Purwokerto, kota kecil yang dikenal karena mendoan dan logat Ngapak penduduknya, kini makin sering bikin saya heran tiap keluar rumah. Di jalan yang sama dekat SMA, plang Starbucks menyala. Di tengah kota, muncul gerai Fore dengan interior Instagramable. Eh, di dekatnya lagi baru dibangun Superindo, menantang eksistensi Rita Supermall.
Ada masa ketika saya berpikir, “Wah, kota ini makin maju.” Tapi makin ke sini, saya justru mulai mikir, “Maju buat siapa, ya?”
Soalnya banyak dari gerai kekinian itu datang dengan gegap gempita, bertahan sebentar, lalu… lenyap seperti mantan yang nggak pernah ngabarin pamit.
Contohnya Lawson. Dulu sempat bikin euforia. Tapi sekarang? Gerainya tutup diam-diam. Nggak sempat pamit, tinggal etalase kosong dan kenangan orang-orang yang pernah beli odeng kuah pedas di sana.
Purwokerto: kota FOMO, dompet lokal
Sebenarnya bukan salah franchise-nya. Mereka datang dengan niat baik, yakni memperluas pasar, menyuguhkan gaya hidup urban, dan tentu saja, mencari untung. Tapi yang sering dilupakan adalah satu fakta kecil: ini Purwokerto, bukan Jakarta Selatan.
UMR di sini masih di kisaran dua jutaan. Itu pun banyak pekerja yang dibayar di bawahnya. Jadi kalau tiap minggu ada gerai kopi baru dengan harga kopi Rp35 ribu segelas, jangan heran kalau tiga bulan kemudian pelanggannya tinggal tukang parkir.
Warga Purwokerto itu penasaran, iya. Suka coba-coba, juga iya. Tetapi bukan berarti dompet mereka bisa dibikin kompromi terus-menerus.
Budaya FOMO memang menjalar ke mana-mana. Apalagi sejak internet jadi kebutuhan pokok keempat setelah nasi, kuota, dan Indomie. Lihat teman posting kopi branded, langsung pengin coba. Lihat selebgram nongkrong di tempat berlampu neon, langsung cari lokasi di Google Maps. Tapi setelah sebulan setor dompet buat gaya hidup estetik, banyak yang sadar kalau saldo tinggal seribu, dan hidup ini nggak bisa dibayar pakai aesthetic lighting.
Baca halaman selanjutnya: Antrean panjang, umur pendek…




















