Siapa yang tidak mengenal Kota Purwokerto? Dulu, banyak orang mengenalnya sebagai kota keripik yang berlokasi di lereng Gunung Slamet. Jangan meragukan keindahan alam Purwokerto. Dari ujung barat ke timur, atau dari sisi utara yang “dijaga” dengan gagah oleh Gunung Slamet, ke sisi selatan yang dihiasi aliran sungai Serayu.
Bagi para pendaki gunung, kiranya Gunung Slamet pasti sudah menjadi salah satu “jujugan” utama. Gunung setinggi kurang lebih 3.416 meter dari permukaan air laut, menawarkan keindahan flora dan juga fauna yang menawan. Para pendaki senior tentu sudah tidak asing lagi dengan keberadaan bunga edelweis yang indah di sepanjang pendakian.
Menengok ke sisi selatan Purwokerto, kamu akan menemukan aliran Sungai Serayu yang bersumber dari mata air di wilayah Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Di sana berdiri juga Bendung Gerak Serayu. Dulu, adalah Presiden kedua RI, Bapak H.M. Soeharto yang meresmikannya.
Dari sisi barat hingga ke timur, “benteng pegunungan” yang melingkari Purwokerto sangat memanjakan mata. Bentang pegunungan ini melintasi Kabupaten Brebes di barat hingga Kabupaten Kebumen di sisi timur.
Akan tetapi, dari segala keindahan dan pesona di atas, kiranya ada hal yang berubah dan memang harus berubah. Meskipun, pada akhirnya, menghilangkan ciri khas Purwokerto sebagai Kota Tua yang membuat setiap warganya yang merantau selalu rindu untuk pulang. Termasuk saya.
Daftar Isi
Purwokerto sebagai kota pensiunan
Saya lahir di Jakarta pada tahun 1972. Namun, menginjak usia 1 bulan, saya pindah ke Purwokerto bersama kakek. Sementara itu, orang tua dan adik saya tetap di Jakarta. Namun, keberadaan kakek dan nenek kiranya agak bisa mengganti keberadaan orang tua kandung.
Sejak saya masih kecil, sudah banyak yang mengenal Purwokerto sebagai kota pensiunan. Maklum, hampir setengah dari penduduk saat itu adalah pensiunan, baik PNS sampai TNI.
Banyak orang tua yang bercerita bahwa Purwokerto adalah kota yang nyaman untuk pensiun. Buktinya, di sepanjang jalan tempat rumah saya berada, 70% penduduk adalah warga pensiunan. Saya dan keluarga tinggal di Jalan Mas Cilik (dahulu disebut Gang Mas Cilik. Di sini, mereka hidup tenang, tanpa terburu-buru. Pokoknya hidup santai menikmati hari tua.
Keadaan mulai berubah di awal periode 1990-an ketika saya mulai kuliah di Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed). Saat itu, semakin banyak pendatang dan semakin banyak warga pensiunan yang meninggal. Purwokerto berubah, bukan lagi menjadi kota pensiunan.
Semakin banyak anak muda yang kuliah di Purwokerto. Kota ini memang semakin berkembang. Namun, para warga seakan-akan jadi “tergesa-gesa” tanpa bisa menikmati hidup.
Baca halaman selanjutnya
Kota tua yang eksotis
Sekitar awal periode 1980-an, masih banyak bangunan dan rumah tua peninggalan Belanda. Meski rata-rata sudah berusia di atas 100 tahun, bangunan tua itu masih kokoh berdiri. Rata-rata, bangunan tersebut berdiri di antara tahun 1950-1960.
Salah satu bangunan yang sangat terkenal di Purwokerto adalah Villa Krandji. Rumah peninggalan Belanda ini terletak di tepi selatan Jalan Jenderal Sudirman. Villa Krandji adalah ikon kota, bersama bangunan tua lainnya yang sudah tergerus oleh perkembangan zaman.
Saat ini, ruko memadati sepanjang Jalan Jenderal Sudirman. Padahal, sampai 1997, saya masih ingat, di depan Alun-Alun Kota yang sekarang berdiri sebuah mall, dahulu ada gedung bioskop dengan nama Bioskop Garuda. Bioskop Garuda menjadi satu-satunya gedung bioskop yang memiliki balkon seperti layaknya gedung kesenian di Eropa yang masih tersisa di Jawa Tengah.
Menurut cerita simbah, dulu Bioskop Garuda merupakan gedung kesenian. Gedung ini menjadi pusat berbagai jenis kegiatan seni. Adalah Karesidenan Banyumas, meliputi Kabupaten Banyumas, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Banjarnegara, dan Kabupaten Cilacap yang mengadakan. Selanjutnya, Gedung Kesenian Sutedja di Pasar Manis menggantikan Gedung Garuda sebagai pusat kegiatan budaya. Gedung Sutedja dibangun untuk mengenang dan menghormati tokoh budaya Banyumas pada masa lalu.
Sisa-sisa bangunan peninggalan Belanda
Saat ini, rumah tua peninggalan Belanda yang masih tersisa mungkin hanya yang ada di sepanjang Jalan Ahmad Yani. Selain itu? Mungkin saya yang kurang info, tapi yang jelas, bangunan-bangunan dengan konstruksi bangunan Eropa sudah semakin langka dan sulit ditemukan.
Hanya sedikit yang tersisa di sekitar Sokaraja, di sebuah kecamatan di sebelah timur kota Purwokerto. Sayangnya, bangunan tersebut kurang perawatan. Satu-satunya yang masih agak terawat adalah bangunan bekas pabrik gula Kalibagor, yang sudah berganti fungsi sebagai pabrik garmen.
Kalibagor, dengan cerobong asap yang khas, sudah menyandang status cagar budaya. Makanya, gedung tersebut lebih terawat.
Hilangnya toko penjual lukisan di Sokaraja
Sokaraja di Purwokerto. Siapa yang tak kenal? Selain sebagai pusatnya sroto dan getuk goreng, Sokaraja ini dulu juga terkenal dengan pelukis dan banyaknya toko lukisan karya pelukis lokal. Saya masih sempat menjumpai toko-toko ini pada pertengahan 1990-an. Saat itu, masih ada 8 toko yang menjual lukisan.
Ketika saya melintas di Sokaraja di awal September 2023, hanya tersisa 1 toko yang masih menjual lukisan. Saya tidak tahu berapa sisa jumlah pelukis lokal Sokaraja. Ini adalah kenyataan yang sangat memiriskan hati, mengingat Sokaraja juga terkenal dengan pelukis-pelukisnya yang hasil lukisannya terlihat sangat natural dan indah dipandang mata.
Mungkin, apa yang saya sampaikan terdengar klise. Namun, sebenarnya, dari keberadaan bangunan tua bisa menjadi dasar bagi kita semua untuk menghargai sejarah berdirinya sebuah kota. Sayang, sisi eksotis itu sudah hilang. Membuat Purwokerto tak lagi elok seperti dulu.
Penulis: Santhos Wachjoe P.
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Purwokerto, Tempat Tinggal Terbaik di Jawa Tengah