Punya Usaha Kontrakan Ternyata Nggak Seindah yang Dibayangkan, Sering Terpaksa Cosplay Jadi Debt Collector

Punya Usaha Kontrakan Ternyata Nggak Seindah yang Dibayangkan, Sering Terpaksa Cosplay Jadi Debt Collector

Punya Usaha Kontrakan Ternyata Nggak Seindah yang Dibayangkan, Sering Terpaksa Cosplay Jadi Debt Collector (Pixabay.com)

Dulu saya punya bayangan kalau punya usaha kos-kosan atau usaha kontrakan pasti menyenangkan. Sebab, tiap bulan dapet setoran meski nggak ngapa-ngapain. Itu bayangan saya dulu. Dan sekarang, saya merasakan hal tersebut.

Sebetulnya ini usaha kontrakan punya bapak saya. Hanya saja karena blio sakit, alhasil sekarang yang mengurusnya adalah saya. Dan percayalah, punya usaha kontrakan itu nggak semenyenangkan itu. Sebab, ternyata setiap bulannya kita perlu menagih uangnya.

Bagi yang belum tahu, nagih uang kontrakan bukan hal yang mudah. Kalau sedikit dikasih ketegasan, dianggapnya kita ngegas, marah-marah, omon-omon. Tapi kalau tidak ditegasi malah nggak mbayar. Hasyuuu emang.

Dulu saya kira, mereka ini akan datang sendiri. Nyari saya dan kemudian bayar. Tapi ternyata tidak seindah itu. Memang sih, ada yang kayak gitu, tapi jumlahnya nggak banyak. Saya bahkan pernah ada pengalaman dengan bapak-bapak. Sebut saja si Wadaw.

Blio ini jatuh tempo pembayarannya tiap awal bulan. Tapi kalau tidak ditagih, sampai 3 bulan pun tidak ada kabar. Serius. Pas awal-awal bapak saya sakit, kontrakan jadi nggak keurus, dan saya baru tahu kalau si wadaw ini belum bayar sampai 3 bulan. Padahal harusnya tiap bulan saya yang dikabari, bukan saya yang nagih. Vibe-nya jadi kayak nagih utang lho.

Selain itu, ada juga yang ketika ditagih, alih-alih ngasih uang, malah ngasih permintaan maaf. Alasannya juga macam-macam. Ada yang lupa, ada yang uangnya habis buat bayar sekolah anaknya. Ada juga yang belum nemu alasan. Alias, emang nggak menyiapkan uang sejak awal untuk bayar.

Saya juga sering mbatin, kok bisa ada orang yang punya pemikiran kayak gitu? Ibaratnya nih, Anda makan di suatu restoran. Sudah kenyang. Kemudian pas ditagih, malah minta maaf, dan mohon dimaklumi karena uangnya belum ada. Kan aneh? Sebab, kalau mau makan, ya berarti harus punya uang kan? Kalau nggak ada uang, ya nggak usah makan dulu.

Penyewa kabur dari kontrakan

Bapak saya dulu juga ada pengalaman pait. Yakni si penyewa tiba-tiba kabur setelah beberapa bulan nggak bayar. Ia meninggalkan beberapa barang bekas di kontrakan. Mungkin dalam benaknya, biarkan saja kami mengambil barang yang ada di sana sebagai ganti uang sewa.

Masalahnya barang yang ada ini hanya pakaian bekas, sepeda anak-anak, dan lemari yang kondisinya mengenaskan. Apa yang mau diambil? Alih-alih ngambil, yang ada malah perlu tenaga lebih untuk bersih-bersih dan buang semua barang tadi.

Padahal kalau dipikir-pikir nih. Bapak saya ini udah mau berbaik hati lho, memberi keringanan beberapa bulan, nggak langsung ngusir. Eh malah kabur. Edyan emang. Dari sini, saya jadi paham kenapa bapak kosan saya dulu di Jogja cukup galak dan suka marah-marah kalau ada yang telat bayar kosan.

Kami ini pelaku bisnis, bukan penyedia jasa penginapan gratis

Satu hal yang kadang nggak dipahami oleh si penyewa adalah, kami ini pelaku bisnis, bukan penyedia jasa pengungsian gratis. Oleh karena itu, hilangkan semua pemikiran apa nggak kasian sama mereka. Sebab, yang lebih kasian adalah kami.

Saya kasih tahu, keperluan usaha kontrakan tiap bulan tuh macem-macem. Ada yang masih harus bayar listrik. Ada juga yang bayar air. Itu belum keitung pajak bumi dan bangunan lho.

Semua itu memang perlu dibayar. Bayarnya juga pakai uang, bukan keikhlasan. Belum lagi kalau ada hal-hal yang tidak diinginkan, misal ada atap jebol, ganti beberapa perabotan, serta kerusakan lainnya yang harus dilakukan perbaikan.

“Ah, uang segitu aja kok marah-marah? Sudah, ikhlasin aja!”

Eh, mohon maaf, harusnya kebalik. Uang segitu saja kok nggak mau bayar. Sebab, sekali lagi, bisnis kontrakan ini perlu kami lakukan untuk menunjang perekonomian. Nyuruh ikhlas emang gampang, lha wong cuma nyuruh doang.

Tidak semua pemilik usaha itu bergelimang harta

Satu lagi, tidak semua pemilik usaha kontrakan itu duitnya banyak. Ada yang masih susah urusan dompet. Saya salah satunya. Sebab, saya sekarang ini cuma hidup berdua dengan bapak. Dan hanya saya yang bekerja. Mau adu kesedihan? Sini, ayok aja aku mah.

Anggapan pemilik kontrakan hidupnya sejahtera juga berpengaruh pada rasa tanggung jawab untuk bayar. Padahal, meski pemilik kontrakan punya luas tanah 500 ribu hektar pun, urusan bayar sewa tetap harus dilakukan. Bukan malah kabur tanpa penjelasan.

Sekali lagi, bergelimang harta atau tidak, para pemilik kontrakan itu sedang berbisnis, bukan membuka tempat pengungsian gratis. Jadi tolong kerja samanya.

Terakhir, bagi yang belum tahu, membuat kosan atau kontrakan itu nggak murah modalnya. Kalau diitung, kami baru bisa balik modal sekitar 5 tahun. Itu juga kalau selalu ada yang terus menyewa. Dan yang menyewa juga mbayar. Nggak malah kucing-kucingan ketika ditagih.

Yah, punya kontrakan emang nggak sebahagia itu. Alih-alih tiap bulannya happy dapet transferan, eh malah kepikiran betapa susahnya nagih kontrakan. Kalau kata NDX A.K.A, “Ono krupuk dipangan panda, remhok ndaaa.”

Penulis: M. Afiqul Adib
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Tips Cari Rumah Kontrakan untuk Pasutri Muda

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version