Sebelum lebih jauh menulis, saya ingin menegaskan bahwa julukan baru untuk Purwokerto itu nggak cocok. Jadi, tahun lalu, muncul istilah “kota 1000 curug”. Nah, saya tidak setuju karena julukan yang lebih cocok adalah “kota 1000 tukang parkir liar”.
Izinkan saya menjelaskannya. Alasan pertama, Purwokerto sebenarnya tidak benar-benar memiliki curug. Letak curug kebanyakan ada di wilayah pinggir. Artinya, sudah masuk kecamatan lain.
Alasan kedua, “kota 1000 tukang parkir liar” lebih cocok karena konyol sekali. Bayangkan saja. Kamu membeli es teh jumbo di sebuah gerai di pinggir jalan seharga Rp2.500. Setelah membeli, kamu harus membayar tukang parkir liar sebesar Rp2.000.
Lebih lanjut, keberadaan tukang parkir luar yang hampir selalu “gaib” ini sudah sangat meresahkan. Sewaktu datang, tidak ada hilal tukang parkir dengan rompi oranye yang khas itu.
Tapi, waktu kamu mau pulang, barulah sosok itu muncul. Mereka akan bergerak sangat cepat untuk memegang bagian belakang jok sambil berpura-pura memundurkan motor. Ngeselin banget, kan?
Baca halaman selanjutnya: Masalah lama yang tak kunjung terselesaikan.
Masalah tarif yang bikin kesal
Kalau kamu memberi Rp1.000, mereka pasti merengut dan memasang tampang galak. Nah, kalau mau ngasih Rp2.000 kok rasanya nggak ikhlas karena kerja mereka hanya memegang dan menarik mundur jok motor. Iya, soal tarif ini memang bikin malas.
Jadi, saya pernah mengambil uang di ATM dekat rumah. Letaknya di kawasan pedesaan Purwokerto dan cukup sepi. Waktu datang, saya lihat keadaan sepi. Eh, saya kaget ketika keluar dari mesin ATM, si bapak dengan rompi oranye tiba-tiba sudah berdiri di samping motor.
Perlu kalian tahu, letak ATM ada di pinggir jalan. Jadi, di sana tidak ada lahan parkir. Saya bisa saja menolak untuk memberikan uang parkir. Tapi, saya langsung malas berdebat karena si bapak memasang tampang galak.
Jadilah saya kasih uang kembalian beli bensin di saku celana saya. Merasa sudah oke walaupun sedikit kesal, saya berniat langsung pulang dan memakai helm. Si bapak protes.
“Kurang ini. Dua ribu, lah,” ucap si bapak. Tentu dengan bahasa ngapak khas Purwokerto.
Saya cuma memberi seribu rupiah karena di mesin ATM itu nggak ada lahan parkir. Dan saya nggak sampai 2 menit di dalam mesin ATM untuk mengambil uang. Rasanya tidak ikhlas membayar tidak pada peruntukannya. Iya, cuma 2 ribu rupiah. Tapi kan ini nggak sah. Itu yang bikin saya kesal.
Tulisan “Parkir Gratis” nggak mempan di Purwokerto
Masalah tukang parkir liar di Purwokerto yang tak kalah menjengkelkan adalah mereka tidak mengindahkan aturan. Misalnya yang terjadi di sebuah minimarket. Pihak manajemen sudah memasang tulisan “Parkir Gratis” dengan font yang besar dan bisa terbaca dengan jelas.
Kamu tahu apa yang terjadi?
Ya, tukang parkir liar sudah prat-prit dan mondar-mandir di depan minimarket itu. Entah pihak minimarket yang sudah lelah menegur atau mereka si tukang parkir yang memang bandel.
Isu menjamurnya tukang parkir di Purwokerto memang sudah terjadi sejak lama. Namun, masih saja bisa bikin orang dari luar daerah kaget. Salah satunya teman saya. Dia pikir Purwokerto itu aman dan damai. Ya seperti konten-konten romantis soal kota ini. Namun, nyatanya, malah semakin menjamur.
Adakah solusi atau penyelesaian dari permasalahan ini? Atau biarlah para tukang parkir liar mencari uang recehan dari orang-orang yang cuma numpang berhenti 2 menit di lahan yang bukan miliknya itu?
Penulis: Ines Noviadzani
Editor: Yamadipati Seno
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
