan artikel Tiara Uci lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version