Pyramid Cafe Bantul gagal dalam melihat tren di muda-mudi Jogja. Tidak semua doyan hiburan eksklusif ala klub malam. Terutama warga Bantul yang lebih menyukai hiburan malam yang sifatnya lebih “merakyat.”
Apa yang terlintas di benak Anda ketika bicara tentang pemuda Bantul? Apakah NDX AKA, Ndarboy Genk, dan musik koplo? Atau RX King, jathilan, dan dangdutan? Anda tidak salah, karena Bantul memang tanah suci bagi gondes. Segala hal yang identik dengan stigma “jawir” dan “ndeso” ada di Bantul.
Tapi ada yang mencoba mengubah bumi Sultan Agung ini menjadi lebih kekinian. Sisa upaya yang runtuh ini kini menjadi prasasti bahwa di Bantul pernah ada klub malam bernama Pyramid Cafe Bantul.
Klub malam yang unik ini kini telah beralih fungsi. Tapi tetap menggugah ingatan tentang Bantul yang sebenarnya. Bantul tidak butuh klub malam! Bantul butuh hiburan komunal yang merakyat dan inklusif, dan akan terus lestari bersama geberan RX King dan ontran-ontran Jathilan.
Daftar Isi
Konsep unik Pyramid Cafe ala Luxor
Tidak sulit untuk menemukan bekas Pyramid Cafe Bantul. Lokasinya ada di Jalan Parangtritis. Tepatnya di utara kampus ISI Jogja. Hari ini, klub malam ini beralih fungsi menjadi museum History of Java. Tapi mau menjadi apa pun, tidak akan ada yang lupa dengan Pyramid Cafe, karena kafe satu ini memang punya konsep unik.
Namanya saja Pyramid, sudah pasti bentuknya piramida. Ketika masih jadi kafe, ornamental di pintu masuk juga kental dengan nuansa Mesir. Ada patung unta dan pohon palem yang menambah kesan eksotis. Keunikan bentuk bangunan Pyramid Cafe ini bukan hal baru, karena kafe ini sedikit banyak meniru konsep Luxor Hotel & Casino di Las Vegas.
Sayang sekali, Pyramid Cafe hanya meniru konsep Luxor. Tapi bukan meniru kesuksesannya. Setelah dibuka pada 2016, Pyramid Cafe terus berusaha eksis dengan bergonta-ganti konsep. Hingga akhirnya harus menyerah dan menjadi museum History of Java pada 2018.
Pyramid Cafe yang terasing di Bantul
Ada banyak kemungkinan penyebab bangkrutnya Pyramid Cafe Bantul. Salah satunya gosip manajerial. Tapi yang paling disoroti adalah perkara sepi pengunjung. Pyramid Cafe terus mengalami penurunan pengunjung dari awal buka. Sehingga klub malam ini harus berganti konsep agar tetap diminati. Bahkan sempat digunakan sebagai venue Festival Kesenian Yogyakarta (FKY).
Target market dari Pyramid Cafe tentu saja muda-mudi yang doyan dugem. Nah, di mana para muda-mudi itu berada? Tentu di sekitar Jalan Magelang. Sudah sejak lama jalan provinsi ini menjadi pusat dunia malam. Sebab, ada banyak alternatif klub malam di sepanjang jalan yang berada di sisi utara Kota Jogja tersebut. Sedangkan Pyramid Cafe berada di sisi selatan Kota Jogja. Klub malam ini terpisah dari lingkaran dugem daerah istimewa.
Bagi penikmat dugem, butuh effort dan niat yang turah-turah untuk sampai ke Pyramid Cafe. Belum lagi akses penunjang seperti minimarket 24 jam dan lesehan masih langka di Jalan Parangtritis. Hanya keunikan bangunan saja yang ditawarkan. Tapi kalau sudah mletre, keunikan bangunan juga tidak akan dilihat kan?
Pyramid Cafe gagal menarik pasar penikmat dugem di sisi utara Kota Jogja. Tapi bagaimana dengan sisi selatan Jogja? Apakah mereka tidak mau menikmati dugem sampai diangkut kursi roda?
Baca halaman selanjutnya
RX King dan jathilan lebih menarik daripada dugem
Pyramid Cafe mungkin tidak merasakan gempuran dari klub malam utara Jogja. Toh jarak mereka jauh dan persaingannya tidak seketat itu. Tapi pesaing utama dari Pyramid Cafe adalah jathilan!
Sebenarnya tidak hanya jathilan sih. Dangdutan, koplonan, bahkan RX King menjadi musuh utama si klub malam.
Menurut saya, Pyramid Cafe gagal dalam melihat tren di muda-mudi Jogja. Tidak semua doyan hiburan eksklusif ala klub malam. Terutama warga Bantul yang lebih menyukai hiburan malam yang sifatnya lebih “merakyat.” Tidak harus berbau budaya Jawa, asalkan inklusif. Toh yang suka dugem juga akan pergi ke utara Jogja. Sirkel pertemanan mereka juga ada di sana kan.
Hiburan itu tidak ditemukan di lantai dansa klub malam. Tapi di tengah lapangan desa yang terbuka. Tidak juga ditemukan di turntable, tapi di sela-sela electone. “Put your hands up” tidak akan lebih menarik daripada senggakan penabuh kendang. Musik EDM masih kalah enak dibandingkan Hiphop ala NDX AKA. Mobil LCGC dengan subwoofer kalah sangar dengan RX King pakai karbu Ninja. Dan botol beling minuman keras kalah hangat dengan jeriken berisi ciu.
Ini bukan perkara ndeso, tapi kultural
Apakah Bantul se-ndeso itu? Ya memang demikian. Tapi ini yang membuat Bantul menjadi Bantul yang sejati. Model hiburan rakyat yang inklusif lebih dicintai daripada kekinian yang dipaksakan. Terlepas dari stigma negatif gondhes, muda-mudi Bantul tidak butuh hiburan eksklusif (dan mahal) ala klub malam. Buktinya, Hari ini jathilan tetap ramai oleh anak muda yang distigma “jawir” dan “ndeso” itu.
Tidak perlu ada pemaksaan budaya. Biarkan Bantul tetap menggeliat dengan caranya. Rungkat dijogeti, ambyar disenggaki. Biarlah bekas Pyramid Cafe jadi pengingat untuk semua investor. Percuma kalian iming-imingi pemuda Bantul untuk berpesta ala klub malam. RX King dan jathilan sudah cukup menghibur mereka.
Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Rizky Prasetya