Sebagai orang Jawa, saya biasa menggunakan bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari, entah dalam percakapan formal maupun non-formal. Di lingkungan tempat tinggal saya, Jember bagian selatan, bahasa Jawa jadi yang paling dominan digunakan mengingat mayoritas masyarakatnya memang keturunan Jawa Mataraman, mulai dari Ponorogo, Kediri, Madiun, dan sekitarnya.
Tentu karena penggunaan bahasa Jawa yang masif ini, beberapa orang tua masih menggunakan istilah-istilah bahasa Jawa yang kadang nggak saya pahami. Misalnya saat menyebut nama-nama anak hewan, nama-nama bunga, nama suara hewan, jarwa dasa, hingga yang paling terakhir tentang penyebutan istilah jumlah anak.
Saya awalnya mbatin, memangnya ada ya penyebutan jumlah anak dalam bahasa Jawa? Setelah tanya ke mbah kakung, akhirnya saya menemukan istilah-istilah tersebut. Serta sesekali kembali ongkreh-ongkreh (menggeledahi) perpustakaan mini di rumah saya untuk mencari buku andalan belajar bahasa Jawa, yakni Pepak Bahasa Jawi. Setelah punya cukup informasi dari mbah kakung dan didukung buku legend tersebut, berikut saya bagikan istilah penyebutan jumlah anak dalam bahasa Jawa.
#1 Satu anak
Jika dalam bahasa Indonesia anak satu-satunya disebut sebagai anak tunggal atau anak semata wayang, dalam bahasa Jawa setidaknya ada dua penyebutan untuk anak tunggal, yakni ontang-anting dan unting-unting. Anak tunggal laki-laki disebut ontang-anting, sementara unting-unting untuk menyebut anak tunggal perempuan.
Jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia, ontang-anting ibarat sehelai daun yang tersapu angin ke kanan dan ke kiri. Maksudnya, dalam sehelai daun itu nggak ada daun lain yang menghalangi atau yang ikut tersapu angin juga. Unting-unting kurang lebih memiliki arti serupa.
#2 Dua anak
Kalau anak tunggal hanya ada dua penyebutan, maka keluarga yang punya dua orang anak memiliki empat cara penyebutan.
Pertama, uger-uger lawang. Arti uger-uger sendiri adalah sebuah patokan, sementara lawang berarti pintu. Jadi, uger-uger lawang merupakan dua patokan yang berfungsi mengikat pintu. Penyebutan ini digunakan untuk keluarga yang memiliki dua orang anak laki-laki.
Kedua, kembang sepasang. Sesuai namanya, kembang mencerminkan keindahan, kelembutan, dan keharuman. Jadi, kembang sepasang ditujukan untuk dua orang anak perempuan.
Ketiga, kendhana-kendhini dan kendhini-kendhana. Kendhana merujuk pada anak laki-laki, sedangkan kendhini untuk anak perempuan. Jika dari dua orang anak tersebut lahir seorang anak laki-laki dulu, yang digunakan kendhana-kendhini. Sebaliknya, jika yang lahir anak perempuan dulu, penyebutannya jadi kendhini-kendhana.
#3 Tiga anak
Sama seperti sebelumnya, penyebutan istilah jumlah tiga anak juga terdapat empat cara. Jika sebuah keluarga punya tiga anak dan semuanya laki-laki, maka disebut cukit dulit. Jika ketiganya perempuan, maka memakai gotong mayit. Kemudian, jika dari ketiga itu ada anak perempuan di tengah, disebut sendhang kapit pancuran (telaga yang diapit dua air mancur). Kebalikannya, jika ada anak laki-laki di tengah, penyebutannya jadi pancuran kapit sendhang (air mancur yang diapit dua telaga). Untuk filosofinya? Hmmm, coba terka sendiri, deh! Hehehe.
#4 Empat anak
Sebenarnya, saya pribadi jarang menemukan keluarga Jawa yang memiliki empat orang anak. Biasanya sih tiga atau lima sekalian, soalnya kalau empat nanggung. Meski begitu, istilah untuk menyebut empat orang anak ada juga, lho.
Pertama, saka panggung (tiang penyangga), yakni istilah yang digunakan untuk menyebut empat anak yang semuanya laki-laki. Lantaran keempat anak laki-laki ini diibaratkan seperti tiang penyangga. Kedua, sarimpi, yakni keempat anak yang semuanya perempuan. Mengapa dinamakan sarimpi? Menurut mbah saya, keempat anak perempuan ini layaknya seorang penari yang ada di tari Serimpi; lemah lembut, cantik, dan gemulai.
#5 Lima anak
Sebagaimana istilah-istilah sebelumnya, ada keluarga yang memiliki anak laki-laki semua, ada yang perempuan semua, atau campur. Nah, dalam istilah penyebutan lima anak, kalau laki-laki semua sudah jelas disebut pandhawa. Bisa diartikan lah ya sama seperti kisah Pandhawa vs Kurawa itu. Namun, jika lima orang anaknya perempuan semua, maka penyebutannya pancagati. Artinya kira-kira sama dengan Pandhawa, tapi ini versi perempuan.
Kalau untuk campuran gimana? Biasanya kalau proporsi anaknya 2:3 dan 3:2, penyebutannya seperti biasa, ”lima orang anak”. Tapi, kalau perbandingannya 1:4 atau 4:1, baru ada istilahnya. Jika dari kelima anaknya ada satu yang berbeda jenis kelamin, misalnya empat lainnya adalah perempuan dengan satu laki-laki, maka penyebutannya ipil-ipil. Sebaliknya, apabila empat lainnya laki-laki dan ada satu perempuan, maka disebut padangan.
Sekarang sudah tahu kan kalau ada istilah-istilah tersebut dalam bahasa Jawa? Kira-kira kalau dalam bahasa daerah kalian istilah-istilah tersebut ada juga nggak, Gaes? Kasih tahu, dong.
Penulis: Adhitiya Prasta Pratama
Editor: Intan Ekapratiwi