Refleksi Hari Lahir Pancasila: Merawat Kebhinnekaan

Refleksi Hari Lahir Pancasila: Merawat Kebhinnekaan

Refleksi Hari Lahir Pancasila: Merawat Kebhinnekaan

Akhir-akhir ini telah muncul dalam tatanan kehidupan bangsa Indonesia adalah hadirnya paham radikal. Dengan hadirnya paham ini kebhinekaan bangsa Indonesia terasa telah dicabik-cabik. Paham radikalisme memberikan nuansa hidup penuh dengan ketakutan, kegelisahan akan hilangnya rasa damai. Pada titik ini, Indonesia butuh refleksi tentang kehidupan berbangsa dan bernegara yang sejak 17 Agustus1945 telah memproklamirkan diri sebagai negara yang merdeka dan terbebaskan dari penjajahan.

Rupanya dengan kemajuan teknologi dan peradaban dunia yang kian berkembang, bangsa ini sedang menghadapi suatu keadaan pasca kolonial yakni penjajahan dengan mempengaruhi psikologi anak bangsa. Pengaruh psikologi yang diterapkan memang tepat sasaran yakni sistem kerja paham radikal ini telah merasuki pola pikir dan perilaku manusia bangsa ini sehingga hilang kendali dari tatanan kehidupan negara ini.

Bangsa Indonesia sesungguhnya berada pada suatu titik balik untuk melihat kembali apa yang selama ini terjadi. Salah satu titik lemah yang perlu diperhatikan bangsa ini adalah sistem pendidikan bangsa ini yang tidak lagi memperhatikan moral dan etika sebagai suatu ilmu yang perlu diajarkan di sekolah dan diperguruan tinggi—melainkan moral dan etika di pandang sebatas pengetahuan semata. Moral dan etika bangsa yang terlupakan sejak reformasi sesungguhnya telah memberikan dampak—di mana generasi bangsa seolah-olah lupa dan tidak tahu akan moral dan etika bangsa yang menjunjung tinggi kebinekaan. Kebhinnekaan atau keberagamana bangsa ini sesungguhnya perlu dijaga dan dirawat sehingga mejadi kekuatan bangsa ini saat berhadapan dengan bangsa lain.

Dengan dihilangkannya pendidikan moral dan etika generasi bangsa ini menjadi tidak bermoral dan tidak beradab. Ketika sikap generasi muda tidak taat moral dan etika, maka paham radikalisme dengan mudah mempengaruhi dan merasuk keberagaman bangsa ini. Hal ini sesungguhnya menjadi tanggung jawab semuah pihak untuk mengembalikan suasana kehidupan bangsa menjadi lebih aman serta keluar dan terhindar dari paham radikalisme yang terus merasuki tatananan kehidupan bangsa ini.

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang plural—dalam berbagai aspek suku, agama, dan ras—untuk itu dibutuhkan suatu sikap untuk menjaga dan merawat kebhinnekaan ini. Bukannya mejadi sekat dan pemicu pertikaian seperti yang terjadi selama ini.

Kehidupan demokrasi yang diimpikan dan diciptakan oleh pendahulu bangsa ini terkoyak hanya karena paham radikalisme yang merongrong keutuhan bangsa yang terpelihara dalam kehidupan demokrasi yang menjunjung tinggi sikap tolerasi ini. Paham radikalisme telah merasuki generasi bangsa ini dengan sikap intolerasi sehingga tercipta relasi sosial yang kurang harmonis antar sesama—kebersamaan sebagai warga negara menjadi renggang—dengan demikian tidak terciptanya kehidupan yang nyaman bagi masyarakat. Untuk itu butuh kerja sama semua pihak untuk menciptakan kedamaian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Belakangan ini energi bangsa terkuras habis untuk menyatukan dan menguatkan semangat kebhinnekaan Indonesia. Semangat persatuan sebagai negara yang hadir dengan kebhinnekaan yang dari hari ke hari kian pudar. Pudarnya khazanah kebhinnekaan bangsa merupakan bagian dari kehidupan bangsa yang terlupakan.

Sesungguhnya bangsa Indonesia tidak berpegang pada ajaran suatu agama, melainkan berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi dan menghargai kebhinnekaan bangsa. Dengan hadirnya paham radikalisme yang merongrong keutuhan bangsa menjadikan bangsa terpecah. Untuk itu sebagai warga negara yang baik sepatutnya saling menghargai, saling menghormati antar hak dan kewajiban yang ada demi menjaga keutuhan negara.

Sebagai negara dengan pluralitas agama, masyarakat Indonesia pun perlu menjalin hubungan yang harmonis antarumat beda agama. Pluralitas religius adalah kekayaan bangsa Indonesia tetapi sekaligus menjadi lahan subur pertikaian. Pluralitas religius menuntut sikap terbuka dan kerelaan berdialog antar umat beragama demi menghindari dan mewaspadai terjadinya intoleransi. Butuh kesadaran baru untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa ini. Dari satu sisi perbedaan-perbedaan yang ada dilihat sebagai kekayaan bangsa. Hal ini mendorong setiap penganut untuk saling menghargai, saling memperkaya nilai-nilai keagamaan masing-masing.

Perbedaan tidak boleh dilihat sebagai pertentangan tetapi dipandang sebagai pendorong, penguat dan pemurni. Penganut agama yang berbeda-beda harus mampu hidup bersama dalam perbedaan. Sebab dalam perbedaan itu kita menyadari bahwa kita adalah makluk sosial yang saling melengkapi antara satu dengan yang lain. Kita harus sadar dengan belajar—bahkan dalam sejarah perbedaan agama menjadi pemicu pertengakran atau perpecahan. Sehingga sudah sepatutnya kita tidak mengulang hal tersebut, bukan?

Mari kita menjaga perbedaan karena dengan perbedaan yang ada kita menyadari bahwa kita adalah makluk yang unik. Walau kita berbeda namun kita adalah satu dalam kebhinnekaan Indonesia.

Selamat hari kelahiran Pancasila.

Exit mobile version